Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Wereng kok segede truk

Jenis padi non vutw yang rawan wereng tidak boleh ditanam, tapi ada beberapa petani klaten yang melanggar terpaksa dibabat hansip. petani merasa di perlakukan tidak manusiawi.(ds)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU hektar sawah hancur. Diserang wereng? Bukan. Ada hansip membabat padi. Terjadi di Klaten 2 bulan lalu, baru terungkap justru di Jakarta akhir November ketika Komisi IV DPR menyelenggarakan dengar pendapat dengan Dirjen Tanaman pangan. Pagi itu Tulus Wignyosumarto dari F-PDI mengungkapkan, pembabatan terjadi di desa Beku kecamatan Karanganom. Tulus sendiri asal Klaten. Yang dibabat padi yang lazim disebut rojolele. Meski baunya harum, enak dimakan dan harganya mahal, tapi roolele juga makanan empuk bagi wereng. Dalam musim tanam 1979/80 ini beberapa tempat di Klaten memang ada petani sembunyi-sembunyi menanam rojolele. Di musim gadu --begitu pengalaman para petani -- memang cocok buat si rojolele. Meskipun arealnya sedikit -- menurut Bupati Soemanto, 52 tahun, hanya 0,2% atau 38,8 ha dari 26,409 ha -- tapi dikhawatirkan wereng bisa menular ke seluruh areal. Soemanto kebobolan? Ketika Presiden Soeharto menyebar angket mengenai tanaman pangan tempo hari, ada 5 camat di Klaten yang tidak berani menyebut ada padi rojolele di daerahnya. Mungkin berusaha melindungi rakyat. Belakangan ketahuan, hingga Bupati minta pertanggungjawaban mereka. Tanaman rojolele itu sendiri memang tersembunyi, "dipagar" dengan tanaman VUTW (varietas unggul tahan wereng) di keempat sisi sawah. Jempol Petani berharap akhir November bisa panen dan awal Desember sudah menanam lagi, dengan jenis yang VUTW, karena musimnya memang sudah tidak cocok lagi buat rojolele. Malang, akhir Oktober lalu, suatu sore, satu truk hansip muncul di desa Beku, membabat habis 7 patok rojolele milik 9 petani. Satu patok kira-kira seperempat hektar. Gito Suwarno, 55 tahun, menyaksikan sendiri sepatok sawahnya dibabat. Di pematang ia minta agar Camat Karanganom J. Suharto menunda pembabatan. Tapi malah digertak. "Ah, prek!" ujar J. Suharto. Gito, petani beranak 11 itu tersinggung. "Percuma saja ada tanda Pancasila di dada mereka," latanya. "Saya baru tahu ada wereng pemakan padi kok segede itu," tambahnya. Sore itu ada hansip yang menyingkir, tidak tega membabati padi. Mereka ternyata juga petani asal Jambean kecamatan Karanganom. Lurah Beku, Hardisupadmo, 79 tahun, meskipun sudah dua-tiga kali diperingatkan, juga tidak tega menyaksikan pembabatan. "Saya kan juga petani," ujarnya. Ia bahkan sudah mendapat "surat kuning", semacam peringatan dari Bupati. Ia memang tidak berhasil membujuk rakyatnya agar tidak menanam rojolele. Lurah yang menerima "surat merah", konon mesti bersiap menerima pemecatan. Satu-satunya tanaman non-VUTW di Beku yang selamat cuma milik Ngalimo, pensiunan ABRI. Dan satu-satunya yang selamat di desa Jurangjero cuma milik Sapuan, pemuda penarik gerobak yang berani menantang petugas. Padi nonVUTW di desa Karangan yang bersebelahan dengan Beku aman, kabarnya lantaran lurahnya berani melindungi rakyat. Menghadapi petani berani seperti itu, Bupati Soemanto sendiri mundur. "Untuk bertindak leblh jauh, apa dasar hukumnya," ujar Bupati. Tapi bagi Gito Suwarno, itu dianggap aneh. "Yang tunduk pada pemerintah padinya dibabat, yang melawan malah aman," katanya. Petani Beku seakan merasa tertipu. Di kecamatan, mereka merasa sudah minta agar pembabatan ditunda seminggu. Kalau ada werengnya silakan dibabat, kalau bebas hama izinkan merawatnya terus. "Tapi sorenya dibabat juga,"kata Prawiro Sudarmo, 70 tahun, yang kehilangan setengah patok padi ketan. Mereka sudah pula minta perlindungan DPRD setempat. Tapi hasilnya nihil. Muryadi, 30 tahun, termasuk sial. Sepatok padinya yang amblas rencananya selain untuk dimakan juga pembayar hutang. Menurut perhitungan ayah dari 3 anak ini, sepatok sawah bila ditanami rojolele bisa menghasilkan 1 ton padi seharga Rp 250.000, dua kali lipat dari padi VUTW. Petani Jurangjero lebih lagi. Pagi dipanggil ke kecamatan, pulangnya tahu-tahu padinya sudah musnah. Itu tak berarti tanaman mereka mutunya jelek. Bupati Soemanto sendiri sambil mengacungkan jempol mengakui padi non-VUTW di daerahnya bagus. "Tapi kalau dibiarkan, wereng akan datang," katanya. Larangan menanam rojolele sudah turun tahun lalu. Tapi karena tak ada pengawasan tegas, apalagi musim gadu yang biasanya bebas hama dan cocok buat rojolele datang, petani melanggar larangan itu. Di lain pihak Bupati punya alasan pula tahun lalu wereng justru bertamu di musim gadu hingga 1.100 ha padi musnah. Bahkan Januari-April lalu, wereng yang biasanya tak suka jenis IR-26 mendadak doyan. "Repotnya tenaga penyuluhan pertanian cuma 2 orang," keluh Darmono, 52 tahun, Kepala Diperta Klaten. Bisa dimaklum kalau 1975/76 seluruh areal hancur. Pembabatan itu sesungguhnya sudah dimintakan pertimbangan kepada DPRD. Komisi C menyarankan: padi yang belum 2 bulan boleh dibabat yang sudah kathak (berbuah) diberi kelonggaran asal disemprot anti hama. "Tapi dalam praktek, yang sudah buntingpun diganyang pula," ucap seorang petani kesal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus