SATU hektar sawah hancur. Diserang wereng? Bukan. Ada hansip
membabat padi. Terjadi di Klaten 2 bulan lalu, baru terungkap
justru di Jakarta akhir November ketika Komisi IV DPR
menyelenggarakan dengar pendapat dengan Dirjen Tanaman pangan.
Pagi itu Tulus Wignyosumarto dari F-PDI mengungkapkan,
pembabatan terjadi di desa Beku kecamatan Karanganom. Tulus
sendiri asal Klaten. Yang dibabat padi yang lazim disebut
rojolele. Meski baunya harum, enak dimakan dan harganya mahal,
tapi roolele juga makanan empuk bagi wereng.
Dalam musim tanam 1979/80 ini beberapa tempat di Klaten memang
ada petani sembunyi-sembunyi menanam rojolele. Di musim gadu
--begitu pengalaman para petani -- memang cocok buat si
rojolele. Meskipun arealnya sedikit -- menurut Bupati Soemanto,
52 tahun, hanya 0,2% atau 38,8 ha dari 26,409 ha -- tapi
dikhawatirkan wereng bisa menular ke seluruh areal.
Soemanto kebobolan? Ketika Presiden Soeharto menyebar angket
mengenai tanaman pangan tempo hari, ada 5 camat di Klaten yang
tidak berani menyebut ada padi rojolele di daerahnya. Mungkin
berusaha melindungi rakyat. Belakangan ketahuan, hingga Bupati
minta pertanggungjawaban mereka. Tanaman rojolele itu sendiri
memang tersembunyi, "dipagar" dengan tanaman VUTW (varietas
unggul tahan wereng) di keempat sisi sawah.
Jempol
Petani berharap akhir November bisa panen dan awal Desember
sudah menanam lagi, dengan jenis yang VUTW, karena musimnya
memang sudah tidak cocok lagi buat rojolele. Malang, akhir
Oktober lalu, suatu sore, satu truk hansip muncul di desa Beku,
membabat habis 7 patok rojolele milik 9 petani. Satu patok
kira-kira seperempat hektar.
Gito Suwarno, 55 tahun, menyaksikan sendiri sepatok sawahnya
dibabat. Di pematang ia minta agar Camat Karanganom J. Suharto
menunda pembabatan. Tapi malah digertak. "Ah, prek!" ujar J.
Suharto. Gito, petani beranak 11 itu tersinggung. "Percuma saja
ada tanda Pancasila di dada mereka," latanya. "Saya baru tahu
ada wereng pemakan padi kok segede itu," tambahnya.
Sore itu ada hansip yang menyingkir, tidak tega membabati padi.
Mereka ternyata juga petani asal Jambean kecamatan Karanganom.
Lurah Beku, Hardisupadmo, 79 tahun, meskipun sudah dua-tiga kali
diperingatkan, juga tidak tega menyaksikan pembabatan. "Saya kan
juga petani," ujarnya.
Ia bahkan sudah mendapat "surat kuning", semacam peringatan dari
Bupati. Ia memang tidak berhasil membujuk rakyatnya agar tidak
menanam rojolele. Lurah yang menerima "surat merah", konon mesti
bersiap menerima pemecatan.
Satu-satunya tanaman non-VUTW di Beku yang selamat cuma milik
Ngalimo, pensiunan ABRI. Dan satu-satunya yang selamat di desa
Jurangjero cuma milik Sapuan, pemuda penarik gerobak yang berani
menantang petugas. Padi nonVUTW di desa Karangan yang
bersebelahan dengan Beku aman, kabarnya lantaran lurahnya berani
melindungi rakyat.
Menghadapi petani berani seperti itu, Bupati Soemanto sendiri
mundur. "Untuk bertindak leblh jauh, apa dasar hukumnya," ujar
Bupati. Tapi bagi Gito Suwarno, itu dianggap aneh. "Yang tunduk
pada pemerintah padinya dibabat, yang melawan malah aman,"
katanya.
Petani Beku seakan merasa tertipu. Di kecamatan, mereka merasa
sudah minta agar pembabatan ditunda seminggu. Kalau ada
werengnya silakan dibabat, kalau bebas hama izinkan merawatnya
terus. "Tapi sorenya dibabat juga,"kata Prawiro Sudarmo, 70
tahun, yang kehilangan setengah patok padi ketan.
Mereka sudah pula minta perlindungan DPRD setempat. Tapi
hasilnya nihil. Muryadi, 30 tahun, termasuk sial. Sepatok
padinya yang amblas rencananya selain untuk dimakan juga
pembayar hutang. Menurut perhitungan ayah dari 3 anak ini,
sepatok sawah bila ditanami rojolele bisa menghasilkan 1 ton
padi seharga Rp 250.000, dua kali lipat dari padi VUTW.
Petani Jurangjero lebih lagi. Pagi dipanggil ke kecamatan,
pulangnya tahu-tahu padinya sudah musnah. Itu tak berarti
tanaman mereka mutunya jelek. Bupati Soemanto sendiri sambil
mengacungkan jempol mengakui padi non-VUTW di daerahnya bagus.
"Tapi kalau dibiarkan, wereng akan datang," katanya.
Larangan menanam rojolele sudah turun tahun lalu. Tapi karena
tak ada pengawasan tegas, apalagi musim gadu yang biasanya bebas
hama dan cocok buat rojolele datang, petani melanggar larangan
itu. Di lain pihak Bupati punya alasan pula tahun lalu wereng
justru bertamu di musim gadu hingga 1.100 ha padi musnah.
Bahkan Januari-April lalu, wereng yang biasanya tak suka jenis
IR-26 mendadak doyan. "Repotnya tenaga penyuluhan pertanian cuma
2 orang," keluh Darmono, 52 tahun, Kepala Diperta Klaten. Bisa
dimaklum kalau 1975/76 seluruh areal hancur.
Pembabatan itu sesungguhnya sudah dimintakan pertimbangan kepada
DPRD. Komisi C menyarankan: padi yang belum 2 bulan boleh
dibabat yang sudah kathak (berbuah) diberi kelonggaran asal
disemprot anti hama. "Tapi dalam praktek, yang sudah buntingpun
diganyang pula," ucap seorang petani kesal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini