Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARASI di samping rumahnya telah disulap menjadi salon
kecantikan Cempaka. Di antara selusin usaha semacaun itu di
sekitar Taman Solo, Cempaka Putih, Jakarta, milik Ny. Susi Hasan
yang pakai AC itulah yang biasanya paling ramai. Hidangan coklat
susu atau sirop manis termasuk pelayanannya. Tambahall pula tiga
karyawannya, termasuk Farida yang wadam, sabar dan teliti
sekali.
Pada hari biasa ada 7 sampai 10 orang yang dilayaninya. "Kalau
untuk malam Minggu bisa sampai 25 orang," kata Susi, isteri
karyawan perusahaan pelayaran. Tiap bulan salon Cempaka biasanya
gampang mengutip Rp 400.000. "Itu penghasilan kotor," kata Susi.
Tapi ahli rias muka dan rambut ini yang kelihatan lebih muda
dari usianya, 43, belum pernah rugi sejak membuka usaha ini dua
tahun lalu.
Rugi memang tidak, tapi penghasilannya belakangan ini menurun.
Para pengunjung menurut Ny. Hasan, dirasakan sangat berkurang
sejak munculnya istilah Pungli. "Nopember benar-benar bulan yang
sepi 2 atau 3 orang saja datang sehari. Tapi sekarang agak
mendingan, mungkin mereka mau Natal dan Tahun Baru."
Bappenas
Benarkah ada pengaruh Opstib pada bisnis salon kecantikan?
Cempaka adalah suatu gambaran kecil saja. Dari situ reporter
TEMPO Linda Djalil berkunjung pula ke Martha Salon yang jauh
lebih besar usahanya. Martha Tilaar, pemiliknya, membuka salon
di tiga tempat: Jl. Tosari, Jl. HOS Cokroaminoto dan Jl. Cikini
Raya.
Martha Salon sungguh berusaha di wilayah elite. Kaum wanita
tingkat atas memang merupakan langganan tetapnya. Beberapa nama
beken yang disebut Ny Tilaar: Ny. Emil Salim, Ny. Hatta, Ny.
Sumarlin, Ny. Dharmono. "Di sini kemunduran tidak terlalu
terasa," kata Martha. 40, yang pernah menjadi dosen di IKIP
Jakarta sebelum beralih ke bisnis kecantikan. Suaminya adalah
orang Bappenas.
Memang tidak terasa, tapi mundur sih ada juga di Martha Salon
sejak Opstib. Di banding sampai 3 bulan lalu, misalnya, bisnis
Miartha keseluruhan sekarang turun 30%. Salon Cikininya tetap
ramai dengan rata-rata 60 pengunjung tiap hari. Tapi jumlah
pengunjungnya yang ke Tosari dan Cokroaminoto sangat berkurang.
Seringkali para karyawannya yang bertugas di Tosari dan
Cokroaminoto, supaya tidak menganggur, ditariknya ke Cikini.
Anak-anak muda, peragawati, penyanyi (antara lain Titiek Puspa),
pengusaha, dan banyak lainnya tukang pesta, lari ke Cikini.
"Inilah yang menguntungkan," kata Martha.
Tarif paling rendah di Martha Salon: Rp 1500. Untuk gunting,
cuci sekaligus mengeringkan: Rp 3750. Bayangkan, berapa
penghasilannya di Cikini saja. Ketika ditanya, Marha
senyum-senyum saja dan merahasiakan omzetnya antara lain kuatir
"Kalau didengar orang kantor pajak."
Sebelum ada Opstib, menurut cerita karyawannya di Tosari dan
Cokroar noto, nyonya-nyonya penggede tanpa sayang memberi
persen Rp 50 sampai Rp 1000. Para karyawan itu memakai seragam
berkantong besar di kiri-kanan, menampung tip. Kantong itu
sekarang terasa kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo