Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Bisnis farmasi akan disokong permintaan obat yang tidak ada kaitannya dengan Covid-19.
Produksi vaksin akan menggairahkan industri farmasi nasional.
Sejumlah perusahaan farmasi asing berkomitmen menanamkan investasi.
JAKARTA – Ada rencana besar yang akan digarap PT Indofarma Tbk tahun depan. Setelah menerima suntikan modal negara sebesar Rp 199 miliar lewat induknya, PT Bio Farma (Persero), Indofarma akan mengalokasikan sebagian dana itu untuk memperkuat bisnis alat kesehatan. Emiten Bursa Efek Indonesia di sektor industri farmasi ini, INAF, tak sekadar menjalankan misi mengurangi ketergantungan impor, tapi juga mencari cuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, kemarin, Direktur Utama Indofarma Arief Pramuhanto mengatakan kontribusi bisnis alat kesehatan bagi pendapatan perusahaan terus meningkat dalam dua tahun terakhir. "Kontribusinya menunjukkan tren yang meningkat, mencapai lebih dari 30 persen dari revenue," ujar dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan keuangan semester I lalu, porsi penjualan bersih alat kesehatan dan diagnostik Indofarma meningkat dua kali lipat dibanding periode yang sama pada 2020. Angkanya naik dari Rp 183 miliar menjadi Rp 352 miliar. Ditambah dengan penjualan obat sebesar Rp 496 miliar, Indofarma pun mampu mencetak keuntungan Rp 985 juta.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy Teguh, menyatakan bisnis alat kesehatan dalam dua tahun terakhir bertumbuh karena didorong kebutuhan untuk menangani Covid-19. Penjualan alat bantu pernapasan serta alat tes cepat metode antigen maupun polymerase chain reaction (PCR) terus meningkat. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah pelaku bisnis alat kesehatan bertambah dari 200 menjadi lebih dari 650 perusahaan pemegang izin produksi.
Meski angka kasus penularan Covid-19 menurun, kata Randy, bukan berarti potensi bisnis alat kesehatan lesu. Sebab, layanan kesehatan non-Covid-19 lain yang sempat terhenti mulai menggeliat. Sebagian masyarakat juga sudah kembali berdatangan ke rumah sakit. "Sehingga prospek bisnis alat kesehatan tahun depan akan sangat positif," ujar dia.
Pertumbuhan industri alat kesehatan juga didukung oleh masuknya investasi dari perusahaan lokal dan asing. Hingga 2024 ada 32 perusahaan yang sudah berkomitmen menanamkan modalnya di Indonesia. Tak hanya membuka pabrik, mereka juga akan mengembangkan fasilitas yang ada dan membuat sarana pelatihan. Total investasinya lebih dari Rp 1,2 triliun.
Suasana Apotek Kimia Farma di Jakarta, 12 Juli 2021. Tempo/Tony Hartawan
Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan dorongan pertumbuhan industri kesehatan dari obat dan alat kesehatan non-Covid-19 akan terasa dampaknya pada pelaku industri farmasi. Menurut dia, masyarakat saat ini sudah mulai berani memanfaatkan layanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain. "Untuk farmasi, mungkin yang akan meningkat adalah penjualan obat penyakit tidak menular," kata dia.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi), Elfiano Rizald, memperkirakan permintaan obat terkait Covid-19 mulai menurun pada 2022. Sebagai gantinya, permintaan obat jenis lain akan meningkat meskipun jumlahnya tak akan terlalu tinggi. "Permintaan obat untuk penyakit di luar Covid-19 belum sepenuhnya kembali normal."
Itu sebabnya GP Farmasi hanya memproyeksikan pertumbuhan bisnis 3-4 persen tahun depan. Angka ini di bawah pertumbuhan 2021 yang mencapai 8 persen.
Sejumlah perusahaan sebenarnya sudah berkomitmen untuk memproduksi vaksin lokal sejak tahun lalu. Namun Elfiano menyatakan kontribusinya baru akan terasa jika kegiatan komersial berjalan pada 2022. Dalam jangka panjang, bisnis vaksin bisa menjadi salah satu penopang pertumbuhan industri di ujung pandemi.
Pemerintah lebih optimistis melihat potensi pertumbuhan industri farmasi. Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian, Muhammad Taufiq, menyatakan sebagian besar kebutuhan dalam negeri sudah bisa dipenuhi sendiri. "Sekitar 24 persen masih diimpor. Ini merupakan obat-obatan paten dan/atau berteknologi tinggi," ujar dia.
Kapasitas produksi industri farmasi saat ini mencapai 28 miliar tablet obat, kapsul, botol, vial, ampul, dan lain-lain. Produk ini dihasilkan 220 perusahaan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, terdapat penurunan signifikan untuk importasi produk farmasi berkode HS 30 sebesar US$ 163,2 juta pada Oktober 2021 dibanding September 2021. Menurut Taufiq, data ini menggambarkan semakin menurunnya jumlah penderita Covid-19 di Indonesia. Namun di sisi lain, prospek industri farmasi tetap cerah karena masyarakat akan lebih banyak mengkonsumsi multivitamin dan obat untuk menjaga daya tahan tubuh sebagai upaya mencegah infeksi Covid-19.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo