Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk sebotol kecap, segala cuaca pasti ditempuh. Bagi Fatina Djihan saat menuntut ilmu di University of Leeds, Inggris, empat tahun lalu, dia pasti rela naik bus selama satu jam ke Manchester hanya untuk membeli sebotol kecap produksi Indonesia.
Maklum, kecap manis adalah menu wajibnya setiap kali makan. ”Rasanya seperti makan di rumah,” ujar tenaga pengajar di sebuah universitas swasta di Jakarta ini. Kebetulan, menurut Fatina, 33 tahun, merek kecap yang ditemui di kawasan Chinatown di Manchester itu sama dengan merek yang dikonsumsi keluarganya.
Tak mudah bagi kecap manis asli Indonesia untuk tiba ke tangan pelanggan setianya di luar negeri macam Fatina. Selain butuh jaringan yang luas, biayanya pun tak sedikit. Namun, dengan strategi bisnis yang tepat, distribusi ke mancanegara tak lagi jadi soal.
Perang strategi bisnis itulah yang dilakukan oleh dua produsen kecap manis asal Indonesia, ABC dan Bango, yang kini bersaing ketat mengejar posisi puncak. Yang satu pemain senior dengan merek kuat dengan konsumen setianya. Yang lain, pemain baru yang sukses mendongkrak penjualannya hingga kini.
Simak data terbaru Single Source Survey dari lembaga riset pasar asal Australia, Roy Morgan Research. Sepanjang April 2006 hingga Maret 2007, pembelian kecap ABC partai besar mengalami penurunan dari 51 menjadi 41 persen. Sebaliknya, penjualan kecap Bango dalam kurun waktu yang sama naik dari 19 menjadi 21 persen.
Menurut riset lembaga riset pasar Euromonitor International, pada 2001, ABC menguasai 40 persen dari total penetrasi pasar (market share) kecap di Indonesia sebesar Rp 1,6 triliun. Namun, pada 2005, posisinya menurun hingga 33 persen dari total pasar yang mencapai Rp 3 triliun. Sebaliknya, pangsa pasar kecap Bango tetap stabil selama 2001–2005, yakni sebesar 32 persen. ”Ini perang bisnis antara dua merek yang sudah kuat,” kata pengamat bisnis dari MarkPlus Institute of Marketing, Yuswohady.
Kecap manis ABC sebetulnya bukan pemain baru di dunia kecap nasional (lihat ABC, Setelah 32 tahun). Februari 1999, saham mayoritas pendiri kecap yang terdiri atas tujuh varian ini dibeli oleh HJ Heinz Co., perusahaan kecap yang berpusat di Pittsburg, Amerika Serikat. Tak lama kemudian, nama perusahaan pun berubah menjadi PT Heinz ABC Indonesia.
Lewat bendera barunya, kecap ABC mengalami perubahan teknologi informasi, proses pembuatan, dan jaringan pasar internasional. Hasilnya, angka penjualan tahunan kecap ABC dunia tak bergeser dari US$ 100 juta atau Rp 897 miliar, dengan kontribusi utama dari Indonesia. ”Sejauh ini, kami masih memimpin pangsa pasar di Indonesia,” kata Direktur Pemasaran PT Heinz ABC Indonesia, Iriana Ekasari Muazd.
Tak mau kalah, Unilever Indonesia pun mengakuisisi produk Kecap Bango pada 2001 (lihat Si Bango yang Terbang Jauh). Di tangan perusahaan multinasional ini, Kecap Bango tumbuh pesat lewat pemasaran modern. Kini, penjualan tahunannya mencapai Rp 500 miliar. Kecap Bango pun melebarkan sayap hingga ke Asia Tenggara dan Arab Saudi. ”Negara lain sudah banyak yang melirik Bango,” kata Manajer Senior Bango, Heru Prabowo.
Bendera perang pun makin berkibar. Setelah akuisisi dan joint venture, berikutnya adalah peremajaan produk. Mulai Februari tahun ini, Kecap Bango menyegarkan logo burung bangaunya dan mengubah merek dagang dari ”Kecap Bango” menjadi ”Bango”. Unilever pun mengeluarkan kecap Bango kemasan sachet seharga Rp 300 per satuan, untuk menjangkau masyarakat kelas bawah. ”Namun, belum tersebar di seluruh Indonesia,” kata Dicky Saelan, Manajer Pemasaran Divisi Makanan PT Unilever Indonesia Tbk.
Seminggu setelah Bango berganti baju, ABC pun tampil lebih segar dan modern, walau tanpa mengubah logo dan merek. Menurut Iriana, perubahan ini dilakukan bukan karena latah, melainkan ”sudah dipersiapkan sejak setahun lalu”.
Perang pun berlanjut lewat promosi langsung dengan konsumen (below the line). Tayangan program televisi ”Bango Cita Rasa Nusantara” masih dipertahankan, bahkan kontraknya terus diperpanjang. Jurus jitu lainnya, menggelar acara ”Festival Jajanan Bango” yang tahun ini memasuki tahun ketiga. Diselenggarakan di beberapa kota besar, acara ini terbukti sukses menggaet penikmat baru kecap Bango.
Heinz ABC Indonesia tak tinggal diam. Lewat program ABC Culinary Academic, dicetaklah penasihat masakan (cooking advisor) hasil didikan juru masak ABC. Nantinya, penasihat ini akan ditempatkan di gerai penjualan kecap ABC untuk memberi tips membuat masakan lebih sedap. Juru masak ABC pun iklan paling tokcer. Mereka siap diundang demo masak secara cuma-cuma dengan menggunakan kecap ABC.
Persaingan kedua merek ini paling kentara lewat promosi media (above the line), sebab kedua perusahaan besar ini tak pelit mengeluarkan dana untuk beriklan. Pemantauan Nielsen Media Research pada 2006, Unilever menghabiskan dana Rp 23 miliar untuk promosi kecap Bango. Sedangkan Heinz ABC Indonesia membayar Rp 22 miliar untuk belanja iklan kecap ABC.
Hasilnya, Bango memang bukan pemimpin pasar. ”Tetapi dia memimpin emosi sehingga lebih dikagumi pelanggan,” tutur Yuswohady. Dampaknya, brand equity Bango pun semakin kuat.
Untuk melawan balik Bango, Yuswo punya solusi. ”Jangan terpancing,” katanya. ABC harus tetap memelihara kepercayaan dirinya sebagai pemimpin pasar. Karena jebakan paling mematikan bagi ABC adalah menjadi pengikut dan mengikuti aturan baru yang diciptakan Bango.
DA Candraningrum
Si Bango Terbang Jauh
Bango, bukan Bangau.
Itu karena kecap ini semula merupakan industri rumah tangga yang hanya dikenal di Jakarta dan Jawa Barat. Didirikan oleh Keluarga Tjoa Eng Nio pada 1928 di Tangerang di bawah bendera PT Anugerah Setia Lestari, pemiliknya bercita-cita mengembangkan si Bango hingga ke mancanegara. Mimpi itu memang terwujud lewat ekspor ke berbagai negara dengan omzet Rp 1 miliar per bulan. Cita-cita itu semakin nyata setelah pada 1992 Kecap Bango dipimpin oleh Eppy Kartadinata, putra keempat pasangan Yunus Kartadinata-Tjoa Eng Nio, yang menerima pinangan Unilever Indonesia untuk mengambil alih kepemilikan Kecap Bango. Sejak 2001, Kecap Bango pun resmi menjadi bagian dari Unilever Indonesia.
Pemilik boleh berganti, namun rasa asli Kecap Bango tetap dipertahankan. ”Kualitasnya terus ditingkatkan,” kata Heru Prabowo, manajer senior merek Bango. Caranya dengan membina petani penghasil kedelai hitam, bahan dasar Kecap Bango, untuk mendapat hasil yang lebih baik.
Hingga enam tahun pasca-akuisisi, banyak hal telah dilakukan oleh Unilever Indonesia. Tak hanya mengekspor Kecap Bango hingga ke seluruh Asia Tenggara dan Arab Saudi, anak perusahaan Unilever International yang berkantor pusat di London, Inggris, dan Rotterdam, Belanda, ini pun meremajakan si Bango yang dinilai tak menggairahkan lagi.
Sejak 1 Februari lalu, Bango tampil dengan nama, logo, dan kemasan baru. Jika dulu mengusung merek Kecap Bango, sekarang cukup Bango saja. Kemasannya pun berubah menjadi terkesan lebih muda dengan warna-warna segar. Kini, si Bango siap terbang jauh dari sarangnya.
D.A. Candraningrum
ABC, Setelah 32 Tahun
Pemain tua ini masih bergigi. Meski beberapa tahun terakhir brand value-nya menurun, pamor kecap ABC sebagai kecap nomor satu negeri ini masih melekat. Penampilan barunya sejak 7 Februari terkesan modern.
Kecap ABC memang salah satu produk andalan PT ABC Central Food Industri yang berdiri pada 1975. Pendirinya, Chu Sok Sam, mengawali kiprah bisnis di pabriknya di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Tiga tahun kemudian, ia mulai memproduksi sirup, sambal, dan saus tomat. Sejak 1982, mereka memproduksi teh, kopi, dan sari buah dalam kemasan, disusul makanan bayi, ikan kaleng (sarden), dan daging kaleng (corned beef). Produk-produk itu kemudian diekspor.
Sepeninggal Chu pada 1986, generasi kedua, Kogan Mandala, memimpin perusahaan dengan tiga pabrik ini. Sedang giat-giatnya berekspansi, krisis ekonomi melanda. Untuk mengatasi masalah keuangan, ABC Central Food Industry menjual 65 persen sahamnya kepada HJ Heinz Co., raksasa kecap terkemuka asal Amerika Serikat. Otomatis sejak Februari 1999, kecap ABC bernaung di bawah PT Heinz ABC Indonesia.
Sebetulnya kisah sukses Chu Sok Sam bukan hanya produksi makanan-minuman saja. Bersama saudaranya, Chandra Djojonegoro alias Chu Sam Yak, ia juga berhasil membesarkan batu baterai ABC dan Anggur Tjap Orang Tua.
Di bawah pimpinan generasi keduanya pasca-1980, bisnis mereka justru menggurita. Akuisisi, usaha patungan dan pendirian perusahaan baru dilakukan, di antaranya menghadirkan Red Bull (Kratingdaeng), membidani kelahiran pembuat minuman Kiranti, Larutan Penyegar Panjang Jiwo, Larutan Penyegar Tjap Orang Tua, permen Tango, serta pasta gigi Durodont, ABCDent, dan Formula Junior.
D.A. Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo