Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Belantara

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang membeli, ada yang memberi. Manusia saling bertemu dalam cara-cara yang berbeda. Barangkali itulah yang membuat sejarah tak sepenuhnya sejarah kemerdekaan, tapi juga tak sepenuhnya represi. Meskipun seandainya hidup kita adalah terus-menerus satu arena pertarungan, sebuah rimba yang tak pernah habis.

Tapi benarkah "seandainya"? Jika ada yang bisa disimpulkan dari zaman ini—ketika pasar jadi sebuah kekuatan yang merasuk ke seantero planet, dan perdagangan menjamah tanpa batas—ialah bahwa kita hidup seperti dalam sebuah lakon Brecht.

Bertolt Brecht menulis Di Belantara Kota-Kota dengan sebuah fantasi tentang Chicago antara tahun 1912 dan 1915 dan seorang pemuda yang disebut Garga. Pada suatu hari di perpustakaan tempat ia bekerja, datang orang-orang yang aneh. Yang terdepan memperkenalkan diri sebagai "Shlink, pedagang kayu gelondongan". Ia seorang Malaya.

Shlink datang untuk meminjam sebuah buku, katanya. Tapi ternyata tidak. Ia tak mau memilih buku yang hendak disewanya. Ia meminta Garga, sang penjaga perpustakaan, untuk memilihkannya. Ketika Garga kembali dengan sebuah pendapat tentang buku yang ditawarkannya, Shlink tiba-tiba berkata, "Saya akan beli opini Tuan. Sepuluh dolar cukup?"

"Ambil saja sebagai hadiah," jawab Garga.

Tapi Shlink mendesak. Ia akan membayar opini dengan harga 40 dolar meskipun Garga tetap menampik. Ya, ia memang miskin. "Keluargaku hidup dari ikan yang busuk," katanya. Tapi ia bukan pelacur. Ia tak peduli betapa kasihannya para tetangganya melihat nasibnya. Ia bahkan tak peduli kekasihnya, Jane Larry, kelaparan dengan upah yang kurus kering sebagai penjahit. Garga teguh. Dan tiba-tiba Shlink mengatakan, dengan gembira, dengan kagum, "Kau seorang pengkelahi."

Shlink memang datang untuk melawannya. Mentakjubkan memang, bahwa ia sudah mengetahui seluk-beluk hidup Garga sebelum mereka bertemu. Brecht memang menulis sebuah lakon yang hampir surealistis, dengan adegan, perubahan posisi, latar dan peristiwa yang bergantian seperti mimpi buruk. Tapi metafornya utuh: pergulatan Garga yang muda dan Shlink yang berusia 51 tahun berlangsung seperti tinju atau gulat, di atas sebuah medan laga, di sepetak Ringkampf.

Pergulatan itu lebih dari sekadar cerita kemurnian jiwa yang melawan uang (sebuah tema yang klise). Memang, perdagangan semula soal sentral di sini. Kata pedagang kayu gelondongan dari Malaya itu: Perhatikan bagaimana hal-ihwal terjadi di planet ini, dan berjualanlah. Jual beli adalah perilaku universal, sebab itu kita mau tak mau harus mengikutinya. Coba saja. Garga mengusir tawaran agar ia memperdagangkan opininya, dan ia mengira ia merdeka. Tapi ternyata tubuhnya sudah terbeli sebagai pelayan perpustakaan milik C. Maynes.

Ketika ia dipecat, ia berseru, "Inilah kemerdekaan!" Tapi ia tahu ia hanya bebas di satu posisi. Tanpa kerja, ia pun bergabung dengan Shlink dan kroninya. Ia sadar: "Mereka telah memasang harpun ke diriku dan menarikku masuk. Aku bisa rasakan talinya".

Tetapi yang menarik ialah bahwa akhirnya Shlink sendiri menyerahkan semua miliknya kepada Garga. Ada semacam masokhisme pada diri Shlink: ia menikmati penindasan. "Mulai hari ini, Tuan Garga," katanya kepada Garga, "aku letakkan nasibku di tangan Tuan…. Mulai hari ini, akulah budak Tuan... dan Tuan akan jadi Majikanku yang jahat."

Memberi, dan bukan membeli, di sini tak dengan sendirinya menghasilkan pembebasan. Tak ada uang yang dipergunakan dalam transfer itu, tak ada komodifikasi, tetapi tetap saja sesuatu yang dikukuhkan oleh kapitalisme dewasa ini berlaku: milik adalah kekuasaan, bukan beban.

Mungkin karena itu ketika Garga menghibahkan seluruh milik Shlink kepada seorang anggota Bala Keselamatan—yang berkhotbah tentang Tuhan—ia melakukannya dengan sebuah upacara: Shlink meludahi muka pengkhotbah itu. Dan sang pengkhotbah, dengan tangan gemetar dan berair mata, menerima penghinaan itu. Dalam lakon ini ia akan dirundung malu terus-menerus dan mencoba membunuh diri, meskipun gagal.

Yang lebih gelap, dalam lakon Brecht ini, bukanlah lantaran semua hal-ihwal akhirnya dirantai oleh milik dan kekuasaan, tapi sesuatu yang ada bersama itu: manusia pada akhirnya saling memandang dengan dingin. Masing-masing dalam isolasi. "Isolasi yang tak putus-putusnya itu bahkan membuat kita mustahil mencapai permusuhan," ujar Garga dengan pahit. Ia tak hendak menghancurkan Shlink dengan tangannya sendiri—sesuatu yang dikehendaki orang Malaya yang dibesarkan dalam siksaan di jung di Sungai Yangtze itu. Ia menyerahkan orang berkulit kuning itu untuk dikeroyok dan digantung di Chicago. Shlink memilih sesuatu yang lebih sunyi: harakiri.

Tapi benarkah sejarah, yang tak sepenuhnya sebuah cerita kemerdekaan, terdiri dari kisah-kisah manusia yang saling tak bertaut? Juga melalui membeli dan memberi? Lakon Brecht terlampau muram bicara. Sebab, dalam kehidupan setiap hari toh masih ada yang disebut oleh Garga sebagai "satu-satunya berkah dalam gelap", yaitu "cinta, kehangatan tubuh yang berdekatan". Dengan itu kita bisa bernapas, setidaknya bertahan dari soal jual beli kehidupan dan dari suasana ketika benda-benda memasang jaring kekuasaannya.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus