PASAR, di negara berkembang, selain suasananya masih agak tradisional, juga belum sepenuhnya menggelinding menurut mekanisme permintaan dan penawaran. Dalam hal ini, angka-angka sebagai instrumen untuk analisa pasar bolehlah diwaspadai. Sepanjang semester pertama tahun lalu, pasar mobil memper- lihatkan gairah yang menyala-nyala. Biar harga mobil naik cukup tinggi, permintaan konsumen sukar dibendung. Segala jenis mobil, dari kendaraan niaga sampai sedan, laris. Para pembeli ketika itu selalu disodori kredit mobil. Bunga yang harus mereka bayar pun masih terbilang rendah dibanding sekarang. Pendek kata, pasar mobil meledak-ledak. Tak terlalu salah jika banyak pihak, mungkin, terasa terkecoh olehnya. Pakar ekonomi Dr. Anwar Nasution melirik gejala itu dengan rasa waswas. Ia condong pada pendapat, timbulnya gejolak pembelian lebih merupakan suatu gejala yang semu. Sebab, menurut Anwar, gejolak itu tak didukung oleh potensi dan daya beli yang sesungguhnya. Namun, kekhawatiran Anwar tak banyak didengar. Ketika itu truk mini habis diborong pembeli, begitu pula kendaraan niaga kategori I (minibus). Bahkan calon pembeli sedan dipersilakan menunggu 6 sampai 12 bulan. Itu pun dengan catatan, harga bisa saja berubah tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Boleh dibilang, tiada hari berlalu tanpa ocehan tentang mobil berikut pernak-perniknya. Jadi, tidaklah terlalu salah andaikata pihak produsen mobil, dan juga pihak pengambil keputusan, terbawa oleh semacam euphoria akan masa depan industri otomotif yang gilang- gemilang, mandiri, efektif, dan efisien. Indomobil Group pun segera melancarkan ekspansi dengan membangun pabrik berkapasitas 100.000 unit per tahun, yang diresmikan Mei ber- selang. Sementara itu, Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar membuat prediksi jumlah kekurangan mobil dari tahun ke tahun. Untuk kendaraan niaga kategori I, misalnya, diperkirakan tahun 1991 masih kurang 30.000 unit. Setahun kemudian dan tahun berikutnya kekurangan akan si roda empat itu masing-masing ditaksir ber- jumlah 20.000 unit. Bahkan untuk jenis truk mini, sedang, jip, dan truk besar, yang tergolong kategori II sampai V, juga dianggap masih kurang produksinya. Mungkin sekali, angka-angka prediksi itulah yang mendorong Pemerintah meluncurkan Pakjun (Paket 3 Juni 1991). Mungkin juga desakan dari lembaga internasional General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang anggotanya didominasi negara-negara kaya, kian kuat, hingga Pakjun membebaskan pintu impor sepenuh- nya untuk semua kendaraan niaga dari kategori I sampai V, sejak 3 Juni lalu. Maka, dengan tarif bea masuk 5%, diberlakukan ketentuan bebas impor semua kategori kendaraan niaga, tanpa lebih dulu memantau situasi pasar yang mulai loyo. Katakanlah, kelesuan itu sudah diperhitungkan, namun dinilai masih berada pada ambang batas yang aman. Ketua Gaikindo Herman Latief bahkan menyambut Pakjun tanpa rasa khawatir (TEMPO, 15 Juni 1991). Katanya, ia tidak melihat impor kendaraan niaga sebagai ancaman terhadap industri otomotif nasional. Ternyata, reaksi pasar sungguh menyakitkan. Permintaan merosot sekali, terutama dua bulan terakhir ini. Siapa pun boleh menuding, biang kerok kelesuan adalah kebijaksanaan uang ketat. Namun, umpatan yang bagaimanapun kerasnya tak akan mem- buat ribuan unit mobil yang parkir di berbagai halaman pabrik bisa lenyap dari pandangan mata. Siapa yang salah? Tak ada jawaban yang memuaskan. Tapi yang agaknya perlu dicatat adalah ini: para pelaku di bidang in- dustri otomotif barangkali agak mengabaikan satu hal: beleid likuiditas ketat ternyata masih tetap dipertahankan oleh Pemerintah hingga sekarang. Mungkin, banyak yang menduga, kebijaksanaan tersebut akan dilonggarkan sejak berlakunya tahun anggaran yang baru, 1 April lalu. Itulah, antara lain, yang akan ditulis dalam laporan panjang majalah ini. Laporan Utama TEMPO kali ini, selain bercerita tentang crash mobil, juga ingin bertanya, apa sebabnya Pemerintah tiba-tiba memberlakukan kembali larangan impor kendaraan niaga kategori I sampai III sejak akhir pekan yang lalu. Padahal, kelonggaran impor kendaraan niaga built up dari kategori I sampai V baru 40 hari silam diumumkan. Juga ingin dikemukakan tentang harga mobil made in Indonesia, yang harganya konon termahal di dunia. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini