Banyak show room mobil tinggal menunggu penalti, alias bangkrut. Pasar dalam negeri dilanda lesu berat. Dan kebijak- sanaan bebas impor kendaraan niaga I s/d III terpaksa dihentikan, setelah berlaku hanya 40 hari saja. DARI semua kebijaksanaan ekonomi yang diberlakukan Pemerintah, tidak ada yang umurnya sesingkat Paket Juni 1991. Pakjun, demikian julukannya, telah disambut hangat, terutama yang men- cakup pembebasan impor CPO (minyak sawit) dan penurunan tarif bea masuk 887 jenis barang. Ketentuan dalam Pakjun, yang memuat bebas impor kendaraan niaga kategori I-V dalam keadaan jadi atau CBU (completeley built up) juga semula disambut dengan antusias, bahkan oleh pengusaha industri otomotif. Tapi bagian ini pula yang setelah 40 hari, dibatalkan untuk sementara, juga oleh Pemerintah. Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar Soeparno Prawiroadiredjo mengumumkan Jumat pekan silam, keran impor kendaraan niaga akan segera ditutup. Tapi kebijaksanaan ini baru akan berlaku akhir September nanti. Segera ditambahkannya bahwa penutupan impor itu hanya berlaku untuk kendaraan niaga kategori I (truk kecil dan minibus, kurang dari 2,5 ton), II (truk ringan 2,5 sampai 9 ton), dan III (truk sedang 9 sampai 24 ton). Kategori IV (jenis jip) dan V (truk raksasa lebih dari 24 ton) tetap boleh diimpor. Sebenarnya, kelesuan juga menggerogoti kendaraan jenis sedan. Tapi karena kategori ini belum terkena deregulasi, dalam bentuk boleh impor built up misalnya, belum perlu regulasi baru untuk mengamankannya. Toh, tanpa ketentuan bebas impor sekalipun, pihak industri otomotif sudah merasa sangat terpukul karena dijauhi pasar. Direktur Utama PT Star Motors (agen Mercedes) Dr. T. Pawitra sempat berucap, "Kalau beleid uang ketat berkepanjangan, taruhlah enam bulan lagi, industri mobil akan hancur." Situasi pasar mobil memang sedang ambrol. Kini tidak ada lagi uang bank berbunga murah untuk menopangnya. Sangat nyata bedanya dibandingkan periode 1989-1990, ketika para bankir jor- joran memberikan pinjaman untuk membeli mobil, dengan bunga rata-rata di bawah 20%. Sekarang, di masa harga pinjaman rata- rata 30% dan kegiatan pengambangan investasi pun terhambat, hampir tidak ada lagi yang bisa diharapkan. "Sekarang ini kami tinggal menunggu giliran mati saja," kata Ny. Retno, pemilik toko mobil Duta Kencana Motor, di Semarang. Dulu, ia bisa menjual rata-rata 30 unit kendaraan per bulan. Belakangan, lima unit bisa laku dalam sebulan, sudah disyukurinya. Upaya mendongkrak penjualan melalui pelbagai promosi dan bonus, bahkan sampai kemudahan pembayaran cicilan dengan bunga di bawah 10% per tahun, tak ada dampaknya. Malah dengan harga yang sudah diturunkan -- seperti untuk truk Fuso yang semula Rp 80 juta dijadikan Rp 52,5 juta per unit atau untuk Colt Diesel yang tahun lalu Rp 40 juta, kini hanya Rp 27 juta per unit -- penjualan tak beranjak naik. "Kami sudah berani ramai-ramai banting harga, tapi pembeli tetap tidak ada," kata manajer Sun Motor Semarang, Thomas Agus Budiarto. Yang dilakukannya sekarang, yang juga dikerjakan oleh rekan- rekannya sesama pemilik show room, adalah memantau harga -- dalam arti berlomba untuk menurunkan harga. "Sekarang ini kami dagang ramai-ramai cari rugi, bukan cari untung," kata Thomas. Akibat selanjutnya adalah, "Kami terkena kerugian yang beruntung. Stok menumpuk, padahal harus bayar bunga pinjaman bank. Harga barang menurun, dan disedot lagi oleh anggaran un- tuk promosi." Di Bandung, keadaannya tidak lebih baik. Manajer PT Permorin Rachmat Syahril mengatakan kepada TEMPO, kerugian yang ditang- gungnya untuk penjualan setiap unit kendaraan niaga rata-rata Rp 2 juta. PT Permorin adalah dealer kendaraan merek Mit- subishi. Tahun lalu, truk Fuso dijualnya seharga Rp 65 juta per unit. Sekarang hanya laku Rp 50 juta. Tahun-tahun sebelum ini, jumlah penjualan segala jenis kendaraan niaga PT Permorin rata-rata 1.400 unit per tahun. "Sekarang, tiap bulan 20 unit saja sudah bagus," Rachmat Syahril menambahkan. Untuk menutup kerugian akibat pasar yang morat-marit itu, PT Permorin memanfaatkan laba yang dapat dihimpunnya dari ledakan penjualan tahun silam. Saat itu, setiap unit kendaraan yang dijualnya memberikan keuntungan rata-rata Rp 5 sampai Rp 6 juta. Tapi, buru-buru Rachmat mengingatkan bahwa kemampuannya untuk menutup kerugian masa kini tentu ada batasnya. Perkembangan pasar kendaraan niaga di kota besar lain, Medan misalnya, sama memprihatinkan. Truk Mercedes berbobot tujuh ton di dealer Mercedes, PT Bintang Cosmos, saat ini harganya sudah melorot sampai Rp 55 juta per unit. Padahal, tahun lalu bisa terjual Rp 95 juta. Manajer Pemasaran Bintang Cosmos Irwan Edi mengatakan, dengan harga yang begitu terempas, sampai Juli ini setiap bulan paling banyak laku 78 unit. Padahal, Juli tahun lalu, setiap bulan bisa terjual sampai 200 truk. Menurut Edi, gejala kesuraman itu sudah terasa sejak Agustus tahun silam. Dalam hal ini, para pedagang mobil sepakat dengan konsumennya (para pengusaha angkutan) bahwa pasaran kendaraan terseok-seok karena kebijaksanaan uang ketat. Bagi perusahaan angkutan, pukulannya tidak hanya langsung akibat bunga uang yang mahal, yang menghambatnya untuk melakukan ekspansi armada, tapi juga karena kredit yang sulit telah ikut mengganjal kegiatan produksi di sektor lain. Akibatnya, jumlah barang yang diangkut pun ikut turun. "Akibat selanjutnya, banyak truk menganggur," kata Direktur Utama PT Pelita Persada Nusantara, Ir. Ardianto Wiyono. Perusahaan angkutan barang yang basisnya di Surabaya ini mengelola lebih dari 100 unit truk. Ardianto menilai, kebijak- sanaan Pemerintah untuk membuka pintu impor truk memang dimak- sudkan untuk membantu perusahaan angkutan supaya bisa memperoleh kendaraan dengan harga bersaing. Barangkali karena kebutuhan kendaraan niaga saat itu diperkirakan akan tetap tinggi. Tapi, perekonomian nasional yang lesu menciptakan situasi yang berbeda. Bahkan, angkutan tanah uruk, yang mencerminkan adanya pembangunan suatu proyek, kini makin jarang beroperasi. Dengan demikian, para pengusaha angkutan semakin kehilangan selera untuk menambah armadanya. Para pelaku ekonomi di negeri ini lalu sampai pada anggapan bahwa Pemerintah telah salah mengantisipasi akibat-akibat kebijaksanaannya sendiri. Atau, dalam soal pengadaan truk impor itu, selama ini Pemerintah lebih mengandalkan informasi yang miring. Informasi itu menggambarkan seolah-olah truk kurang, harganya jadi naik, dan pasar tetap memerlukannya. "Informasi yang diperoleh Pemerintah itu gelap," cetus Ef- fendy Sudargo. Ia berani berkata demikian karena pria ini adalah Direktur PT Margono Group (yang bergerak di bidang jasa angkutan) dan Ketua Bidang Truk Organda Jawa Timur. Katanya, sebelum Pemerintah membolehkan impor kendaraan niaga, saat itu kebutuhan truk masih bisa dipenuhi oleh in dustri perakitan di dalam negeri. Bahkan, "Saya bisa bilang, saat itu terdapat kelebihan sampai 30 persen. Dan sekarang ini, setelah ada tambahan impor, kelebihannya menjadi 50 persen," Effendy menegaskan, tanpa sedikit pun keraguan. Pernyataannya ini didasarkan pada hasil catatan di Organda. Tak salah bila ia menyesalkan, mengapa sebelum mengeluarkan kebijaksanaan bebas impor itu Pemerintah tidak berkonsultasi dulu dengan pihak Organda. "Mestinya tanya kami, apa memang susah memperoleh truk, apakah betul jumlah truk kurang," katanya. Sebegitu jauh memang tidak ada penjelasan rinci, dari mana Pemerintah memperoleh data dan informasi sehingga bisa mengeluarkan perhitungan bahwa kebutuhan kendaraan niaga akan selalu kurang. Pada akhir 1990, Departemen Perindustrian mengeluarkan catatan yang menampilkan kekurangan kebutuhan kendaraan niaga. Untuk 1990, kekurangan itu mencapai sekitar 30 ribu unit (untuk kategori I) karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhinya. Proyeksi Departemen Perindustrian tersebut menunjukkan pula, kekurangan kendaraan niaga akan terus berlanjut sampai 1994, setiap kategori setiap tahunnya memiliki jumlah kekurangan masing-masing (lihat diagram). Berdasarkan data itu Dirjen Soeparno Prawiroadiredjo saat itu mengatakan, "Pemerintah tidak mau pertumbuhan ekonomi macet hanya karena kurangnya armada angkutan." Tentu bukan sepenuhnya salah Soeparno kalau kenyataan di lapangan bicara lain. Namun, tentu tidak buruk, dan tidak pula sulit, jika Pemerintah meninjau ke lapangan dengan memasang mata lebar-lebar, sebelum mengumumkan Paket Juni yang meng- gemparkan itu. Pihak Gaikindo, paling tidak sejak awal Maret 1991, sudah menunjukkan bertumpuknya kendaraan yang tak laku. Waktu itu Ketua Gaikindo Herman Latief mengatakan, dari 22 ribu unit yang menumpuk di gudang-gudang, 17 ribu adalah truk. Juni baru lalu, stok nasional sudah di atas 100 ribu unit, 80% kendaraan niaga. Daya serap pasar secara umum pada 1991 (sampai Juni) telah turun 30%. Yang paling parah adalah kendaraan niaga kategori III (Januari 1991 terjual 1.400 unit, Juni 1991 hanya laku 600 unit). Benar, pasar truk sampai pertengahan 1990 memang meng- gila. Kendati harganya membubung, tetap saja diserbu pembeli. Sebagai jawaban atas lonjakan permintaan, pada Mei 1990 Menteri Perindustrian Hartarto mengumumkan kebijaksanaan impor 3.000 unit truk. Katanya agar gejolak harga bisa direm. Tapi yang terjadi saat itu, menurut kalangan permobilan, sebenarnya demand ghost. Mengapa? Karena yang memperebutkan truk sebenarnya para spekulan. Sekarang Pemerintah tampak lebih realistis sehingga perlu memberhentikan impor. Tapi Hartarto menolak kalau tindakannya kali ini dinilai sebagai penghapusan Paket Juni. "Pelarangan impor itu tidak ada. Yang benar hanya kuotanya dibuat nol untuk tahun ini. Paket Juni juga tetap berlaku," katanya kepada wartawan TEMPO Wahyu Muryadi. Lebih lanjut Hartarto mengatakan, langkah sekarang ini diam- bil karena pasar dalam negeri lesu. Itu saja. "Tidak ada tekanan apa pun dari pihak Gaikindo." Kalau dibiarkan impor terus pun, tidak apa-apa mengingat kuota yang 37.415 itu pun baru direalisasikan Krakatau Steel dan Pantja Niaga 1.400 unit saja. Mengapa? Karena tak ada permintaan. Yang jelas-jelas ada -- baik dahulu maupun sekarang -- ialah niat Pemerintah untuk tetap memproteksi industri otomotif di dalam negeri. Sebab, kalau harga terus turun karena persediaan membludak (sebagian kecil dari impor), maka runyamlah industri otomotif nasional. "Kasihan," kata Soeparno, "industri ini strategis bagi ekonomi kita. Investasinya saja Rp 6 trilyun." Apa pun alasannya, penghentian impor secara mendadak ini lagi-lagi menimbulkan kesan bahwa Pemerintah tidak konsisten. "Seolah-olah tak ada planning, tidak punya data dan riset," kata bos Asia Permai Group, Mohamad Amid. Pengusaha ini sungguh masygul karena ia baru saja mendirikan Asia Permai Motor (APM), yang mengimpor truk Long March dari RRC (melalui Pantja Niaga). Lebih jauh lagi, dalam perkara ini Pemerintah seperti mem- biarkan industri otomotif tetap membayi. Industri ini terus- menerus dilindungi hingga tampak selalu sehat, padahal tidak punya daya tahan sama sekali. Dan juga belum terlatih untuk lebih efisien. Padahal, kalaupun impor dibiarkan, belum tentu konsumen akan meninggalkan produksi dalam negeri. Dan lagi, biarpun sekarang truk-truk itu tak terbeli, hal ini agaknya bukanlah karena pem- beli menunggu supaya harga lebih jatuh. Mereka, sebenarnya, hanya tidak mampu, tidak berdaya beli. Mohamad Cholid dan Biro-Biro . TABEL -------------------------------------------------------- . KEKURANGAN MOBIL SAMPAI 1994 -------------------------------------------------------- Kategori 1990 1991 1992 1993 1994 -------------------------------------------------------- . I 23.330 29.755 29.425 19.206 18.983 . II 3.000 5.125 8.000 9.200 14.700 . II 1.400 1.600 3.000 4.000 6.000 . IV 780 800 1.000 1.500 2.000 . V 290 320 575 294 318 --------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini