Pelajaran bela negara diberikan di pesantren salaf. Namun, ini bukan latihan militer. Agar para kiai punya wawasan kebangsaan. HARAP Anda jangan main curiga bila mulai tahun ini ada pelajaran bela negara di pesantren. Tak ada latihan militer bagi para santri atau program ABRI masuk pesantren. Yang ada, di seluruh pesantren salaf -- yang tak mengenal sistem klasikal atau tanpa ijazah seperti SD, SMP, atau SMA -- diberi pelajaran seperti "kewiraan" untuk perguruan tinggi. Pelajaran bela negara yang diberikan itu berupa mata pelajaran Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, dan Sistem Hankamrata. Begitulah antara lain putusan terpenting dari Mukernas Robithotul Ma'ahidil Islamiyah (RMI), Persatuan Pesantren Islam, di Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah, Gresik, Jawa Timur, Rabu pekan lalu. Turut hadir dan memberikan ceramah dalam musyawarah yang diikuti 250 peserta itu Menhankam L.B. Moerdani dan Pangab Jenderal Try Sutrisno. Pelajaran baru sebagai bagian dari wawasan kebangsaan, kata Sekjen PB NU A. Ghaffar Rahman, bisa diberikan secara monolitik (sebagai pelajaran tersendiri) atau integratif (sebagai bagian cerita dari pelajaran agama yang sehari-hari disampaikan). Yang pasti, katanya, pelajaran baru ini dianggap penting. Karena para kiai masa kini banyak yang tak terlibat langsung dalam upaya bela negara. Berbeda dengan para kiai di zaman perang kemerdekaan yang terlibat langsung. "Untuk itu, pihak RMI akan bekerja sama dengan ABRI," kata A. Wahid Zaini, Ketua PP RMI, kepada TEMPO. Sebagai langkah awal, RMI akan mengadakan penataran bagi para wakil RMI di tingkat daerah. Sepuluh peserta terbaik akan menjadi "mang- gala" untuk ditugasi mengajar pesantren-pesantren. Penyebaran- nya, katanya, dari mulut ke mulut. Karenanya, bantuan Mabes ABRI sangat diperlukan. Upaya menanamkan wawasan kebangsaan bagi kaum sarungan tentu saja perlu makan waktu. Menurut Wahid Zaini, ada beda budaya antara ABRI dan kaum santri, misalnya dalam hal disiplin. Untuk itu, pihak RMI akan mengadakan pendekatan tersendiri dengan beberapa kodam di seluruh Indonesia. Bela negara yang menjadi dasar wawasan kebangsaan agaknya memang diperlukan oleh lingkungan pesantren K.H.A. Muhith Muzadi, dalam makalahnya tentang "Wajib Bela Negara Dalam Is- lam", menegaskan bahwa bela negara hukumnya wajib. Karenanya, wajar-wajar saja bila ada pelajaran bela negara di pesantren. Tampaknya, Robithoh memang mengutamakan pesantren salaf untuk mendapatkan pelajaran wawasan kebangsaan itu. Karena, kata A. Ghaffar Rahman, mayoritas salaf selama ini lebih banyak mengajarkan agama saja. Sedangkan NU dan dunia Islam membutuh- kan ulama-ulama fakih yang kini kian langka. Hal lain yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa mayoritas pesantren di Indonesia adalah salaf. Dari sekitar 3.000 pesantren di Jawa Timur saja, kata Wahid Zaini, dua pertiganya pesantren salaf. Bahkan, ada sebuah kabupaten di Jawa Timur yang jumlah pesantrennya lebih besar daripada jumlah desanya. Menurut catatan Zamakhsyari Dhofir, Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam, berdasarkan data tahun 1987, jumlah pesantren di Indonesia sekitar 6.579 buah dengan 913.739 santri. Dari jumlah itu, 5.455 pesantren ada di Jawa dan santrinya 712.977 orang. Ide itu, menurut Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid, sudah lama beredar di kalangan para pengelola pesantren. "Jika mata pelajaran itu sudah mereka pahami, tentunya kebutuhannya akan semakin meluas. Lama-kelamaan mereka akan memerlukan pemikiran tentang demokrasi," katanya. Memang, ini sebuah terobosan baru bagi para santri. Agus Basri, Zed Abidien (Surabaya) dan Bambang Sujatmoko (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini