Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manggi Habir
Biasanya pada pekan yang susah dan mendung pun kita masih dapat menemukan celah positif, yang akhirnya bisa mengangkat suasana. Tapi, pekan lalu, hal itu hampir tak ditemukan. Kita dengan sedih menyaksikan kecelakaan pesawat Trigana Air di Papua, yang merenggut nyawa semua penumpang dan awak pesawat sebanyak 54 orang. Ini mengingatkan kita akan masih rawannya tingkat keselamatan pada industri penerbangan kita dan terbatasnya infrastruktur lintas udara di beberapa daerah terpencil.
Ditambah lagi, hanya sehari setelah diangkat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli ternyata masih sulit menahan kebiasaannya mengkritik pemerintah. Padahal saat ini dia sudah menjadi bagiannya. Dia serang program listrik 35 ribu megawatt yang disebut terlalu ambisius. Rencana Garuda membeli Airbus A350 dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ikut pula jadi sasaran.
Substansi komentar Rizal mungkin beralasan. Tapi caranya melontarkan pendapat menimbulkan pertanyaan terhadap seleksi yang dilakukan Presiden Joko Widodo ketika melakukan reshuffle kabinetnya dua pekan lalu. Muncul keraguan atas soliditas kabinet dalam menghadapi tantangan berat yang sedang menghadang.
Kejutan lain datang terkait dengan kebijakan depresiasi renminbi. Dengan serentak langkah pemerintah Cina ini melemahkan mata uang beberapa mitra dagang utama negeri itu, termasuk rupiah. Rupiah terus ambrol dan hampir menyentuh 14 ribu per dolar Amerika Serikat, mendekati level ketika krisis keuangan 1997-1998.
Rencana bank sentral Amerika (The Fed) menaikkan suku bunga dolar bulan depan juga semakin menyulitkan Bank Indonesia untuk menekan bunga acuannya guna merangsang pertumbuhan. Bahkan, jika reaksi pasar lebih buruk dari yang diperkirakan, BI bisa terpaksa menaikkan suku bunga, yang justru akan memperlambat laju perekonomian.
Dengan lemahnya prospek pertumbuhan dan rupiah yang terus merana, investor asing juga mulai meninggalkan bursa saham kita, walau mereka masih bertahan memegang obligasi. Indeks harga saham gabungan terus menurun jauh di bawah 4.500.
Memang kita tak sendirian mengalami situasi ini. Negara berkembang yang memiliki defisit transaksi berjalan cukup besar dan bergantung pada dana asing, seperti Indonesia, India, Brasil, Turki, dan Afrika Selatan, merasakan pelemahan mata uangnya sejak dua tahun lalu, yakni sejak The Fed mengumumkan niatnya menaikkan suku bunganya. Morgan Stanley, bank papan atas dari Amerika, menjuluki kelompok ini "The Fragile Five".
Sekarang beberapa negara yang memiliki perdagangan yang signifikan dengan Cina, seperti Brasil, Afrika Selatan, Kolombia, Cile, Peru, Korea Selatan, Thailand, Rusia, Singapura, dan Taiwan, menyusul. Kelompok "The Troubled Ten" ini dianggap rentan terhadap dampak devaluasi renminbi, yang dapat menurunkan ekspor mereka ke Cina, sehingga mata uang mereka tertekan.
Beberapa kebijakan pemerintah untuk menopang rupiah, seperti kenaikan tarif impor dan kewajiban transaksi domestik dalam rupiah, tampaknya belum begitu terasa hasilnya. Pekan lalu, BI berusaha lagi dengan mengurangi batas pembelian valuta asing tanpa didukung transaksi perdagangan, dari US$ 100 ribu menjadi US$ 25 ribu. Sayangnya, kegaduhan di kabinet yang dipicu Rizal Ramli sepanjang pekan lalu sama sekali tak membantu usaha pemulihan kepercayaan pasar yang amat kita butuhkan.
Kontributor Tempo
KURS
Rp per US$
Pekan lalu 13.787
13.895 Penutupan 21 Agustus 2015
IHSG
Pekan lalu 4.585
4.336 Penutupan 21 Agustus 2015
INFLASI
Bulan sebelumnya 7,26%
7,26% Juli 2015 YoY
BI RATE
Bulan sebelumnya 7,5%
7,5%
Cadangan Devisa
30 Juni 2015 US$ 108,0 miliar
US$ miliar 107,55
31 Juli 2015
Pertumbuhan PDB
2014 5,0%
5,1%
Target pemerintah 2015
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo