Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aktivitas perekonomian, baik dari sisi konsumsi maupun produksi, belum pulih signifikan.
Angin segar datang dari pertumbuhan konsumsi pemerintah.
Masyarakat menengah atas tidak berbelanja karena khawatir akan pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Indonesia gagal terhindar dari zona resesi setelah pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga 2020 dipastikan berada di zona negatif atau minus 3,49 persen secara tahunan. Hal itu menambah panjang daftar kontraksi pertumbuhan selama dua kuartal berturut-turut, setelah pada triwulan II mencatat minus 5,32 persen. “Konsumsi rumah tangga menjadi sumber kontraksi terdalam, yaitu minus 2,17 persen,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, di Jakarta, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kondisi normal, konsumsi rumah tangga yang memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) lebih dari 50 persen selalu tumbuh stabil di kisaran 5 persen. Namun kinerja konsumsi rumah tangga mendadak merosot sejak pandemi Covid-19 merebak, yaitu minus 5,52 persen pada triwulan II dan minus 4,04 persen pada triwulan III. “Di triwulan III ini tampak sudah ada perbaikan. Minusnya tidak sedalam di triwulan sebelumnya, dan ini akan menjadi modal yang bagus untuk melangkah ke triwulan IV,” katanya.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan kondisi itu mengkonfirmasi bahwa aktivitas perekonomian, baik dari sisi konsumsi maupun produksi, cenderung belum pulih signifikan. “Apalagi di tengah situasi pandemi yang masih mempengaruhi keputusan konsumen, khususnya masyarakat berpendapatan tinggi yang masih menahan belanja,” ucapnya.
Hal itu terindikasi dari sebagian besar komponen konsumsi, termasuk konsumsi kebutuhan pokok, seperti makanan dan minuman, pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan, yang masih terkontraksi. Konsumsi kebutuhan tersier, seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi, juga setali tiga uang.
Satu-satunya angin segar datang dari pertumbuhan konsumsi pemerintah yang tercatat tumbuh 9,76 persen. Menurut Josua, pemerintah harus terus mengoptimalkan peluang yang ada dengan secara konsisten meningkatkan produktivitas dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), juga percepatan penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). “Khususnya stimulus untuk sisi permintaan yang akan memberikan bantalan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” kata dia.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan permintaan dan konsumsi masyarakat mau tak mau akan tetap rendah selama pandemi masih merebak. “Konsumsi turun bukan semata karena turunnya daya beli, tapi banyak masyarakat menengah-atas yang masih punya daya beli, namun tidak melakukan belanja karena khawatir akan pandemi,” ujarnya. Sementara itu, bantuan sosial pemerintah juga tidak cukup untuk menutup penurunan daya beli yang dialami kelompok bawah, sehingga secara keseluruhan konsumsi tetap akan rendah.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo