Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Konsorsium BUMN Indonesia dan Cina kesulitan menutup pembengkakan biaya kereta cepat.
KCIC mencoba peluang untuk mencari pendanaan dari luar konsorsium.
BPKP sudah menyelesaikan review cost overrun kereta cepat.
PURWAKARTA – PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) membuka opsi menggandeng investor baru dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Direktur Utama KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi, mengatakan hal ini diperlukan untuk menutup kebutuhan pendanaan kereta cepat, termasuk pembengkakan biaya atau cost overrun proyek ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Dwiyana, jika para pemegang saham KCIC tidak bisa menanggung biaya tersebut, ada peluang untuk mencari pendanaan dari luar konsorsium. Dia mengungkapkan, badan usaha milik negara (BUMN) yang menjadi pemegang saham KCIC menghadapi kendala biaya karena pandemi Covid-19 ataupun investasi proyek lain. “Mungkin kami akan mencari pendanaan dari luar konsorsium," kata dia saat mengunjungi lokasi terowongan nomor enam kereta cepat di Purwakarta, Jawa Barat, kemarin, 30 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwiyana memberi contoh investor di luar konsorsium adalah China Development Bank atau CDB. Menurut dia, CDB, yang saat ini menjadi pemberi pinjaman pada proyek kereta cepat, bisa menambah pembiayaan. “Saat konsorsium BUMN Indonesia dan Cina tidak bisa mengakomodasi cost overrun, kami menawarkan CDB untuk ikut mendanai hal itu,” ujar dia. Dwiyana juga menyebutkan ada opsi untuk investor lain, tapi enggan menjelaskan lebih jauh.
Pengerjaan kereta cepat Indonesia-Cina di Tunnel 1 inlet sepanjang 1.467 meter di Halim, Jakarta, 4 November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
KCIC merupakan perusahaan yang dimiliki konsorsium BUMN Indonesia bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) serta konsorsium Cina, Beijing Yawan HSR. PSBI, yang memiliki 60 persen saham KCIC, terdiri atas PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (38 persen), PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (masing-masing 25 persen), serta PT Jasa Marga (Persero) Tbk (12 persen). Beijing Yawan HSR, yang menguasai 40 persen saham KCIC, beranggotakan China Railway International Co Ltd, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, serta China Railway Signal and Communication Corp.
Dalam beberapa kali kesempatan, manajemen KCIC menyatakan sedang berupaya menekan cost overrun yang muncul karena pembebasan lahan, pemindahan infrastruktur publik, hingga biaya operasi yang tidak diperkirakan sebelumnya. Pemerintah menghitung biaya awal pembangunan kereta cepat sebesar US$ 6,07 miliar atau Rp 86,5 triliun. Kini, biayanya diperkirakan membengkak menjadi US$ 8 miliar atau terjadi cost overrun US$ 1,9 miliar (Rp 27,09 triliun).
Dwiyana mengatakan nilai cost overrun sedang dievaluasi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang kemudian diteruskan ke Kementerian BUMN serta Komite Kereta Cepat. "Angka itu akan bulat di level Komite Kereta Cepat," ujarnya. Menurut Dwiyana, melarnya ongkos proyek tersebut seharusnya ditanggung oleh pemegang saham.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah tengah memastikan angka kelebihan biaya tersebut bersama BPKP sebelum menentukan langkah selanjutnya. "Hari ini sedang ditentukan angkanya, tapi pendanaan lain saya kira tidak ada masalah," ujar dia.
Pemerintah, kata Luhut, akan melihat angka tersebut dan membicarakan solusinya dengan pihak Cina. Ia memastikan tidak akan ada masalah atas bengkaknya biaya proyek tersebut. "Kita lihat dan bicara pelan-pelan. Pihak Cina dan kami kerja samanya sangat baik."
Kepada Tempo, Direktur Pengawasan Badan Usaha Konektivitas, Pariwisata, Kawasan Industri, dan Perumahan BPKP, Aryanto Wibowo, mengatakan telah menyelesaikan review cost overrun proyek kereta cepat. Laporan tersebut, menurut dia, telah disampaikan kepada pihak terkait pada pertengahan bulan ini. "Terdapat beberapa penyesuaian dan rekomendasinya telah disampaikan kepada Menteri BUMN sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan," katanya tanpa menyebutkan nilai pembengkakan biaya itu.
Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Aditya Dwi Laksana, mengatakan ada beberapa opsi yang bisa ditempuh KCIC untuk menyelesaikan pembengkakan biaya tersebut. Namun setiap opsi itu memiliki dampak positif dan negatif. Misalnya, menambal cost overrun menggunakan anggaran negara secara langsung maupun melalui penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang tergabung dalam konsorsium. Dua opsi ini bisa ditempuh, tapi akan memberatkan anggaran pemerintah.
Maket kereta cepat di proyek Tunnel Section 1 kereta cepat Jakarta-Bandung di Halim, Jakarta, 29 November 2021. TEMPO/Tony Hartawan
Opsi lainnya adalah menerbitkan obligasi. Masalahnya, kata Aditya, sampai saat ini investor masih mempertanyakan potensi dan waktu pengembalian investasi dari megaproyek ini. Dia khawatir obligasi tersebut malah tidak laku.
Alternatif lain adalah mengurangi porsi saham konsorsium Indonesia dan menambah porsi saham Cina di proyek tersebut. Dengan cara tersebut, kata Aditya, tanggungan beban Indonesia akan berkurang karena dialihkan ke pihak Cina. Namun hal itu juga akan mengurangi kemandirian proyek dan nilai strategis terhadap Indonesia. Misalnya, untuk mendorong penggunaan konten lokal dan lainnya lantaran mayoritas saham dikendalikan Cina.
Solusi yang paling mungkin ditempuh untuk melanjutkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, menurut Aditya, adalah menambah utang dari CDB. Ia melihat opsi ini dalam jangka pendek tidak akan mengganggu anggaran negara dan tidak membebani badan usaha. Namun dampaknya akan terasa di masa depan dalam bentuk biaya bunga dan pembayaran pokok kredit. "Opsi ini bisa diambil dengan syarat bunga serendah mungkin serta waktu angsuran selama mungkin,” kata Aditya.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo