Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerimaan pajak selama triwulan I 2024 turun 8,8 persen secara tahunan. Dari Rp 431,9 triliun pada periode yang sama 2023, turun menjadi Rp 393,9 triliun sampai akhir Maret lalu.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan target defisit anggaran 2,29 persen bisa melebar jika penerimaan pajak terus turun.
Sri Mulyani menyatakan realisasi APBN pada kuartal pertama ini masih dalam jalur yang tepat.
REALISASI penerimaan pajak pada kuartal pertama 2024 yang tak semoncer tahun lalu menimbulkan kekhawatiran. Tekanan ekonomi global yang makin tinggi berpotensi menggerus setoran wajib pajak kian dalam.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penerimaan pajak selama periode tersebut turun 8,8 persen secara tahunan. Dari Rp 431,9 triliun pada periode yang sama 2023, turun menjadi Rp 393,9 triliun sampai akhir Maret lalu. Pemicunya adalah harga komoditas yang turun sejak tahun lalu.
Landainya harga komoditas menggerus setoran pembayaran pajak penghasilan badan bruto hingga 21,5 persen. "Dan ini berarti perusahaan-perusahaan meminta restitusi karena pembayarannya mungkin lebih tinggi dibanding apa yang mereka laporkan pada April nanti," ujar Sri Mulyani pada Senin, 25 Maret lalu. Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Itulah sebabnya kontraksi PPh badan neto lebih dalam, yang mencapai 29,8 persen. Padahal pajak jenis ini berkontribusi 14,5 persen terhadap total penerimaan negara. Jika dibanding pada tahun lalu, PPh badan tumbuh 48,2 persen secara bruto dan 68,1 persen secara neto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah juga harus menghadapi permintaan restitusi dari sektor industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan, terutama yang berasal dari kompensasi lebih bayar tahun-tahun sebelumnya. Ketiga sektor ini terkena dampak harga komoditas yang melemah sehingga setoran dari setiap industri turun masing-masing 13,6 persen, 1,6 persen, dan 58,2 persen. Kondisi ini membuat setoran pajak pertambahan nilai dalam negeri yang berkontribusi 22,1 persen pada total penerimaan harus terkoreksi 23,8 persen secara neto.
Direktorat Jenderal Pajak mencatat telah merealisasi restitusi sebesar Rp 30,9 triliun pada Januari lalu dan Rp 26,6 triliun pada Februari. Pada 1-15 Maret, total restitusi mencapai Rp 13,1 triliun.
Tekanan terhadap penerimaan pajak bisa mempengaruhi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp 2.802,3 triliun tahun ini, sebagian besar datang dari pajak dengan nilai Rp 2.309,9 triliun. Sementara itu, kebutuhan belanja negara sebesar Rp 3.325,1 triliun. Pemerintah mematok defisit sebesar 2,29 persen dari pertumbuhan domestik bruto atau setara dengan Rp 522,8 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan defisit itu bisa melebar jika penerimaan pajak terus turun. Jika penerimaan pajak lanjut menukik, pemerintah harus menambah utang. Di tengah tingginya suku bunga, opsi ini bakal menjadi beban berat di kemudian hari.
Sejak awal tahun hingga 29 Februari lalu, pemerintah sudah menggelontorkan Rp 69 triliun untuk membayar bunga utang. Angkanya naik 37 persen dibanding periode yang sama pada 2023 sebesar Rp 50,3 triliun. Beban bunga utang tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Belum lagi utang pokok pemerintah yang juga meningkat. Pada Desember 2023, nilainya mencapai Rp 8.145 triliun. Adapun sampai 29 Februari lalu, jumlahnya melambung menjadi Rp 8.319,22 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kondisi tersebut, Bhima pesimistis target penerimaan pajak tahun ini bisa terpenuhi. Menurut dia, harga komoditas tak akan terdongkrak setinggi tahun lalu lagi. Apalagi ekonomi Cina, negara tujuan ekspor utama komoditas Indonesia, sedang melambat. Kebijakan anyar Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga menjadi 6,25 persen juga bisa berdampak negatif pada pendapatan pajak. "Uang yang seharusnya dibayarkan untuk konsumsi atau aktivitas produksi, sebagian lari untuk membayar cicilan dengan bunga yang lebih tinggi," ujarnya saat dihubungi, kemarin.
Opsi yang terbuka buat pemerintah adalah mendorong penerimaan pajak. Misalnya, membuat pos tagihan baru. Namun langkah ini, menurut Bhima, kurang populis. Selain itu, jika tak dikaji dengan teliti, strategi ini bisa mengganggu konsumsi masyarakat. Dia mengingatkan bahwa daya beli masyarakat sedang tidak prima setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada tahun lalu dan adanya rentetan kenaikan harga bahan pangan belakangan. Penerimaan pajak dari sektor konsumsi bisa ikut terkoreksi.
Jika daya beli masyarakat terganggu, sektor jasa dan manufaktur juga bakal terkena dampak. Penurunan permintaan akan menghambat usaha dan berujung pada turunnya setoran pajak. "Saran saya, mulai evaluasi insentif perpajakan," ujar Bhima.
Pemerintah perlu menentukan ulang stimulus prioritas. Alih-alih menggelontorkan insentif pajak ke industri yang sudah pasti untung, seperti smelter nikel misalnya, lebih baik pemerintah mengalihkannya untuk industri padat karya atau mendukung substitusi impor. Kalaupun harus membuat pajak baru, dia menyarankan pemerintah segera melaksanakan pajak karbon.
Tentu saja upaya mendorong kepatuhan wajib pajak perlu terus digencarkan. "Terutama perusahaan tambang, kebun, dan mereka yang menikmati windfall komoditas."
Jika tak ada upaya khusus mendongkrak penerimaan pajak, pemerintah akan kesulitan menjalankan program-program, khususnya milik pemimpin baru, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Terlebih, pemerintah sudah jorjoran belanja pada awal tahun ini, misalnya saat menambah penyaluran bantuan sosial.
Sampai triwulan pertama ini, pemerintah tercatat mengantongi penerimaan negara sebesar Rp 620,01 triliun. Angkanya turun 4,1 persen secara tahunan. Sementara itu, belanja negara tercatat mencapai Rp 611,9 triliun pada periode yang sama atau tumbuh sekitar 18 persen secara tahunan.
Suasana pelayanan wajib pajak di KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Peneliti di Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, memperkirakan penerimaan pajak tahun ini berpotensi lebih rendah ketimbang pada 2023 jika melihat pergerakan harga komoditas. Untuk menyiasatinya, pemerintah perlu memastikan pengeluaran mereka efisien dan efektif. "Jangan sekadar jorjoran bikin ini-itu, tapi perlu dipertimbangkan apakah penerimaan kita bisa memenuhinya atau tidak," ucap dia. Program yang tidak mendesak dan memakan biaya besar, misalnya pemindahan ibu kota negara, bisa ditunda untuk memastikan program lain yang lebih urgen tak tersendat.
Dia juga berharap pemerintah berfokus pada wajib pajak yang belum patuh. Menurut dia, perlu ada terobosan untuk menambah pemasukan dari mereka yang tidak taat sambil meningkatkan kenyamanan mereka yang sudah patuh.
Stabilitas ekonomi dan politik juga penting untuk menjaga pemasukan dari sisi pajak. Deni mengatakan gejolak bisa membuat pemilik dana menahan diri baik untuk konsumsi maupun investasi.
Adapun peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, lebih optimistis melihat perkembangan penerimaan pajak ini. Dia melihat kinerja kuartal I ini masih menggambarkan kinerja tahun lalu. Sebagian besar cicilan pajak penghasilan badan atau pelunasan atas kurang bayar pajak ini masih berlangsung sampai Maret, mengingat batas lapor pajak tahunan terkait pada April 2024. Dia mencatat tahun lalu banyak perusahaan meminta keringanan angsuran PPh badan karena pelemahan harga komoditas.
Selain itu, sumber penerimaan lain, seperti PPN, secara umum masih ekspansif. Pasalnya, PPN dalam negeri secara bruto masih tumbuh 5,8 persen. Koreksi yang terjadi hanya dipicu restitusi. "Jadi lebih karena keputusan manajemen dan otoritas pajak ketimbang kondisi ekonomi langsung," ujar Fajry. Kondisi ini menunjukkan konsumsi Indonesia masih kuat.
Faktor lain yang membuat Fajry optimistis adalah kenaikan penerimaan Maret 2022 ke Maret 2024 yang tumbuh 22,16 persen meski Maret 2023 ke Maret 2024 terkoreksi. Sebab, ada anomali kenaikan pajak pada tahun lalu sehingga kinerja penerimaan tahun ini tampak lesu. "Untuk itu, pada kuartal II dan seterusnya, kinerja penerimaan pajak akan membaik." Di sisi lain, dia yakin belanja negara akan melambat lantaran kenaikan pengeluaran awal tahun ini lebih karena faktor insidental, yaitu pemilihan umum.
Fajry memperkirakan sejumlah langkah pemerintah tahun ini bisa membantu mendongkrak penerimaan pajak. Salah satunya menurunkan ambang batas PKP PPN serta pengurangan fasilitas PPN. "Selain melalui kebijakan, tentu kita berharap pada extra effort otoritas pajak baik melalui ekstensifikasi ataupun intensifikasi."
Tempo berupaya menghubungi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti untuk meminta konfirmasi ihwal upaya pemerintah mengejar target penerimaan pajak tahun ini. Namun hingga berita ini ditulis belum ada jawaban dari yang bersangkutan.
Dalam konferensi pers APBN Kita pada 25 Maret lalu, Sri Mulyani sempat menyatakan realisasi APBN di kuartal pertama ini masih dalam jalur yang tepat. "Kami terus merespons dan melaksanakan berbagai kemungkinan penyesuaian dengan perubahan lanskap perekonomian global yang dinamis," tuturnya. Dia memastikan APBN tetap bisa diandalkan, terutama untuk melindungi masyarakat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo