GEDUNG Bursa di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, yang mentereng
itu nampaknya semakin dikenal orang. Buktinya: Sertifikat Dana
PT Danareksa dalam penjualan perdana selama April-Juni lalu,
laris. Permintaan masyarakat Jakarta terhadap sertifikat
berharga nominal Rp 10 ribu selembar itu tercatat 11% lebih
besar daripada jatah yang disediakan.
Dengan dana Rp 15 milyar untuk 1,5 juta sertifikat, PT Danareksa
telah menetapkan jatah buat Jakarta 60% (Rp 9 milyar), dan
sisanya 40% (Rp 6 milyar) ditargetkan untuk pasaran di daerah.
Ternyata perminuan di Jakarta cukup kencang, meliputi Rp 10
milyar. Dalam beberapa jam saja, pada 29 Juni, telah habis
terjual 1,5 juta sertifikat, meliputi Rp 1,5 milyar. Esoknya
orang masih antre panjang untuk memborong sisanya, bernilai Rp
1,2 milyar.
Di antara yang antre itu terdapat Ny. Jaelani, bersama putranya
Nugraha, yang memecah celengan hari itu. "Saya mulai tertarik
setelah melihat acara itu di televisi," kata istri anggota ABRI
itu. Dia tergiur akan dividennya minimal 9%, dan akan naik
menjadi 15% tahun depan. Tak ayal lagi, wanita itu telah
memindahkan seluruh Tabanasnya yang Rp 1 juta lebih itu ke
Danareksa. "Saya menabung di Tabanas sejak lima tahun lalu,
sedikit-sedikitlah," katanya.
Tapi yang lebih menarik adalah para pembeli yang terdiri dari
berbagai instansi. Menurut sebuah sumber TEMPO yang mengetahui,
berbagai lembaga pensiun dari perusahaan/instansi pemerintah
atau negara juga ikut memanfaatkan investasi dalam bentuk
sertifikat dana itu. Antara lain Dana Pensiun PN Timah sebanyak
Rp 600 juta, beberapa PNP sejumlah Rp 470 juta dan PT Pelni
menanamkan Rp 300 juta. Di samping tiga perusahaan yang
merupakan 'wajah baru' di PT Danareksa itu, ada juga beberapa
langganan seperti Bank Exim, yang menanam Rp 225 juta, Bank Bumi
Daya sebesar Rp 300 juta dan BNI sebanyak Rp 250 juta.
Kabar dari daerah nampak kurang menggembirakan. Sampai pekan
lalu permintaan dari daerah baru bernilai sekitar Rp 1,5 milyar
atau hanya 26% dari target. Kecilnya minat orang daerah diduga
karena kebutuhan menghadapi lebaran lebih mendesak buat mereka.
"Atau bisa jadi karena penerangan kami yang kurang," kata Dir-Ut
Sereh pekan lalu.
Ngebut
Sertifikat yang dipasarkan sekarang memang berbeda dengan yang
terdahulu, seperti sertifikat atas saham PT Semen Cibinong dan
PT BAT Indonesia, masing-masing diterbitkan pada 1977 dan 1979.
Jenis sertifikat yang baru ini didukung oleh dana PT Danareksa
yang ditanamkan dalam saham berbagai perusahaan yang telah
memasyarakat (go public).
Maka risikonya tersebar pada saham-saham yang mendukungnya.
Jika kurs salah satu saham yang mendukungnya turun, tak
otomatis kurs sertifikat itu ikut-ikutan turun. Sebab mungkin
saja dia diimbangi oleh kenaikan kurs dari saham yang lain.
Dengan sendirinya sertifikat jenis ini dipandang lebih stabil.
Akan halnya penerangan ke daerah-daerah yang kurang gencar,
menurut Sereh, antara lain karena waktu yang tersedia untuk
kampanye "mepet". Juga biaya promosi dianggap terbatas, cuma
sekitar Rp 500 juta. "Itu pun sudah termasuk fee sebesar Rp 200
juta untuk para agen dan subagen," katanya. Yang khusus buat
promosi dipergunakan antara lain untuk mencetak prospektus,
leaflets, poster dan iklan di suratkabar. Dan semua nampaknya
dikerjakan secara ngebut. "Malah prospektusnya baru selesai
dicetak pada 27 Mei lalu," kata Sereh pula.
Chazali Hasan, Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Medan berpendapat,
kurangnya animo di daerahnya, selain kurangnya penerangan, juga
disebabkan banyak pemilik uang masih merasa lebih sreg menyimpan
dalam bentuk deposito berjangka. Chazali hanya berhasil menjual
100 sertifikat Danareksa tersebut. Demikian juga pendapat A.
Suhaimi Yusuf dari BBD Cabang Medan, yang berhasil menjual 300
sertifikat.
Pengamanan
Iapi Amiruddin, Kepala Bagian Usaha Bank Central Asia Cabang
Surabaya menganggap kecilnya minat orang daerah itu sebagai
wajar. "Seperti halnya jualan barang, 'kan ada yang laris dan
yang seret laku," katanya. Banknya, sebagaimana sejumlah bank
swasta lain kini berani menawarkan bunga 18% lebih sedikit untuk
deposito berjangka satu bulan, dengan syarat yang disimpan itu
paling sedikit Rp 5 juta.
Kalau dihitung-hitung, sebenarnya lebih untung menanamkan uang
dalam sertifikat dan saham. Selain dividennya lebih tinggi,
harga sertifikat atau saham naik sejalan dengan kenaikan kurs di
bursa. Sampai sekarang kurs saham itu ternyata terus naik,
terutama untuk perusahaan seperti BAT, Good Year dan Semen
Cibinong. Maka tak salah kalau orang berpendapat, "membeli saham
di Indonesia ini merupakan pengamanan terhadap milik rupiah."
Mengenai sertifikat di daerah yang tak laku, "kami sedang
mengajukan permintaan kepada Menteri Keuangan agar jatah daerah
yang 40% diturunkan menjadi 30%, kata Sereh. Dan yang 10% itu
akan dipasarkan kembali di Jakarta, tentu dengan harga yang
berlaku di pasaran saat itu.
Hasil penjualan sertifikat dana kali ini, menurut Sereh, akan
dipuurkan antara lain untuk menutup separuh (50%) saham PT
Unilever -- yang seluruhnya konon meliputi sekiur Rp 30 milyar.
Dan saham Unilever yang bisa dipastikan akan laris itu, dalam
waktu dekat kabarnya akan dijual.
Sembari menunggu saham Unilever, mulai 29 Juni lalu itu pula
dijual saham PT Merck Indonesia, perusahaan farmasi (PMA Swiss
yang tergolong kuat di dunia. Dan baru di Indonesia inilah
perusahaan farmasi multinasional itu 'go public" dengan menjual
saham sebanyak 1,68 juta lembar saham dengan nilai nominal per
saham Rp 1.000. Dan saham Merck yang dipasarkan seharga Rp 1.
900 per lembar itu kelihatan banyak peminatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini