DIREKTUR Utama PT Propelat, Memed Husen kaget mendengar
perusahaannya mendapat peringatan terakhir dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) lantaran tidak memberi laporan bentuk A.
"Mungkin salah alamat. Kami tidak pernah menggunakan fasilitas
PMDN," kata Dir-Ut Memed yang baru beberapa bulan menggantikan
H.R. Dharsono. Bahkan ia baru tahu perusahaan milik Yayasan
Siliwangi yang pernah menjadi raksasa di Jawa Barat itu
diperingatkan setelah ada pengumuman BKPM 1 Juli lalu. "Selama
ini PT Propelat belum menerima surat apa-apa dari BKPM," katanya
yakin.
Peringatan BKPM itu cukup membuat PT Propelat yang baru "jatuh
bangun" menjadi penasaran. Perusahaan konstruksi itu sempat
"pingsan" sewaktu Pertamina dilanda krisis. Dir-Ut baru H.R.
Dharsono -- setelah dicopot sebagai Sekjen ASEAN -- praktis cuma
meneruskan proyek sisa kontrak sebelumnya. Bahkan bank pun
seperti malu-malu kucing untuk memberi kredit sewaktu perusahaan
itu dipimpinnya. Apalagi order dari pemerintah tidak pernah
diberikan.
Naiknya Memed Husen -- setelah H.R. Dharsono mundur tentunya
--membawa hikmah. PT Propelat mulai mendapat order dan bank
nampaknya tidak sungkan lagi memberi kredit. "Tapi mendadak
dikejutkan oleh pengumuman BKPM itu," kata Memed.
Yang naik pitam gara-gara pengumuman BKPM -- kali ini masih
memasang 618 PMDN dan 103 PMA -- juga Letkol (Purn) Iwan Kuasa
Purba, pemilik PT Wisma Babura Baru Medan. "Apa itu laporan
bentuk A? Baru ini kali saya ketahui," katanya pada TEMPO.
Setahunya hanya perusahaan yang mendapat fasilitas PMDN yang
wajib lapor semacam itu.
Kekesalan serupa juga keluar dari M.Lud Lubis dari PT Keluarga
Mimbar Umum, Medan. "Mencium bau fasilicas PMDN saja belum
pernah," katanya. Namun diakuinya perusahaannya -- bersama Fa.
Aceh Kongsi, Fa. Sihite dan PT Wisma Babura Baru -- pernah
mengajukan permohonan untuk mendapat fasilitas PMDN sekitar
1970-an. PT Wisma Babura minta kredit Rp 200 juta untuk
mengembangkan hotelnya, Fa. Sihite perlu Rp 1, 7 milyar untuk
industri tekstil dan PT Keluarga Mimbar Umum yang menerbitkan
harian Mimbar Umum Medan minta kredit Rp 100 juta untuk membeli
mesin offset. Sedang Fa. Aceh Kongsi minta fasilitas untuk meng
ageni motor Honda di Sum-Ut. Hasilnya nol besar. Mengapa BKPM
minta mereka lapor? "Mungkin ada orang lain yang mengambil
fasilitas itu atas nama perusahaan kami. Kok begitu berani,"
kata Lud Lubis kesal.
BKPMD Ja-Tim juga bingung. Bukan hanya karena perusahaan di sana
tidak lapor. "Tapi alamatnya banyak yang tidak jelas," kata
seorang pejabat di BKP MD Ja-Tim. Sejak beberapa bulan lalu
kantornya telah menyebarkan formulir bentuk A. "Belum ada yang
membalas. Bahkan hampir semua surat yang kami kirim kembali
lagi," kata Awal Saleh, Sekretaris BKPMD di sana. Kesimpulannya,
banyak perusahaan memasang alamat buta.
PT Surabaya Amalgamated Packaging (PMA), pabrik kertas memberi
alamat pada BKPM di Jalan Sumatera 55 Surabaya. Setelah dicek,
ternyata tempat itu kini menjadi gereja Pantekosta. Tidak
berpenghuni dan kurang terawat. Beberapa perusahaan lagi
mempunyai kelakuan sama: alamat tidak jelas. "Saya yakin, yang
diumumkan itu tidak pernah lapor karena memang nggak ada," kata
Muhammad Zuhdi, pimpinan BKPMD Ja-Tim. Sedang perusahaan yang
hidup yang tidak lapor, dinilainya "memang malas saja."
PT Bercu Buana Chemical, pabrik minyak goreng dari biji kapuk
milik Probosutedjo, tidak bersedia memberi alasan jelas.
"Kesulitannya tidak ada. Karena kesibukan semata," kata seorang
staf perusahaan yang menempati tanah seluas 4 hektar di desa
Bereng, Sumberejo, Pandaan.
Tidak Sembrono
Keluh kesah perusahaan yang masuk "daftar hitam" bulan lalu
rupanya didengar pula oleh BKPM yang kini menempati gedung
bertingkat 6 di Jalan Gatot Subroto (TEMPO, 13 Juni 1981).
Buktinya, beberapa perusahaan besar tidak muncul lagi dalam
pengumuman yang diteken Ketua BKPM Suhartoyo awal bulan ini,
setelah melewati batas waktu 30 Juni lalu. PT Pipih Motor milik
kelompok Yani Haryanto (Yance Liem) yang telah dioper PT Krama
Yudha beberapa bulan lalu, tidak masuk lagi dalam deretan
"daftar hitam" PT Jaya Bali Agung, telah ganti nama menjadi PT
Jaya Mandarin Agung yang mempunyai Hotel Mandarin, Indomilk di
Sum-Ut, Multi Astra Jakarta, Adiguna Shipyard punya Ponco
Sutowo, PT Lima Jayakarta (patungan yayasan Kodam V Jaya dengan
asing) dan perusahaan kakap lainnya, semuanya sudah dicoret.
Yang masih muncul kali ini antara lain perusahaan Probosutedjo
PT Mercu Buana yang mengelola pasar di Medan dan PT Mercu Buana
Chemical di Surabaya. Juga disebut PT Pembangunan Jaya sebagai
pengelola pusat bowling di Taman Ria Monas dan Pusat Perdagangan
Senen. Mungkin setelah Proyek Senen terbakar waktu Peristiwa 15
Januari, pembangunannya kcmbali tanpa fasilitas PMDN. PT PP
Berdikari Medan juga ditegur soal nasib pabrik crumb rubber-nya.
Gebrakan BKPM dengan batas waktu 15 Juli rupanya tidak bisa
dianggap enteng. "BKPM tidak takut-takut mengambil tindakan.
Kalau salah, akan dihukum, " kata Suhartoyo pada TEMPO pekan
lalu."Untuk selanjutnya, agar mereka tidak sembrono lagi." Yang
masih diberi kesempatan BKPM sampai pertengahan bulan ini
berjumlah 721 perusahaan atau sekitar 60% dari daftar perusahaan
yang diumumkan besar-besaran bulan lalu. "Jadi, 15 Juli itu
merupakan kesempatan terakhir. Tidak bisa ditawar-tawar lagi,"
kata Suhartoyo.
BKPM sudah menyiapkan hukuman bagi perusahaan yang membandel.
"Sanksi macam-macam, menurut ketentuan yang berlaku," tambah
ketua BKP M. Hukumannya bisa berupa pencabutan izin usaha,
fasilitas atau keringanan fiskal.
Namun BKPM tidak akan menjatuhkan harga mati. "Mereka masih
diberi kesempatan membela diri," kata seorang pejabat BKPM.
Mungkin terjadi kesalahan gara-gara administrasi yang masih
semrawut di BKPM yang belum pindah dari kantor lama dengan
peralatan seadanya di Jalan Cut Mutiah.
BKPM sendiri juga jengkel menghadapi perusahaan yang masa bodoh,
tidak mau lapor atau beralamat "buta". Ibaratnya, memancing
siluman dari sarang nya dengan memasan pengumuman "daftar
hitam" itu. Akibatnya, ada beberapa perusahaan besar kena
"ciduk" pula. "Tidak peduli siapa yang punya. Kalau tidak
memenuhi ketentuan, akan ditindak," kata Suhartoyo mengancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini