Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mendesak pemerintah untuk memperluas penerapan kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebagai respons tarif impor baru dari Amerika Serikat yang diberlakukan Presiden Donald Trump. Sekretaris Jenderal Gabel Daniel Suhadirman mengatakan TKDN akan menjadi perisai bagi pemerintah untuk melindungi kinerja industri elektronik domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Gabel meminta agar kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespons kebijakan kenaikan bea masuk impor AS," kata Daniel dalam keterangannya pada Sabtu, 5 April 2025. Ia menilai kebijakan TKDN terbukti meningkatkan permintaan produk manufaktur dalam negeri terutama dari sektor pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, dengan penerapan tarif impor dasar dan tarif resiprokal, Indonesia akan diincar oleh negara eksportir yang juga terdampak kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. "Gabel meminta pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri agar pasar domestik tidak dibanjiri barang-barang impor, sekaligus juga dapat melindungi produsen dalam negeri yang melakukan ekspor ke AS," kata Daniel melanjutkan.
Menurutnya, kebijakan TKDN memberi jaminan investasi bagi para calon pengusaha yang ingin menanamkan modal di Indonesia. Ia juga menyinggung bagaimana TKDN berkontribusi positif pada penciptaan lapangan kerja di sektor industri manufaktur elektronik. Ia tak setuju bila TKDN dilonggarkan.
"Pelonggaran kebijakan TKDN akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia," ucap Daniel.
Selain mendorong perluasan TKDN, Daniel ingin pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang dinilai melonggarkan importasi, serta memberlakukan entry point di pelabuhan. Ketiga hal itu disebut Daniel sebagai contoh kebijakan non-tariff measure (NTM) maupun non-tariff barrier (NTB) atau hambatan non-tarif.
Sebelumnya saat mengumumkan tarif untuk Indonesia dan sejumlah negara lainnya, Trump menyoroti beberapa kebijakan impor yang dia sebut sebagai hambatan nontarif atau non-tariff barrier. Untuk Indonesia, Trump menyoroti kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), lisensi impor yang dia sebut rumit, dan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) yang diberlakukan Indonesia.
"Indonesia mempertahankan persyaratan konten lokal lintas komoditas untuk banyak sektor, rezim lisensi impor yang rumit, dan, mulai tahun ini, akan mengharuskan firma sumber daya alam untuk menyimpan pendapatan ekspor di dalam negeri untuk transaksi US$ 250.000 atau lebih," seperti tertulis dalam Fact Sheet Gedung Putih yang terbit di laman whitehouse.gov pada 2 April 2025.
Bersamaan dengan pernyataan tersebut, Trump mengumumkan AS akan mengenakan tarif 32 persen terhadap komoditas impor dari Indonesia. Indonesia menjadi negara urutan kedelapan yang mendapat tarif terbesar dari presiden ke-47 AS itu.
Menurut peneliti Indef Andry Satrio Nugroho, penggunaan istilah hambatan nontarif sebagai justifikasi tarif baru oleh pemerintah AS kurang tepat. Sebab, sejumlah kebijakan yang disebut Trump sebagai hambatan nontarif merupakan praktik cukup lumrah dalam perdagangan internasional.
Untuk TKDN dan DHE SDA, Andry menilai, keduanya sebagai praktik yang juga dilakukan negara-negara lain, termasuk AS dengan skemanya sendiri. Amerika Serikat misalnya memiliki Buy American Act yang pertama kali diterbitkan Kongres AS pada 1933. Beleid itu mengharuskan pemerintah AS untuk membeli barang-barang dengan TKDN tertentu untuk transaksi pengadaan di atas US$ 10 ribu.
Selain itu, kata Andry, AS juga memiliki skemanya sendiri untuk memarkir devisa. Maka dari itu, Andry menilai, alasan Trump menyebut Indonesia menerapkan hambatan nontarif bagi AS tidak sepenuhnya adil.
"Karena AS sendiri sekarang memiliki non-tariff barrier yang cukup besar, bahkan untuk produk-produk asal Indonesia itu non-tariff barrier-nya jauh lebih besar daripada Indonesia mengaplikasikannya kepada AS," katanya pada Kamis, 3 April 2025.
Sultan Abdurrahman berkontribusi pada artikel ini.