Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pengusaha meminta pemerintah mengizinkan impor bahan baku berupa kepingan logam baja (scrap) dan limbah padat baja (slab). Wakil Ketua Umum Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), Ismail Mandry, mengatakan kebutuhan scrap baja sangat tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ismail, sebanyak 32 dari 34 produsen baja menggunakan teknologi tungku induksi (induction furnace) yang memakai bahan baku tersebut. "Pasokan dari dalam negeri baru mampu memenuhi 20 persen dari total kebutuhan. Tanpa izin impor, industri baja terganggu," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengurangi penggunaan scrap, Ismail mengatakan produsen baja harus membangun pabrik tanur tinggi alias blast furnace. Tapi teknologi tersebut membutuhkan investasi besar. Saat ini hanya PT Krakatau Steel Tbk dan PT Krakatau Posco yang menggunakan blast furnace. Kedua perusahaan itu mengolah scrap dengan kandungan 20 persen.
Pasokan scrap menipis setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Nomor 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri pada Oktober 2019. Scrap, yang masuk dalam produk limbah non-bahan berbahaya dan beracun (B3), harus mengikuti ketentuan khusus yang mempersulit masuknya produk tersebut ke dalam negeri.
Produsen baja pun menentang aturan tersebut. Demikian pula dengan pengusaha plastik dan kertas yang juga memakai bahan baku limbah atau daur ulang. Pemerintah kemudian merevisi aturan tersebut pada Desember 2019 dan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 92, yang tetap dinilai menyulitkan impor. Salah satunya karena kriteria limbah non-B3 yang ditetapkan tak sesuai dengan standar internasional.
Kesulitan produksi tersebut memperparah kondisi industri baja. Dalam dua tahun terakhir, sektor hulu dan hilir baja dibanjiri barang impor. Badan Pusat Statistik mencatat total nilai impor besi dan baja mencapai US$ 10,3 miliar pada 2019, naik 1,42 persen dari tahun sebelumnya. Impor besi dan baja menyumbang 6,98 persen dari total impor nonmigas pada tahun lalu.
Presiden Joko Widodo menyatakan tingginya impor baja memperlebar defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. "Ini tidak bisa dibiarkan," kata dia dalam rapat terbatas, Rabu lalu.
Jokowi meminta perubahan izin untuk mendukung industri dalam negeri. Salah satunya dengan memanfaatkan kebijakan non-tarif dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). "Jangan sampai pemberian SNI dilakukan secara serampangan hingga tidak dapat membendung impor baja yang berkualitas rendah," ujar dia.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menyatakan akan menekan impor besi dan baja dengan sejumlah aturan perlindungan. "Di antaranya pengenaan bea masuk anti-dumping, safeguard, dan penerapan SNI," katanya.
Pemerintah juga akan meningkatkan produksi dalam negeri. Menurut Agus, industri baja nasional dapat memasok hingga 70 persen dari kebutuhan jika kapasitas produksinya ditingkatkan.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, pemerintah akan melonggarkan aturan impor scrap. Saat ini, kata Agus, kebutuhan scrap mencapai 9 juta ton untuk mendukung produksi billet 4 juta ton per tahun. Sedangkan slab tidak lagi dianggap sebagai limbah. Agus mengatakan, selain Indonesia, hanya Belgia yang mengkategorikan slab sebagai limbah. "Belgia sudah tidak memiliki industri baja," kata dia. DEWI NURITA | VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo