Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Penjualan Lesu Menjelang Lebaran, Pengusaha Tekstil Desak Revisi Aturan Impor

Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) mendesak pemerintah revisi aturan impor karena penjualan tekstil dalam negeri lesu menjelang Lebaran

21 Maret 2025 | 22.52 WIB

Suasana di salah satu gudang konfeksi di Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan,. Pengelola konfeksi memangkas jumlah pekerja hingga 50 persen akibat sepinya orderan yang masuk. TEMPO/Nandito Putra
Perbesar
Suasana di salah satu gudang konfeksi di Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan,. Pengelola konfeksi memangkas jumlah pekerja hingga 50 persen akibat sepinya orderan yang masuk. TEMPO/Nandito Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Pengusaha konfeksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengeluhkan penjualan industri kecil menengah (IKM) konfeksi rumahan yang lesu menjelang Lebaran. Dari 150 ribu potong pakaian yang diproduksi, hingga saat ini baru sekitar 30 persen yang terjual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kondisi ini, Nandi mengungkap, berbanding terbalik dengan tahun lalu. Kala itu, dua pekan sebelum Lebaran, sejumlah toko telah tutup karena kehabisan stok. Menurut dia, hal ini disebabkan pemerintah saat itu masih menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. “Jauh sekali dengan tahun lalu. Penjualan sekarang masih lambat,” ujar Nandi kepada Tempo, Jumat, 21 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Lesunya penjualan di sektor tekstil, Nandi mengatakan, disebabkan oleh daya beli masyarakat yang masih lemah dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena itu, masyarakat gampang beralih ke barang murah. Di sektor tekstil, barang-barang murah itu merupakan hasil impor ilegal. “Ada baju anak Rp 10 ribu. Udah nggak masuk akal,” ujar Nandi.

Nandi menengarai banjirnya produk impor ilegal yang dijual murah ditengarai akibat dari Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Beleid ini disebut-sebut membuat produk tekstil impor melenggang masuk tanpa memerlukan pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Peralihan belanja ke barang-barang murah memberatkan kondisi IKM. Pasalnya, Nandi mengungkap, pasarnya merupakan 70 persen masyarakat kelas menengah ke bawah. Sedangkan 30 persen sisanya masih mampu membeli jenama global.

Padahal, Nandi berujar, produksi IKM tetap sama dengan tahun lalu. Untuk dapat berproduksi, pengusaha sering kali harus mencari utang di sana sini. Yang ia takutkan adalah jika barang tak terjual: mereka terpaksa melelang produk-produk konfeksi, juga tak jarang mesin dan rumah mereka untuk menebus utang.

Nandi khawatir, pengusaha konfeksi mengulang pengalaman pahit menjelang Lebaran dua tahun silam. Saat itu, Permendag Nomor 36 Tahun 2023 belum terbit. Pengusaha lintang-pukang menjual stok yang menumpuk percuma. Tapi stok itu tak tertebus. Walhasil, banyak IKM gulung tikar karena terlilit utang.

Karena itu, Nandi meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) merevisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024 secepat mungkin. Ia berharap, revisi itu dapat terealisasi sebelum Lebaran. “Saya khawatir peristiwa tahun 2023 terulang,” ujarnya.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus