Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAMANAN gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Kamis pekan lalu, lebih ketat. Lima puluhan polisi berjaga di luar dan di lobi bangunan. Pukul 08.45, barikade aparat di dekat lift tiba-tiba ditambah menjadi dua lapis.
Pagi itu, Muhammad Jusuf Kalla tiba di lobi. Menumpang Toyota Land Cruiser hitam, Wakil Presiden Republik Indonesia pada 2004-2009 itu memenuhi undangan sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam penyelamatan Bank Century. "Saya siap (bersaksi)," katanya singkat.
Mengenakan kemeja batik hijau muda, lelaki 72 tahun ini tampak bugar. Padahal, sehari sebelumnya, salah satu kandidat wakil presiden dalam pemilihan umum presiden Juli mendatang ini baru kembali dari lawatan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Kalla menjadi saksi untuk terdakwa Budi Mulya, bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa. Budi dituduh merugikan negara sebesar Rp 689,39 miliar dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan proses penetapan Century sebagai bank berdampak sistemik.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga menemukan aliran dana sebesar Rp 1 miliar dari bekas pemilik Century, Robert Tantular, kepada Budi pada Agustus 2008. Budi dan Robert mengakuinya sebagai pinjaman bisnis. Mereka sudah lama berkawan. Belakangan, Luhut Pangaribuan, pengacara Budi, mengatakan kliennya telah mengembalikan duit itu dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura pada Januari 2009.
Duduk di kursi saksi di persidangan yang dipimpin hakim ketua Aviantara, Kalla menjelaskan panjang-lebar soal proses penyelamatan Bank Century. Ketua Umum Palang Merah Indonesia ini mengaku tidak menghadiri rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar pada 20-21 November 2008. "Saya tidak dilapori kalau mau di-bailout," ujarnya. "Laporannya baru saya terima empat hari kemudian."
Kalla pun menyangkal pernah menerima pesan pendek dari Ketua Komite yang juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sesaat setelah keputusan dibuat, 21 November 2008 dinihari. Sehari sebelumnya, Sri Mulyani—yang juga bersaksi untuk Budi Mulya—mengatakan telah melaporkan keputusan itu via SMS kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tengah menghadiri pertemuan G-20 di Washington, DC, Amerika. Pesan itu juga ditembuskan ke Kalla.
Hingga saat ini, perempuan yang sekarang menjabat Managing Director Bank Dunia itu dikabarkan masih menyimpan file pengiriman SMS tersebut. "Jadi akan telak kalau Kalla mengelak pernah menerima," kata seorang sumber. Di luar ruang sidang, Kalla tetap pede. Dia menegaskan pernah menanyakan langsung kepada Sri Mulyani ihwal SMS itu. "Mana SMS yang kaukirim kepada saya, tapi Ibu Sri Mulyani tidak bisa menjawabnya."
Penegasan tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan Century bukan sekali ini saja disampaikan mantan Ketua Umum Partai Golkar ini. Bukan hanya soal Century, Kalla juga ragu terhadap ancaman krisis yang dijadikan dasar landasan Bank Indonesia dan KSSK untuk menyelamatkan Century.
Sumber Tempo di pemerintahan mengatakan sikap "balik badan" Kalla sangat mengherankan. Sebagai wakil presiden, ia mengikuti dari awal berbagai proses yang terjadi di Bank Indonesia, yang saat itu membahas kondisi perbankan dan langkah-langkah atas Century.
Salah satunya, Kalla berinisiatif menelepon langsung Gubernur Bank Indonesia Boediono menanyakan soal kondisi keuangan dan Century pada Oktober 2008. "Telepon diterima saat Boediono memimpin Rapat Dewan Gubernur pada 13 Oktober 2008," ucap sumber tadi. "Telepon itu durasinya cukup lama dan terdokumentasikan dengan utuh."
Saat ditemui Tempo, Jumat pekan lalu, Kalla menyangkal pernah menelepon Boediono. Menurut dia, sebelumnya ada yang menanyakan perihal serupa. "Lha, 13 Oktober itu belum ada kasus Century. Kasusnya baru November."
Sebaliknya, Kalla meralat soal bantahan SMS yang dikirimkan Sri Mulyani. "Hanya cc dari SMS yang dikirimkan kepada Presiden," katanya. "Itu pun disampaikan setelah keputusan dibuat."
Menurut Kalla, Menteri Keuangan semestinya meminta izin dia sebagai pelaksana tugas presiden karena menyangkut penggunaan uang negara triliunan rupiah. "Wong jarak kantor Menkeu ke kantor wapres cuma 1-2 kilometer."
BOLA panas kasus Century menggelinding sejak awal 2009, setelah pergantian kepemimpinan nasional. Pada periode kedua kepresidenan Yudhoyono, Kalla tak lagi mendampingi pria kelahiran Pacitan itu. Yudhoyono memilih Boediono sebagai wakil presiden. Deklarasi pasangan ini dilakukan di Bandung pada 15 Mei 2009.
Tiga bulan setelah itu, Senayan meledakkan bom bernama Century. Dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 26 Agustus 2009, Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkan pemberian bailout kepada Century yang membengkak dari Rp 1,6 triliun menjadi Rp 6,7 triliun.
Sebelumnya tak ada yang mempertanyakan keputusan itu sepanjang November 2008-Agustus 2009. Sejumlah ekonom malah memuji kebijakan tersebut. Perekonomian Indonesia pasca-bailout Century juga baik-baik saja. Bahkan, pada 2009, Indonesia merupakan satu dari lima negara yang mampu mencatat pertumbuhan positif.
Kasus ini kemudian membesar dengan cepat bak bola salju. DPR membentuk panitia khusus untuk menyelidiki kasus penyelamatan Century. Fraksi Golkar termasuk yang paling vokal dalam pengungkapan kasus ini.
Karena itu, tudingan Kalla—sebagai Ketua Umum Partai Golkar—ikut "bermain" menunggangi isu Century kian merebak. Apalagi, dua bulan sebelum pemilihan presiden, Kalla sudah mendapat janji dari pendiri Partai Demokrat, Yudhoyono, bahwa dia akan tetap berpasangan melanjutkan pemerintahan periode yang kedua.
Bertemu empat mata di kediaman Yudhoyono di Cikeas, Bogor, keduanya lantas berpelukan. "Janji setia" itu "terbongkar" saat peluncuran buku Surya Paloh Sang Ideolog di Grand Hyatt, Jakarta, Senin malam, 10 Maret lalu. Kalla mengungkapkannya dengan gaya santai dan sedikit bercanda.
Adegan pelukan itu diceritakan kembali oleh Kalla kepada Tempo. "Dua kali acara pelukan," ujarnya sambil tertawa. Pertemuan kedua disaksikan empat petinggi Partai Golkar. "Salah satunya Sekjen Golkar." Toh, adegan berpelukan saja tak cukup menjanjikan. Faktanya, Yudhoyono kemudian meminta Golkar menyodorkan lima nama sebagai calon wakil presiden.
"Bagaimana ini? Saya ketua umum partai, pernah menjadi wapres. Artinya sudah lulus ujian, dong." Dengan nada bergurau, Kalla menambahkan sambil menunjuk siaran televisi yang sedang menyiarkan secara langsung kesaksian Boediono di persidangan Budi Mulya, Jumat pekan lalu, "Kalau jalan terus, ceritanya enggak akan begini."
Tapi ia buru-buru membantah ada unsur politisasi dalam pengusutan kasus Century. Kalla menegaskan, masalah Century berawal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap kinerja Bank Indonesia tahun anggaran 2008. Lembaga auditor negara yang dipimpin Hadi Poernomo itu menemukan penyimpangan dalam pengambilan kebijakan, sehingga dilanjutkan ke tahap investigasi.
Cerita lain yang menguatkan adanya aroma politis dalam perkara Century muncul pada Oktober 2013. Sumber Tempo di pemerintahan mengatakan, dalam rapat terbatas kabinet di Istana Cipanas, terlontar pernyataan dari Yudhoyono soal ada orang yang menawarkan diri menggantikan Boediono sebagai wakil presiden jika nanti menjadi tersangka dalam kasus Century.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, saat ditanya soal ini beberapa waktu lalu, membenarkan pernyataan Yudhoyono tersebut. "Tapi saya tidak tahu siapa orang yang menawarkan diri itu," katanya. Adapun juru bicara wakil presiden, Yopie Hidayat, mengaku belum pernah mendengar soal itu.
Dalam buku SBY: Selalu Ada Pilihan, yang diluncurkan 14 Januari lalu, Yudhoyono menyebutkan beberapa tokoh yang ingin menggantikan wakil presiden ketika Boediono mendapat serangan politik. Dia tak menyebut nama tokoh yang dimaksud, cuma memberi petunjuk. "Ia pernah menjadi menteri di era sebelum kepresidenan saya. Seorang sahabat yang amat gigih melaksanakan kampanye anti-SBY."
Niat menggusur Boediono dari kursi wakil presiden terus bergulir. Dalam buku itu, Yudhoyono bercerita, seorang pemimpin partai politik yang juga menteri Kabinet Indonesia Bersatu berkata, "Pak SBY, apa benar Bapak sudah setuju dan meminta seseorang menjadi wakil presiden menggantikan Pak Boediono?" Si tokoh melanjutkan, "Seseorang itu mengatakan sudah bertemu Bapak dan katanya Pak SBY sudah setuju. Dia minta dukungan partai yang saya pimpin." Yudhoyono pun menggelengkan kepala.
URUSAN politisasi Century bukan melulu soal suksesi wakil presiden. Konflik Aburizal Bakrie, Ketua Umum Golkar, dengan Sri Mulyani, yang saat itu menjadi Menteri Keuangan, juga mewarnai awal-awal kasus ini meledak, Agustus 2009.
Seorang saksi mata mengatakan mendengar pertama kali soal perkara Century dalam sebuah pertemuan makan siang Aburizal dengan sejumlah ekonom pada awal 2009. Saat itu, menurut dia, Aburizal menunjukkan dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan tentang Bank Century. "Akan saya kejar Sri Mulyani," ucapnya.
Pemilik kelompok usaha Bakrie ini memang tengah perang dingin dengan Sri Mulyani. Dari penanganan lumpur Lapindo, dugaan penggelapan pajak perusahaan batu bara Bakrie, sampai pencabutan suspensi saham PT Bumi Resources. "Paling keras adalah soal penolakan Sri Mulyani melepas porsi saham pemerintah di PT Newmont Nusa Tenggara ke Bakrie," katanya.
Juru bicara Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, saat dimintai tanggapan, mengaku tidak tahu soal itu. "Silakan tanya ke yang hadir dalam pertemuan itu," ujarnya kepada Tempo.
Tapi, yang pasti, Sri Mulyani kemudian terpental dari kursinya setelah kasus ini membesar. Ia digantikan Agus Martowardojo. Sri kemudian ditunjuk menjadi Managing Director Bank Dunia dan berkantor di Washington.
Boediono sadar betul kasus Bank Century bukan murni urusan ekonomi. "Saya menghadapi mesin politik besar dengan segala kemampuan dana, panggung, dan media yang luar biasa," ujarnya dalam wawancara khusus dengan Tempo, awal April lalu.
Namun Boediono berusaha memaklumi hal ini sebagai konsekuensi dari mengemban jabatan politik yang menjadi incaran para politikus. "Latar belakang saya dosen dan tidak punya basis partai sehingga menjadi target empuk serangan politik."
Retno Sulistyowati, Setri Yasra, Martha Thertina, Gustidha Budiartie
Krisis dalam Dua Tafsir
PROSES hukum penyelamatan Bank Century bergulir semakin jauh. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mantan wakil presiden Jusuf Kalla, dan Wakil Presiden Boediono bersaksi dalam persidangan dengan tersangka mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pekan lalu.
Pertanyaan pokok yang dikemukakan soal ada-tidaknya krisis saat dilakukan penyelamatan Century. Sri Mulyani dan Boediono berkukuh perekonomian Indonesia saat itu berada dalam keadaan genting. Sebaliknya, Jusuf Kalla memberi penjelasan berbeda. Komisi Pemberantasan Korupsi dituding mengabaikan data kondisi ekonomi.
Februari 2007
Amerika Serikat diguncang problem kredit macet perumahan (subprime mortgage).
Oktober 2007-April 2008
Kerugian melanda sejumlah raksasa keuangan dunia (Citigroup, Merrill Lynch, Deutsche Bank, Barclays dan lain-lain).
15 September 2008
Bank investasi terbesar keempat di Amerika, Lehman Brothers, mengumumkan kebangkrutan. Krisis finansial menjalar ke berbagai negara.
16 September 2008
BI mulai menggulirkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan likuiditas perbankan yang kering dan menekan risiko sistemik.
23 September 2008
Hingga 18 November 2008, keluar 3 Perpu dan 10 perubahan atau peraturan BI yang baru.
4 Oktober 2008
Gubernur BI melapor ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang memburuknya kondisi perekonomian Indonesia yang terimbas krisis global.
6 Oktober 2008
Pertemuan Presiden dengan para pengusaha dan ekonom. Muncul tuntutan pemberlakuan full blanket guarantee, tapi ditolak Wakil Presiden Jusuf Kalla.
8 Oktober 2008
Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia dihentikan tiga hari setelah anjlok tajam. Modal asing dan kurs rupiah merosot drastis.
9 Oktober 2008
Presiden menggelar rapat antisipasi dampak krisis global dengan para penegak hukum, termasuk Ketua BPK Anwar Nasution dan Ketua KPK Antasari Azhar.
13 Oktober 2008
15 Oktober 2008
29 Oktober 2008
BI mengaktifkan crisis management protocol, tanda situasi moneter dan perbankan semakin berbahaya.
6 November 2008
Bank Century masuk pengawasan khusus BI.
13 November 2008
14 November 2008
17 November 2008
18 November 2008
Atas permintaan BI diadakan rapat di Kementerian Keuangan. Analisis BI, terdapat 23 bank sejenis yang berpotensi mengalami kesulitan keuangan (likuiditas dan solvabilitas) apabila Bank Century tidak ditangani.
19 November 2008
Kembali diadakan rapat BI dan Menteri Keuangan di Kementerian Keuangan. BI menyampaikan soal tekanan likuiditas perbankan, turunnya kepercayaan pasar, dan analisis risiko sistemik sistem perbankan Indonesia.
20 November 2008
21 November 2008
24 November 2008
Dana bailout mulai dikucurkan LPS ke Century.
2 September 2009
Atas permintaan DPR, BPK menggelar audit investigasi kasus Century.
3 Maret 2010
Voting Paripurna DPR menilai keliru kebijakan penyelamatan Bank Century.
Naskah: Martha Tertina Sumber: Dokumen Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Katadata, PDAT
Analisis risiko sistemik yang diberikan BI belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik dan lebih pada analisis dampak psikologis.
—Anggito Abimanyu
Dalam keadaan normal seharusnya Bank Century tidak dikategorikan berdampak sistemik.
—Ketua Dewan Komisioner LPS Rudjito
1 Versi KPK
Tidak ada ancaman krisis --> Pemberian FPJP melanggar hukum --> Kebijakan bailout tidak tepat --> Terjadi penyalahgunaan wewenang --> Pejabat pembuat kebijakan dijerat pasal korupsi
Landasan dakwaan:
Dewan Gubernur menyalahgunakan wewenang dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik karena:
Saksi ahli
Dasar menetapkan tidak terjadi krisis dari pendapat saksi ahli:
Mereka yang disasar
Budi Mulya didakwa perbuatan melawan hukum bersama-sama dengan:
2 Versi Bank Indonesia
Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan mempertimbangkan unsur psikologis pasar.
Kondisi Sektor Keuangan 2008:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo