Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUNTORO Mangkusubroto beranjak dari bangku pengunjung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi begitu ketua majelis hakim Aviantara menskors sidang korupsi dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya. Sidang disetop untuk salat Jumat pekan lalu. Langkah Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) itu berayun cepat mengikuti gerak Wakil Presiden Boediono, yang bersaksi di sidang tersebut.
Keduanya turun bersama-sama dalam satu lift dan beriringan masuk ke mobil Mercedes-Benz B-1190-RFS. Kaca mobil yang tak begitu gelap memberi kesempatan juru kamera membidik Boediono sedang berbincang dengan Kuntoro. Sejurus kemudian, mobil dinas dengan pengawalan Pasukan Pengaman Presiden itu menembus kemacetan Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Sumber Tempo mengatakan Kuntoro menjalankan peran penting dalam membantu Boediono menghadapi perkara hukum Century. Mantan Gubernur Bank Indonesia itu bersaksi atas terdakwa Budi Mulya dalam perkara dugaan korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp 689 miliar dari Bank Indonesia dan bailout Rp 6,7 triliun oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 2008.
Masalahnya, menurut sumber Tempo, dalam perkara itu aroma politisasi sangat kuat dan alasan ekonomi-keuangan di balik bailout Century justru dikesampingkan. Atas dasar itu, sejumlah sahabat Boediono menginisiasi sebuah tim informal untuk membantu Boediono. Salah satu anggota tim adalah Deputi Bidang Pemantauan Program dan Institusi Penegakan Hukum UKP4 Mas Achmad Santosa.
Mereka menilai, dalam perkara bailout Century, Boediono telah dijadikan sansak hidup oleh kalangan politikus Senayan dan petinggi partai politik. Alasan lain, Boediono dinilai tidak terlatih melawan serangan tersebut.
Kuntoro tak menjawab pesan pendek Tempo untuk mengkonfirmasi keberadaan tim tersebut. Adapun Mas Achmad Santosa membantah keberadaan tim tersebut. "Enggak ada," katanya. Menurut dia, kehadiran Kuntoro dalam sidang kesaksian Boediono berlandaskan simpati. "Sebagai sahabat saja."
Juru bicara wakil presiden, Yopie Hidayat, mengatakan tidak ada tim khusus yang dibentuk untuk mendampingi Boediono. "Tidak ada permintaan," ujarnya. Soal kehadiran Kuntoro, dia menambahkan, tak lebih karena mereka berkawan lama.
DUDUK menjadi saksi di persidangan perkara korupsi rupanya tidak membuat Boediono tertekan. Ia juga tak mempersoalkan namanya nama masuk dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Yopie, sikap Boediono enteng menjelang persidangan. Tidak ada persiapan khusus yang digelar. Sehari sebelum bersaksi, kegiatan Boediono adalah membaca ulang berita acara pemeriksaan, risalah rapat pembahasan FPJP dan bailout. "Refresh memori," katanya.
Yopie mengatakan sang bos lebih berfokus menyiapkan stamina. Kamis sekitar pukul 19.00, guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada itu memilih merebahkan badan sambil dipijat refleksi. "Tukang pijat dipilihkan ajudan," katanya. Satu jam berlalu, Boediono beranjak ke kamar tidur.
Jadwal fitness yang rutin dilakukan setiap Jumat tidak berlaku pekan lalu. Boediono membatalkan aktivitas olahraganya dan memilih datang lebih pagi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber Tempo mengatakan persidangan menghadirkan Boediono menjadi salah satu bahasan tim yang dibentuk para sahabat tadi. Menurut penilaian mereka, kehadiran Wakil Presiden dalam persidangan merupakan peristiwa langka.
Maka sempat muncul pemikiran agar kesaksian Boediono disampaikan di persidangan yang digelar di Mahkamah Agung. "Namun, alih-alih menerima, Boediono menegaskan akan tetap menghadiri panggilan menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi."
Sekretaris Wakil Presiden, Mohamad Oemar, membenarkan adanya usul tersebut. "Sempat ada yang usul (persidangan) ke MA, tapi Pak Boediono tidak mau, nanti malah menambah ramai," ucapnya kepada M. Taufiqurohman dari Tempo, Kamis pekan lalu.
Di sidang, Boediono mengatakan kehadirannya untuk menunjukkan bahwa semua warga negara setara di depan hukum.
Selain soal tempat sidang, tim menyoroti dasar dakwaan jaksa KPK. Sumber Tempo yang lain mengatakan hasil kajian sejumlah praktisi hukum papan atas menunjukkan bahwa dasar dakwaan tersebut tak lebih dari upaya kriminalisasi kebijakan ketimbang mengusut korupsi Budi Mulya yang menerima uang Rp 1 miliar dari Robert Tantular, pemilik Bank Century waktu itu. "Terlebih lagi, KPK lebih meyakini tidak ada potensi krisis ekonomi pada 2008," katanya. "Dasar yang salah ini menjadikan peluru yang menyasar FPJP dan bailout keliru."
Advokat senior Todung Mulya Lubis juga melihat ada kelemahan mendasar dalam dakwaan KPK. Menurut dia, dakwaan Budi Mulya terlalu melebar dari persoalan pokok, yakni adanya penerimaan uang Rp 1 miliar dari Robert Tantular. "Jaksa menyasar pada kebijakan internal, seperti perubahan peraturan Bank Indonesia," ujar Todung, yang mengikuti sidang kesaksian Boediono dari pagi hingga usai.
Menurut dia, kebijakan Bank Indonesia dan KSSK berdasarkan penilaian terhadap risiko ekonomi mendatang. Kebijakan yang diterbitkan diambil dalam situasi yang tidak normal, yaitu krisis yang mengancam perbankan nasional. "Penilaian tersebut bisa benar dan bisa juga salah," katanya. "Tapi, yang pasti, kebijakan tidak bisa dikriminalisasi."
Todung heran terhadap jaksa KPK yang menempatkan Budi Mulya dan Boediono seolah-olah melakukan aksi secara bersama-sama dan memenuhi unsur penyertaan dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menggunakan kata "bersama-sama" untuk menarik ke syarat penyertaan. Padahal "bersama-sama" dalam masalah itu sebenarnya merujuk pada perumusan kebijakan, bukan pada soal adanya suap. "Kebijakan di Bank Indonesia diambil secara kolektif."
Todung mengatakan sudah lama mengikuti kasus ini secara saksama. Namun dia membantah jika disebut hadir untuk menjadi pembela atau penasihat hukum Boediono. "Saya datang untuk mengamati saja."
Soal muncul tudingan adanya upaya sistematis menyeret Boediono ke dalam kasus Budi Mulya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menolak menanggapi. "Itu dakwaan dibuat jaksa KPK, jangan tanya ke kami," ucapnya awal Maret lalu. Namun, dari kesaksian Boediono, Bambang menduga masih ada fakta yang ditutupi.
Bambang menyoroti pernyataan Boediono yang meminta agar peristiwa Bank Century kalah kliring tidak disampaikan ke media. "Yang menarik, saksi (Boediono) menyampaikan agar tak usah keluar karena sangat berbahaya," katanya kepada Muhammad Rizki dari Tempo, Jumat pekan lalu.
Sepanjang persidangan, para jaksa KPK memang menyasar Boediono soal langkah membuat kebijakan menyelamatkan Century. Boediono, menurut seorang sumber, khawatir sekali kalau langkah-langkah itu menjadi preseden buruk yang membuat para pejabat takut mengambil keputusan jika ancaman krisis serupa datang di kemudian hari.
Menjelang akhir persidangan, Boediono meminta izin kepada majelis hakim untuk membacakan sebuah pernyataan. Sambil memegang dua carik kertas, dia menyampaikan pesan kepada para pejabat untuk tidak takut mengambil kebijakan kendati di masa mendatang kebijakan itu dipertanyakan. "Demi kebaikan bangsa dan negara," ujar Boediono mengakhiri pidatonya. Tepuk tangan pengunjung bergema di seluruh ruangan.
Akbar Tri Kurniawan, Gustidha Budiartie, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo