Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ilmu Batu di Pemandian Santa

Polisi Sukabumi menangkap seorang pemuda yang diduga telah menyodomi puluhan anak. Memangsa korbannya dengan berbagai trik.

12 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilalang setinggi sekitar satu meter memenuhi area bekas obyek wisata pemandian air panas itu. Pohon-pohon mahoni yang tumbuh rindang dan menjulang menghalangi sinar matahari di kawasan hampir seluas satu hektare di Jalan Pramuka, Kecamatan Citamiang, Sukabumi, Jawa Barat, itu.

Warga sekitar menyebut area ini Pemandian Santa. Padahal yang tersisa di sana hanyalah bekas kolam seluas 50 meter persegi dengan air keruh kecokelatan mengandung belerang. Meski airnya masih panas, bau belerang tak begitu menyengat di lokasi ini.

Bangkrut dan ditinggalkan pengelola sejak empat tahun lalu, Pemandian Santa tiba-tiba terkenal lagi. Dalam dua pekan terakhir, kawasan itu beberapa kali dikunjungi polisi dan wartawan. Mereka ingin tahu di mana dan bagaimana Andri Sobari alias Emon, 24 tahun, bisa "memangsa" bocah-bocah ingusan yang diperkirakan lebih dari seratus orang.

Di bekas pemandian ini memang banyak tempat tersembunyi. Misalnya di sekitar bangunan bekas kamar ganti serta toilet yang sudah tak beratap dan tak berpintu. Tempat lain yang tertutup ada di sekitar bekas bangunan motel 14 kamar yang juga tak terawat.

Tak ada yang menyangka di sinilah, selama berbulan-bulan, Emon leluasa melakukan kejahatan seksual. Bekas penjaga Pemandian Santa, Adang Sukaedi, salah satu yang terkejut atas terungkapnya kasus Emon ini. Adang mengaku memang sering melihat Emon mandi bersama anak-anak di kolam keruh itu. "Tapi saya tak pernah melihat dan mendengar ada anak menangis atau berteriak," kata pria 60 tahun ini.

Kekerasan seksual yang dilakukan Emon terungkap Kamis dua pekan lalu. Semua berawal dari pengaduan seorang anak lima tahun kepada ibunya. Si anak mengaku melihat kelakuan Emon di bekas pemandian air panas itu. Kaget, sang ibu menceritakan pengaduan anaknya kepada orang tua anak yang menjadi korban Emon. Lalu mereka pun melaporkan hal itu kepada polisi.

Saat pertama kali "diinterogasi" para tetangga, Emon mengaku melakukan kekerasan seksual hanya terhadap lima bocah. Tapi, ketika diperiksa di kantor Kepolisian Resor Kota Sukabumi, dalam sehari Emon sudah menuliskan 38 daftar nama anak lain yang jadi korbannya.

Begitu kabar soal aksi Emon tersiar, warga sekitar Pemandian Santa pun geger. Waswas anaknya telah menjadi korban Emon, mereka berdatangan melapor ke polisi. Baru lima hari menyelidiki kasus Emon, polisi sudah menerima 113 laporan orang tua.

Terkuak hampir bersamaan dengan kasus kekerasan seksual di Jakarta International School, aksi Emon pun segera menjadi sorotan berbagai kalangan, termasuk yang berada di luar Kota Sukabumi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga langsung mengirimkan tim investigasi.

Dari kepolisian, bukan hanya penyidik Polresta Sukabumi yang bergerak. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Kepolisian Daerah Jawa Barat pun perlu mengirim tim khusus untuk menelisik kasus Emon ini.

Menurut Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Muhammad Iriawan, polisi telah memeriksa fisik 113 anak yang dibawa orang tua mereka ke kantor polisi. Hasilnya, 18 anak diduga telah disodomi, 33 telah dicabuli, serta 10 anak sempat dibujuk dan dirayu. "Sisanya lebih karena kekhawatiran orang tua yang melapor," ucap Iriawan.

l l l

Kampung Liosanta, sekitar 800 meter dari bekas Pemandian Santa, tergolong permukiman padat. Gang masuk ke permukiman di Kelurahan Sudajaya Hilir, Kecamatan Baros, Sukabumi, ini lebarnya hanya sekitar setengah meter. Di kampung yang dihuni 77 keluarga itu, ada 34 anak berusia di bawah 14 tahun. Di kampung inilah Emon tumbuh menjadi "predator".

Kepada polisi, Emon mengaku punya kelainan seksual setelah menjadi korban sodomi tetangganya: Riki dan Suhendar alias Enday. Dua pria itu, yang umurnya lebih tua lima tahun daripada Emon, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Emon mengaku dicabuli Riki dan Enday saat berusia 10 tahun dan 15 tahun. "Di musala dekat rumah," kata Emon menunjuk tempat ia disodomi oleh keduanya.

Berdasarkan visum dokter, polisi menduga Emon pernah disodomi empat-tujuh kali. Namun sejauh ini polisi belum menemukan adanya hubungan istimewa Emon dengan Riki dan Enday. "Tidak ada hubungan asmara," ujar Kepala Satuan Reskrim Polresta Sukabumi Ajun Komisaris Sulaeman.

Tempat tinggal Riki hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah Emon. Sehari-hari ia bekerja sebagai sopir angkutan umum. Riki tinggal bersama istri, anak, dan ibunya. Rabu pekan lalu, saat Tempo mendatangi rumah Riki, pintu dan jendelanya tertutup rapat. Lampu di teras rumah berukuran sekitar 50 meter persegi itu dibiarkan menyala. Kepada Tempo, sejumlah tetangga Riki menyatakan Riki bersama istri dan anaknya meninggalkan rumah bersamaan dengan hari saat Emon ditangkap polisi, Kamis dua pekan lalu.

Seperti halnya rumah keluarga Riki, rumah keluarga Emon pun kosong melompong. Rumah itu ditinggalkan penghuninya sejak Senin pekan lalu. Tetangga tak ada yang tahu ke mana ibu dan adik Emon pergi.

Adapun Enday tinggal di Kampung Lamping, masih di Kecamatan Citamiang. Istri Enday, Eli Fitriani, mengatakan suaminya sehari-hari bekerja serabutan. Sesekali Enday ke Jakarta mencari uang dengan mengamen.

Ketika polisi mendatangi rumah Enday, Rabu dinihari pekan lalu, dia tak ada di rumah. Menurut Eli, Enday menghilang tanpa kabar sejak Selasa pekan lalu. "Dia pergi tanpa membawa pakaian dan tidak bilang hendak ke mana," kata Eli.

l l l

Emon punya beragam trik menjebak korbannya. Seorang anak berumur 11 tahun—sebut saja namanya Adit—bercerita ia kerap melihat dua kantong celana Emon penuh dengan permen. Gula-gula itu dibagikan Emon kepada setiap anak yang ikut bermain dengannya.

Kadang-kadang Emon mengajak anak-anak bermain layang-layang. Kepada mereka, ia membagikan layang-layang itu secara gratis. Adapun area permainannya, Emon selalu mengajak bocah-bocah ke tempat yang jauh dari permukiman.

Emon kerap bercerita memiliki banyak ilmu, termasuk ilmu gaib, kepada anak-anak. Seorang bocah—sebut saja namanya Harun—bercerita Emon mengaku kepada dirinya memiliki ilmu rumput dan batu. "Dia juga bilang punya ilmu untuk mengeluarkan hantu dan kuntilanak," ujar Harun.

Perihal ilmu rumput, Harun mengaku pernah melihat Emon menganyam dan melipat rumput sampai sedemikian kecil. Adapun ilmu batu, menurut Emon, itu ilmu gaib. "Kata Emon, itu bisa membuat kami lari sangat kencang," ucap Harun. Dia mengaku sering melihat Emon berlari sembari menelan kerikil.

Nah, saat anak-anak terpukau oleh cerita perihal ilmunya, Emon lalu memasang perangkap. Ia mengeluarkan jurus lanjutan: jika ingin mempelajari ilmu itu, mereka mesti menuruti permintaannya, yakni membuka celana. "Saya pernah mau ­diajari ilmu Emon, tapi saya kabur," kata Harun, yang kini duduk di kelas V sekolah dasar.

Di luar bualan soal ilmu-ilmu gaib tersebut, Emon punya jurus lain yang tak kalah memikat: duit atau telepon seluler. Dia mengiming-imingi anak-anak uang Rp 5.000-50.000 jika mereka bersedia disodomi. "Di kolam itu, anak saya pernah didekati Emon dengan iming-iming Rp 5.000," kata Syahrul—bukan nama sebenarnya—warga Kampung Liosanta.

Namun iming-iming fulus ini pun lebih banyak bohongnya. Seorang bocah yang menurut polisi sudah tujuh kali disodomi, misalnya, mengaku dijanjikan Emon bakal diberi ponsel. "Tapi, setiap kali bocah itu menagih, Emon selalu memberi jawaban handphone-nya belum datang," ujar polisi tersebut. Kepada Tempo, polisi itu menunjuk bocah tersebut termasuk salah satu korban yang paling sering disodomi Emon. "Emon mengaku paling menyukai dia dibanding bocah lain," kata penyidik tersebut.

Meski polisi sudah menyebutkan jumlah korban Emon, berapa persisnya anak di sekitar Pemandian Santa yang jadi korban kekerasan seksual belum bisa dipastikan. Emon sendiri kerap menyebutkan jumlah korbannya berbeda-beda. Dia, misalnya, mengatakan jumlah korbannya 55 anak. Namun, saat diperiksa pada hari lain, dia menyebut 120 anak.

Rabu pekan lalu, polisi menemukan buku tulis dengan sampul bergambar kartun kelinci di rumah Emon. Di buku itu, Emon mencatat 120 nama anak. Seratus nama ditulis dalam tabel lima kolom. Sisanya tercatat dalam halaman terpisah. Kepada polisi, Emon mengakui nama-nama itu merupakan bocah yang menjadi korbannya. "Ya, untuk koleksi saja," kata Emon saat Tempo bertanya untuk apa ia menuliskan nama anak-anak itu.

Menurut polisi, anak-anak yang menjadi korban pencabulan umumnya menunjuk Emon pelaku tunggalnya. Tapi, belakangan, Polres Sukabumi mendapat laporan ada bocah lelaki lain yang menjadi korban pencabulan pria lain. Jika itu benar, berarti ada "Emon" lain di luar "Emon Pemandian Santa". "Kami masih terus mengembangkan laporan tersebut dan mencari korban serta pelaku lainnya itu," kata Ajun Komisaris Sulaeman.

Yuliawati, M. Sidik Permana, Deden Abdul Aziz


Anak Mama Jadi Pemangsa

Sholihat tak kuasa membendung air matanya ketika menjenguk anak sulungnya, Andri Sobari, di Kepolisian Resor Kota Sukabumi. "Aduh Sayang, kunaon bisa jadi kieu (kenapa bisa jadi begini)?" kata Sholihat, 39 tahun, sembari mengelus kepala putranya, Sabtu dua pekan lalu.

Emon—panggilan akrab Andri, 24 tahun—segera memeluk ibunya. "Mama…," ujarnya merengek bak anak kecil. Pria berbadan gemuk dan berambut jigrak itu lalu rebahan di pangkuan sang ibu.

Selama 30 menit, Sholihat menunjukkan curahan kasihnya kepada Emon. Dia menyuapinya dengan nasi dan lauk yang dibawa dari rumah hingga tandas. Setelah itu, ia mengupas sebutir jeruk, lalu "menjejalkan"-nya ke mulut Emon sebagai penutup makan siang tersebut.

Sholihat mengaku terbiasa memanjakan Emon, yang pernah jatuh dari gendongan ketika berusia satu tahun. Sebelum jatuh, kata dia, Emon sudah bisa berjalan. "Setelah jatuh, ia tak sadar selama 12 jam." Setelah peristiwa itu, "kepintaran" Emon berjalan lenyap. "Dia lama tak bisa jalan. Sejak saat itu, saya tak tega memarahi dia," ucap Sholihat.

Menginjak usia remaja, secara fisik Emon tumbuh normal. Tapi sikap dan perilakunya seperti anak-anak. Dia gemar menonton film kartun. Ia juga tak suka bermain dengan teman seusianya. Teman bermain Emon adalah anak-anak yang berusia jauh di bawahnya.

Kendati dimanjakan, Emon menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya, Nanang Sobari, meninggal kala Emon duduk kelas III sekolah menengah pertama. Lulus sekolah menengah kejuruan, ia sempat bekerja serabutan. Emon pernah menjadi kuli bangunan dan kuli angkut di sebuah toko grosir.

Sebelum dicokok polisi, Emon bekerja sebagai buruh lepas di PT Supra Natami Utama—produsen makanan sari kelapa merek Inaco. Dia bekerja di bagian pembersih nampan. Sehari, Emon menerima upah Rp 36 ribu.

Emon memberikan hampir semua gajinya kepada sang ibu. Sholihat juga sangat mengandalkan gaji Emon untuk kehidupan mereka sehari-hari dan biaya sekolah adik Emon. Sebagai buruh pembungkus keripik, penghasilan Sholihat Rp 15 ribu per hari, jauh dari mencukupi untuk membiayai kehidupan dia dan anak-anaknya.

Ketika adik Emon, Arman Sobari, menikah dua tahun lalu, sang ibu meminta Emon segera mengakhiri masa lajangnya. Emon memang pernah mengajak seorang gadis untuk dikenalkan kepada ibunya. Tapi, tak berapa lama, hubungan dengan sang gadis putus. Emon mengaku sebenarnya ia tak punya "hasrat" kepada perempuan. "Setiap bertemu hanya sebentar, setelah itu saya diputusin," ujarnya.

Kepada Tempo, seorang penyidik mengatakan cukup sulit memeriksa Emon. "Jawabannya berbelit-belit." Untuk mengorek keterangan Emon, acap kali polisi mesti mengajaknya bermain atau bercanda dulu. "Bila diperlakukan kasar, dia bisa diam kayak batu," ucapnya.

Ketika Tempo mewawancarai Emon—bersama beberapa media—pekan lalu di Polresta Sukabumi, ia kerap memberi jawaban berubah-ubah.

Berapa anak yang pernah Emon sodomi?

Setahu aku ada 55 orang.

Di mana saja kamu melakukan itu?

Paling banyak di tempat pemandian air panas Santa. Tapi pernah juga di toilet masjid dan rumah saya.

Mengapa memilih tempat di sekitar pemandian air panas?

Banyak anak yang berkumpul di tempat pemandian.

Kapan biasanya melakukan itu?

Biasanya sih siang setelah anak-anak pulang sekolah.

Apakah Emon ingat nama anak-anak itu?

Iya, semuanya aku catat. Buku catatanku ada dua. Yang besar itu buku agenda harian.

Apa saja isi catatan itu?

Ya, isinya nama-nama korban. Anak-anak yang aku sodomi langsung dicatat di buku kecil. Aku simpan di atas lemari TV.

Untuk apa mencatat nama semua korban?

Ya, untuk koleksi saja.

Jadi berapa anak yang dicatat dalam buku itu?

Ada sekitar 120 orang.

Bagaimana cara merayu anak kecil?

Seperti ini, "Jang, kadieu geura. Hoyong artos 25 rebu teu? Upami hoyong, buka heula calanana (Dik, ke sini dulu. Mau uang Rp 25 ribu enggak? Kalau mau, buka dulu celananya)."

Emon suka perempuan?

Tidak. Saya sukanya sama anak kecil.

Kalau suka anak-anak, mengapa kamu menyakiti mereka?

Aku juga kan sempat menjadi korban sodomi. Makanya tiba-tiba aku mau mencoba sodomi anak lain.

Siapa yang menyakiti kamu?

Riki dan Enday. Mereka teman main saya.

Kapan Emon disodomi mereka?

Saat usia 10 tahun. Kemudian waktu usia 15 tahun, kelas II SMP, aku juga disodomi.

Kok, kamu menyakiti banyak anak?

Saya pernah mendapat bisikan sewaktu kerja di bangunan dekat Polsek Citamiang. Ada seorang kakek yang datang dan berbicara, "Kalau kamu mau kaya, kamu harus menyodomi 200 anak." Setelah itu, tiba-tiba si kakek hilang.

Yuliawati, M. Sidik Permana, Deden Abdul Aziz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus