Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Surabaya bersiap menjadi kota pertama yang berhasil menjalankan program percepatan listrik sampah.
Kajian KPK mencatat kelemahan dalam pelaksanaan proyek di beberapa daerah.
Proyek PLTSa di kota lain diperkirakan bakal molor.
CEROBONG merah-putih menjulang di antara dua instalasi utama pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang berbaris di pinggir kompleks Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, Surabaya. Pembangunan pembangkit unit kedua yang merupakan pengembangan unit sebelumnya tersebut telah rampung dan menunggu peresmian Presiden Joko Widodo.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Hendra Iswahyudi optimistis pembangkit Benowo bisa segera beroperasi. Saat berkunjung ke lokasi pembangkit, Jumat, 13 Maret lalu, Hendra telah mengecek serangkaian kegiatan pengujian peralatan dan sistem kelistrikan di pembangkit baru berkapasitas 9 megawatt tersebut. “Ini akan menjadi contoh bagi sebelas kota lain,” kata Hendra, Jumat, 27 Maret lalu.
PLTSa Benowo adalah satu di antara 12 proyek percepatan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL) berbasis teknologi ramah lingkungan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Selain di Surabaya, pembangkit berbasis sampah kota ini direncanakan dibangun di DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Semua kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah diminta bahu-membahu memberikan kemudahan perizinan supaya proyek tak jalan di tempat.
Yang baru kelar dibangun di TPA Benowo ini sebenarnya proyek kedua. Sejak 2015, unit pertama berkapasitas 1,65 megawatt telah beroperasi dengan metode pemanfaatan gas metana (landfill gas/LFG) hasil pengolahan 1.000 ton sampah per hari. Sedangkan unit baru memakai sistem termal, memanfaatkan uap panas hasil pembakaran sampah.
Beresnya perjanjian pembelian dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan ketersediaan infrastruktur jaringan 20 kilovolt di lokasi proyek membuat PT Sumber Organik, pengembang proyek ini, hakulyakin pembangkit bisa beroperasi sebelum paruh pertama 2020 berlalu. “Sehingga dapat menyuplai listrik bagi warga Surabaya dan sekitarnya,” ucap Direktur Utama PT Sumber Organik Agus Nugroho.
Di Jakarta, rencana pemerintah DKI mengembangkan fasilitas pengolahan sampah atau intermediate treatment facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara, juga menunjukkan kemajuan setelah terkatung-katung sejak digagas pada 2015. Perjanjian kerja sama pembangunan telah diteken Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo atau Jakpro, badan usaha milik daerah, pada Oktober 2019. Biaya layanan pengolahan sampah alias tipping fee senilai Rp 583 ribu per ton—dengan jaminan pasokan sampah 2.200 ton per hari—juga telah disepakati pada Februari 2020, yang akan berlaku saat ITF Sunter beroperasi.
Proyek ITF Sunter rencananya dikembangkan PT Jakarta Solusi Lestari, perusahaan patungan antara Jakpro dan Fortum, perusahaan asal Finlandia yang menjadi mitra Jakpro. Pembangunan diperkirakan membutuhkan waktu tiga tahun. Selanjutnya, Jakarta Solusi Lestari akan mengoperasikannya selama 25 tahun dengan skema build-operate-transfer. Setelah konsesi habis, aset diserahkan ke pemerintah DKI Jakarta.
PLTSa Sunter bakal menggunakan teknologi insinerasi memakai tungku pembakar sampah. Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menjelaskan, metode ini banyak dipilih untuk diterapkan di kota besar dengan area pengolahan terbatas tapi memiliki target mereduksi sampah dalam volume besar.
Di Sunter, misalnya, luas lahan yang tersedia hanya 3,05 hektare untuk menggiling 2.200 ton sampah per hari. Bandingkan dengan pembangkit unit pertama di Benowo, yang dengan area mencapai 37,4 hektare mengolah sekitar 1.000 ton sampah sehari. “Sehingga membutuhkan investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan yang lebih besar,” tutur Asep.
Namun tak semua proyek percepatan pembangkit listrik tenaga sampah menunjukkan kemajuan. Kajian tim Direktorat Penelitian dan Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat sejumlah proyek justru bergerak merangkak, bahkan mundur. Kajian menunjukkan kondisi ini terjadi lantaran besarnya proyek, baik kebutuhan dana investasi maupun teknologi, tak diimbangi kemampuan sumber daya manusia di tingkat pemerintah daerah.
Di Palembang, misalnya, lelang proyek sempat dipersoalkan dan tak mendapat rekomendasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lantaran pengembang tak melengkapi dokumen teknis yang disyaratkan. Tim KPK juga menyoroti perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Palembang dan PT Indo Green Power sebagai pengembang yang dianggap berat sebelah. Contohnya, pemerintah daerah tetap harus membayar tipping fee Rp 297 ribu per ton dengan pasokan sampah 1.000 ton per hari kendati realisasi pengiriman sampah kurang dari itu.
Pemerintah Kota Palembang sebenarnya telah memulai rencana renegosiasi untuk mengubah perjanjian tersebut. Namun pembahasan belum rampung dan kini tertunda akibat wabah Covid-19. “Ditunda dulu. Akan ada penjadwalan ulang setelah persoalan Covid-19 berlalu,” ujar Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Palembang Ratu Dewa kepada Tempo, Rabu, 25 Maret lalu.
Dengan kondisi tersebut, target dimulainya pembangunan pembangkit berkapasitas 20 megawatt itu pada pertengahan tahun ini agaknya bakal molor. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kebersihan Kota Palembang Alex Fernandus mengungkapkan, hingga pekan lalu, belum ada aktivitas sama sekali di lahan seluas 22 hektare yang disiapkan pengembang di daerah Keramasan, sekitar 8 kilometer barat daya pusat kota.
Masalah juga dihadapi rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di TPA Suwung, Denpasar, Bali. Penyebabnya, pemerintah mengubah skema penugasan menjadi lelang ulang.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali Made Teja menjelaskan, pemerintah daerah akan melelang ulang proyek ini untuk menyesuaikannya dengan ketentuan kerja sama pemerintah dan badan usaha. “Nantinya, bila ada hambatan (dalam memenuhi kelengkapan dokumen), pemda akan menentukan pola baru dalam pengelolaan pembangkit listrik bertenaga sampah ini,” katanya, Jumat, 27 Maret lalu.
Menurut Made Teja, saat ini Dinas Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman sedang menyusun kajian akhir pra-studi kelayakan atau final business case untuk pengolahan 1.000 ton sampah per hari yang ditargetkan bisa menghasilkan setrum hingga 10 megawatt tersebut. “Bila selesai tepat waktu, proses selanjutnya tahap transaksi atau proses lelang,” ucap Made Teja. Dia mengakui proses melengkapi dokumen hingga eksekusi bakal memakan waktu cukup lama. “Tapi semua harus dilewati.”
RETNO SULISTYOWATI, PARLIZA (PALEMBANG), MADE ARGAWA (BALI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo