Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Seratus Hari Tak Bertaji

Pengusutan perkara di Komisi Pemberantasan Korupsi menurun di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Tak ada operasi tangkap tangan akibat proses perizinan yang panjang.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyelidik KPK ditangkap penduduk di Jember ketika sedang mengumpulkan bukti.

  • Panjangnya proses pengajuan izin penyadapan menghambat operasi tangkap tangan.

  • Konsep pencegahan korupsi yang dijanjikan Firli Bahuri juga tak berkembang.

TIGA hari berlalu, mobil Toyota Innova berpelat L itu masih terlihat wira-wiri di Desa Sukowono, Jember, Jawa Timur. Sesekali mobil berpenumpang tiga orang dan seorang sopir itu parkir di depan kantor desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivitas janggal tersebut memantik kecurigaan warga desa. Pada Selasa malam awal Februari itu, penduduk akhirnya menggeruduk mobil ketika sedang terparkir di mulut gang menuju rumah Kepala Desa Sukowono Kholifah. “Massa hampir menghajar mereka karena tak mau menunjukkan kartu identitas,” kata Kholifah menceritakan lagi peristiwa tersebut pada Rabu, 25 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penduduk menyangka para penumpangnya bagian dari sindikat penculikan anak. Waktu itu cerita soal penculikan sedang jadi perbincangan warga desa. Walau sudah dikepung penduduk, para penumpang, dua perempuan dan seorang pria, enggan membuka identitasnya.

Camat Sukowono, personel komando rayon militer, dan petugas dari kepolisian sektor ikut turun tangan. Tapi penumpang mobil tetap bungkam. “Mereka bilang hanya menumpang tidur,” ujar Kholifah.

Mencegah amukan massa, aparat memboyong penumpang Innova ke kantor Kepolisian Resor Jember. Ketiganya akhirnya berterus terang. Mereka mengaku sebagai pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang sedang bertugas memantau sebuah kasus.

Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, membenarkan informasi bahwa petugas KPK ditangkap penduduk di Jember. Ia mengatakan tim tersebut sedang melakukan penyelidikan tertutup—istilah di KPK ketika sedang menghimpun bukti di lapangan—kasus korupsi renovasi rumah tidak layak huni (RTLH) Pemerintah Kabupaten Jember.

Setelah pengumpulan bahan di lapangan itu gagal, KPK melakukan penyelidikan terbuka dengan memanggil sejumlah orang untuk dimintai keterangan. “Ada dinamika di lapangan,” ucap Ali Fikri memberikan alasan.

Menurut penegak hukum yang mengetahui proses tersebut, KPK tak memulai penyelidikan kasus RTLH dengan menyadap komunikasi para pelaku. Alasannya, pengajuan izin menyadap kepada pimpinan membutuhkan waktu yang panjang. Tim langsung turun ke Sukowono untuk menemukan bukti keras begitu menerima informasi akan ada serah-terima duit.

Lokasi gang di Jalan Sokowono tempat penye­lidik KPK digeru­duk warga, 25 Maret 2020./TEMPO/ Nur Hadi

Perizinan berbelit mulai terjadi di bawah pemimpin KPK periode ini. Tak hanya di kasus Jember, kata penegak hukum tadi, pengajuan izin penyadapan memakan proses panjang selama tiga bulan belakangan. Ini berdampak pada operasi tangkap tangan. Akhir-akhir ini KPK tak lagi menggulung pelaku suap karena peristiwa serah-terima duit tak terpantau lantaran terhambat izin menyadap.

KPK di bawah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, dan Nawawi Pomolango memang pernah menggelar operasi tangkap tangan. Tim KPK menangkap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah pada Januari lalu. Tapi surat perintah penyelidikan dan izin penyadapan dua perkara itu diterbitkan pemimpin KPK periode lama.

Sebenarnya penyelidik menyiapkan sejumlah operasi tangkap tangan lain. Menurut dua penegak hukum yang ditemui terpisah, rencana itu kandas karena operasi bocor dalam proses pengajuan izin menyadap.

Selain minim operasi tangkap tangan, pemimpin KPK tak banyak membuka kasus baru. Sejak dilantik Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2019, Firli dan kawan-kawan memang telah meneken 60-an surat perintah penyelidikan sepanjang tiga bulan terakhir. Tapi sebagian besar kasus itu telah diselidiki sejak periode pemimpin KPK sebelumnya. Dengan kata lain, pemimpin KPK sekarang hanya memperpanjang surat perintah penyelidikan.

Di bawah pemimpin periode sekarang juga KPK banyak “mengalah”. Misalnya, menurut dua penegak hukum tadi, KPK sebenarnya sudah menangani dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya sejak pertengahan 2019. Penanganan kasus tak berlanjut karena Firli “mempersilakan” Kejaksaan Agung mengusutnya. Padahal Kejaksaan baru memulai penyelidikan pada November 2019.

Penyelidik juga sudah bersiap menangani dugaan korupsi di PT Asabri sejak awal 2020. Penyelidikan berjalan di tempat setelah Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menangani kasus tersebut.

Tak kinclongnya KPK periode ini diperburuk oleh masih berkeliarannya empat buron yang kasusnya membetot perhatian publik. KPK kehilangan jejak bekas Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, beserta menantunya, Rezky Herbiyono, dan pengusaha Hiendra Sunjoto. Ketiganya tersangka suap penanganan perkara di MA. Demikian juga keberadaan Harun Masiku. Penyuap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, ini pun tak diketahui rimbanya.

Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI, Wahyu Setiawan (kanan), menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Januari 2020./TEMPO/Imam Sukamto

Dalam perkara Harun Masiku, pemimpin KPK malah menyederhanakan kasus. Mereka mengesampingkan dugaan keterlibatan petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meski saat itu, ketika Wahyu Setiawan baru saja ditangkap, indikasinya kuat. Akibatnya, kasus berhenti di Harun Masiku, yang kini entah di mana.

Firli Bahuri membantah jika KPK disebut malas mengungkap kasus baru. Menurut dia, minimnya jumlah penindakan merupakan bukti keberhasilan KPK bekerja dalam bidang pencegahan. “Jawabannya mungkin pencegahannya berhasil. Yang pasti akan dilakukan evaluasi, bukan berarti kami tidak bekerja,” ujar Firli, pertengahan Maret lalu. Saat menjalani seleksi sebagai calon pemimpin KPK, Firli dan keempat koleganya memang sama-sama mengutamakan program pencegahan ketimbang penindakan.

Firli mengatakan KPK memiliki tiga senjata: pencegahan, penindakan, dan kombinasi antara pencegahan dan penindakan. Jenderal polisi bintang tiga ini mengakui memang mengutamakan pencegahan pada awal kepemimpinannya di KPK. Menurut dia, selama ini kasus operasi tangkap tangan meliputi perkara pengadaan barang dan jasa, tata kelola keuangan, pelayanan, serta reformasi birokrasi. “Itu yang membuat semangat kami berkoordinasi dengan kementerian,” tutur bekas Deputi Penindakan KPK ini.

Meski mengedepankan pencegahan, kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, penanganan perkara terus berjalan. Menurut dia, dua operasi tangkap tangan pada awal Januari lalu juga merupakan capaian KPK di era Firli. “Ketika menetapkan tersangka itu kan produk pimpinan baru, perlu pemikiran dan argumentasi,” ujar Ali.

Dia mengatakan operasi tangkap tangan hanya salah satu metode KPK untuk memberikan efek kejut sehingga program pencegahan bisa berhasil. Program pencegahan, kata Ali, tak akan efektif tanpa diiringi operasi tangkap tangan.

Ali menyanggah informasi bahwa proses izin penyadapan yang berbelit berdampak pada rencana operasi tangkap tangan. Menurut dia, koordinasi antara pemimpin KPK dan Dewan Pengawas berjalan mulus sehingga izin penyadapan bisa terbit dalam 24 jam. “Saya tahu betul, tidak ada kendala yang berarti,” tuturnya.

Di bidang penindakan, Ali mengklaim KPK tetap tak kendur. Selama tiga bulan ini, komisi antikorupsi telah menerbitkan 63 surat perintah penyelidikan dan 24 surat perintah penyidikan. Menurut Ali, tim KPK pun terus mengejar empat buron meski wabah corona sedang melanda. “Saya tadi baru saja berkomunikasi dengan tim yang menangani Nurhadi cs. Mereka terus bekerja,” ucapnya. 

Nurhadi/TEMPO/Imam Sukamto

Tetap saja kinerja KPK di bawah Firli Bahuri tak memuaskan aktivis antikorupsi. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mencatat, selama seratus hari kepemimpinan Firli, KPK tak bertaji dan sarat kontroversi.

Soal keberadaan Harun Masiku pada awal kasus mencuat, misalnya, KPK ketinggalan informasi. Komisi antikorupsi sempat menyangkal keberadaan Harun di Indonesia, meski Tempo memperoleh bukti bahwa Harun berada di Jakarta. Setelah itu, KPK kehilangan jejaknya sebagaimana dalam kasus Nurhadi, bekas Sekretaris MA.

Penindakan sejumlah kasus pun menurun drastis. Dalam catatan Kurnia, selama 2016-2019, komisi antirasuah menggelar operasi tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan jumlah tersangka 327 orang. Tiga bulan lebih di bawah Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali operasi. “Itu pun penyelidikannya dimulai pada era Agus Rahardjo,” ujar Kurnia.

LINDA TRIANITA, NUR HADI (JEMBER)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus