TEHERAN, Kermanshah, Qasr-e-Shirin dan terakhir
Khorramshahr-semua kota perbatasan Iran itu diberitakan jatuh ke
tangan Irak dengan cepat. Tapi seringkali pemberitaan media
massa Barat mendahului kehebatan gerak maju pasukan lapis baja
dan artileri Irak -- suatu pertanda betapa pentingnya peranan
Humas (Public Relations).
Sebelum melakukan serangan pendadakan 22 September, Irak
tampaknya sudah merencanakan bukan saja pertempuran di gurun
pasir, tapi juga bagaimana merebut publisitas. Antara lain ia
membuka pintu lebar bagi wartawan asing untuk meliput peperangan
di garis depan. Ternyata lebih 1.000 wartawan dari AS, Eropa dan
Asia membanjiri Baghdad. Pemerintah Irak menyediakan akomodasi
cuma-cuma buat mereka seperti di Hotel Al Mansour Melia,
Baghdad. Di situ mereka bisa menggunakan tujuh sambungan teleks
dan lima sambungan telepon internasional sepuasnya, sekalipun
harus antre.
Sukar Ditampung
Sikap terbuka Baghdad sekali ini agak mengagumkan. Dengan
kendaraan militer (APC) para wartawan asing tadi sering diajak
meninjau garis depan ke Mehran, misalnya, ketika pasukan Irak
baru saja memasukinya. Namun pertempuran terjadi sepanjang garis
300 km, sedang banyak wartawan yang tidak sempat terjun ke lini
depan mengutip begitu saja komunike resmi pemerintah Irak.
Akibatnya sering terjadi kesimpang-siuran pemberitaan: kota yang
masih sepenuhnya dikuasai Iran, disebut berhasil direbut Irak.
Khorramshahr, kota pelabuhan utama Iran di jalan air
Shatt-al-Arab, misalnya, dua kali dalam dua minggu diberitakan
jatuh ke tangan Irak. Terakhir ini sebagai memperkuat pernyataan
itu, seorang komandan pasukan lapis baja Irak (6 Oktober)
mengundang dua wartawan AS untuk meninjaunya. Tapi mendadak
undangan tadi dibatalkan-karena ternyata pasukan lapis baja Irak
masih berada di luar kota Khorramshahr.
Sehari kemudian wartawan radio BBC Christopher Morris
memberitakan bahwa Khorramshahr sepenuhnya berada di bawah
kontrol pasukan Irak. Di bawah lindungan kegelapan malam dan
tembakan artileri, kata Morris yang terjun ke sana, pasukan Irak
memasuki kota, dan menguasai kawasan pelabuhan. Ternyata
perlawanan pasukan Iran, terutama Pasdaran (Pengawal Revolusi)
masih berlangsung dli kota itu akhir pekan lalu.
Kamis pagi 9 Oktober para wartawan terkejut. Mereka diharuskan
meninggalkan Baghdad. Sumber diplomat Barat menceritakan kepada
wartawan Belanda bahwa pemerintah Irak agak kecewa dengan
laporan wattawan asing. Misalnya ada yang melaporkan Bahdad
dibom Iran dan ribuan orang siap-siap mengungsi. Ada lagi yang
memberitakan Partai Baath yang berkuasa menghadapi perpecahan.
Tentu saja berita semacam itu kurang berkenan di hati tuan
rumah.
Sekalipun demikian, Baghdad masih menganggap penting kehadiran
kantor berita internasional - seperri Associated Press dan
United Press International (keduanya dari AS), Agence France
Presse (Prancis), dan Reuter (Inggris). Bahkan jaringan televisi
Barat masih diperbolehkannya menempatkan regu masing-masing,
demi memenangkan publisitas dunia.
Demikian banyak kemenangan Irak dalam pemberitaan media massa
Barat, hingga Presiden Iran Abolhassan Bani Sadr gusar dan letih
membantahnya. "Iran harus menunjukkan bahwa semua propaganda
(Irak) itu dusta," katanya.
Bani-Sadr tampaknya terutama khawatir bahwa pemberitaan yang
banyak menyebut kekalahan Iran tadi akan melemahkan moral
tentara dan rakyat Iran. Apalagi versi Irak yang banyak tersiar
itu akan bisa merugikan posisi Iran di mata dunia. Sambil
memperbaiki citra Iran, pemerintahannya kemudian membuka pintu
lebar bagi wartawan asing, namun artawan AS dan Inggris tetap
tidak diperkenankannya masuk.
Perubahan sikap pemerintahan Bani Sadr itu mendapat reaksi sinis
dari kelompok pers Partai Republik Islam. "Setiap usaha
merangkul kebebasan Barat akan berarti melakukan persekutuan
dengan kekuatan imperialis," sindir suatu koran.
Betapa pun Teheran sudah menyatakan terbuka, wartawan asing
tetap menemui kesulitan. Hampir semua penerbangan ke Teheran
dari negara Teluk Persia dan Timur Tengah telah dibatalkan.
Hanya Karachi dan Moskow yang masih membuka rute penerbangan ke
sana. Akibatnya banyak wartawan asing harus menempuh jalan darat
dari Turki untuk mencapai Iran. Perjalanan lewat Tabriz (Iran)
ini mengandung risiko besar, sebab hampir setiap saat pesawat
Irak menggempur kawasan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini