Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Perang Dagang AS-Cina, Ini Harapan Pengusaha Kelapa Sawit

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang semakin memanas mulai berpengaruh terhadap pasar minyak nabati.

11 Juli 2018 | 16.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani menata buah kelapa sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, OKI, Sumatera Selatan, Minggu (4/12). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang semakin memanas mulai berpengaruh terhadap pasar minyak nabati. Pasalnya, Cina mulai mengurangi pembelian kedelai dari Amerika dan menyebabkan stok melimpah serta menekan harga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan, makin tak menentunya situasi pasar dan semakin panasnya hubungan dagang kedua negara memerlukan perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. "Perhatian khusus kepada industri minyak sawit untuk menjaga agar harga tidak terus merosot," kata Mukti, Rabu, 11 Juli 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti diketahui Amerika telah mulai menerapkan tarif pajak tinggi terhadap barang dari Cina. Hal tersebut dibalas dengan Cina mengurangi pembelian kedelai dari Amerika. Akibatnya stok kedelai di Amerika melimpah.

Berlimpahnya stok kedelai AS dan permintaan pasar global yang lemah menyebabkan adanya penurunan harga. Hal itu juga menyebabkan stok minyak nabati lain seperti rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit juga cukup melimpah di negara produsen.

Dengan kondisi tersebut, harga minyak nabati terus tercatat mengalami penurunan. Khusus untuk Indonesia, pemerintah diharapkan membuat kebijakan untuk meningkatkan konsumsi di dalam negeri dengan mendorong penggunaan biodiesel yang lebih banyak.

Mukti menyebutkan mandatori biodiesel sudah waktunya diterapkan kepada non-PSO untuk mendongkrak konsumsi di dalam negeri. "Jika konsumsi di dalam negeri tinggi maka stok akan terjaga sehingga harga di pasar global tidak anjlok karena stok yang melimpah," tuturnya.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mulai menjajaki pasar Afrika yang masih memiliki potensi besar akan tetapi infrastruktur masih minim. Pemerintah dapat membuat kebijakan seperti menurunkan tarif ekspor minyak goreng kemasan ke negara Afrika.

Berdasar catatan Gapki, volume ekspor minyak sawit termasuk biodiesel dan oleochemical mengalami penurunan sebesar tiga persen atau dari 2,39 juta ton pada April 2018, susut menjadi 2,33 juta ton pada Mei 2018. Khusus volume ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya tidak termasuk biodiesel dan oleochemical pada Mei 2018 tercatat menurun empat persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya, atau dari 2,22 juta ton merosot menjadi 2,14 juta ton.

Penurunan ekspor dipengaruhi stok minyak nabati lain yang melimpah di pasar global sehingga dengan harga yang murah juga tidak mendongkrak permintaan. Sementara itu, produksi CPO pada Mei 2018 mencapai 4,24 juta ton atau naik 14 persen dibandingkan April 2018 yang sebanyak 3,72 juta ton. Produksi pada Mei 2018 tersebut juga mengerek stok minyak sawit Indonesia menjadi 4,76 juta ton dibanding pada bulan lalu yang sebanyak 3,98 juta ton.

Sementara dari sisi harga, sepanjang Mei 2018, harga CPO global bergerak di kisaran US$ 650-670  per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 653,6 per metrik ton. Harga rata-rata Mei menurun US$ 8,6 dibandingkan harga rata-rata pada April 2018 yang sebesar US$ 662,2 per metrik ton. Harga minyak sawit pada bulan mendatang diperkirakan akan cenderung menurun karena stok minyak sawit Indonesia dan Malaysia masih tinggi.

Simak berita menarik lainnya terkait perang dagang hanya di Tempo.co .

ANTARA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus