Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Perbankan me-respons positif relaksasi kebijakan Bank Indonesia tentang pertukaran mata uang untuk lindung nilai (swap hedging). Sebelumnya, biaya premi swap hedging di perbankan dikeluhkan oleh pengusaha karena dinilai mahal, yakni 5-8 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bank-bank BUMN, termasuk BNI, berkomitmen untuk mengembangkan pasar hedging, ditunjukkan dengan volume transaksi swap kami yang makin meningkat," ujar Direktur Bisnis Tresuri dan Internasional PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Rico Rizal Budidarmo, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rico memastikan biaya premi yang dikenakan kepada nasabah juga akan makin efisien dengan relaksasi kebijakan tersebut. "Kami selalu mengupayakan pricing yang diberikan kepada nasabah selalu yang terbaik, sesuai dengan harga yang terbentuk dari mekanisme pasar yang transparan," ujarnya.
Direktur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Iman Nugroho Soeko, membenarkan bahwa bank sentral terus mensosialisasi kepada perbankan agar aktif mengembangkan pasar hedging, termasuk membuat biaya hedging bisa lebih efisien. Namun, menurut dia, hasilnya tetap kembali kepada permintaan (demand) hedging dari nasabah. "Tapi permintaan hedging di kami memang masih minim, karena hampir mayoritas nasabah BTN bisnisnya dalam rupiah," kata dia.
Direktur PT Bank Central Asia (Persero) Tbk, Jahja Setiaatmadja, membantah jika perbankan selama ini mengambil selisih (spread) biaya yang tinggi untuk transaksi hedging nasabah. "Biaya hedging adalah selisih bunga rupiah dan dolar AS, jadi mahal atau murahnya tergantung beda bunga di antara keduanya, bank cuma ambil fee kecil," tuturnya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah, menuturkan biaya hedging yang mahal, menjadi salah satu alasan eksportir lebih memilih untuk menyimpan valas miliknya dibanding menukarnya (swap) ke dalam kurs rupiah. "Pasar swap BI selama ini masih dianggap mahal, karena sebetulnya kami berharap pasar swap di perbankan yang bisa lebih aktif," ujarnya. "Tapi ternyata volume transaksi hedging di pasar belum banyak berkembang."
Menurut Nanang, meskipun lembaganya banyak melakukan relaksasi, komitmen dari perbankan untuk mengembangkan pasar hedging masih lemah. Biaya yang ditimbulkan pun belum efisien. Maka itu, BI pun memutuskan untuk meningkatkan transparansi dalam penentuan tarif (rate) melalui mekanisme swap lelang dan swap hedging tersebut. BI nantinya akan menentukan premi sebelum lelang yang digelar setiap hari untuk pertukaran dolar AS, dan setiap Rabu khusus yen, euro, dan yuan.
"Kami ikut masuk ke pasar bukan untuk berkompetisi dengan bank, tapi kami ingin efisienkan pasar swap supaya preminya enggak mahal," kata Nanang. Selain itu, BI akan menurunkan batas minimum transaksi hedging, dari semula US$ 10 juta menjadi US$ 2 juta.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengungkapkan selain efisiensi biaya hedging, yang terpenting bagi pelaku sektor riil adalah memiliki rasa percaya diri (confidence) terhadap nilai tukar rupiah. "Kalau mereka meyakini rupiah ke depan masih akan tetap tertekan, kemungkinan terdepresiasi masih tinggi, maka berapa pun biaya hedging diturunkan tidak akan menarik buat pelaku usaha. Sebab, risikonya tetap lebih besar," ucapnya.
Menurut dia, BI tetap harus berperan besar untuk mendorong pengembangan pasar hedging ini. "Karena kalau perbankan sifatnya mengikuti saja dari regulator seperti apa." GHOIDA RAHMAH
Tren Kinerja Pasar Swap Hedging
Bank Indonesia terus berupaya mengembangkan transaksi swap hedging di pasar valas, untuk mengurangi transaksi spot yang selama ini mendominasi. Sehingga risiko kerugian akibat selisih kurs yang terlalu tinggi dapat diminimalkan. Berikut ini perkembangan pasar FX swap dibanding pasar spot dan pasar forward berdasarkan catatan BI:
Tren Pasar FX Swap
Periode | Antar-Bank | Nasabah | 2014 | US$ 600 juta | US$ 100 juta | 2015 | US$ 780 juta | US$ 150 juta | 2016 | US$ 800 juta | US$ 190 juta | 2017 | US$ 1 miliar | US$ 230 juta | 2018 | US$ 1,2 miliar | US$ 210 juta |
Tren Pasar Spot
Periode | Antar-Bank | Nasabah | 2014 | US$ 590 juta | US$ 1,58 miliar | 2015 | US$ 630 juta | US$ 1,4 miliar | 2016 | US$ 720 juta | US$ 1,43 miliar | 2017 | US$ 720 juta | US$ 1,58 miliar | 2018 | US$ 900 juta | US$ 1,78 miliar |
Tren Pasar Forward
Periode | Antar-Bank | Nasabah | 2014 | US$ 10 juta | US$ 150 juta | 2015 | US$ 15 juta | US$ 180 juta | 2016 | US$ 20 juta | US$ 190 juta | 2017 | US$ 25 juta | US$ 180 juta | 2018 | US$ 26 juta | US$ 249 juta |
GHOIDA RAHMAH | SUMBER: BANK INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo