Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bunga rujukan The Federal Reserve kembali luruh pada pengujung Oktober. Sebagaimana mestinya, bunga yang lebih rendah di Amerika Serikat menggiring dana-dana investasi portofolio masuk ke sini. Itulah yang terjadi sepanjang Oktober lalu.
Sejak pekan kedua, investor asing yang sudah mengantisipasi penurunan bunga itu pelan-pelan memborong berbagai surat utang terbitan pemerintah. Walhasil, nilai seluruh surat berharga negara yang menjadi milik asing bertambah Rp 30 triliun sepanjang Oktober saja.
Sayangnya, dorongan kebijakan The Fed ini berhenti seketika. Setelah memutuskan penurunan bunga, Rabu, 30 Oktober lalu, Ketua The Fed Jerome H. Powell langsung memberi sinyal kuat bahwa bunga tak akan turun lagi, kecuali ada perkembangan baru yang membuat The Fed harus mengkaji ulang kebijakannya.
Reaksi pasar langsung berbalik mendengar pernyataan Powell itu. Kurs rupiah yang sempat menguat di bawah 14 ribu per dolar Amerika Serikat kembali membal melampaui batas psikologis itu pada akhir pekan lalu.
Tanpa dorongan penurunan suku bunga The Fed, memang akan berat bagi rupiah untuk menguat. Maklum, baik beban defisit neraca perdagangan maupun neraca transaksi berjalan masih membebani Indonesia. Dua defisit ini bahkan cenderung makin besar memasuki pengujung 2019. Tak aneh jika nilai rupiah sudah kembali ke jalur biasanya, terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang The Fed tidak menurunkan lagi bunga rujukannya.
Tak hanya tergambar pada dua defisit tadi, pelemahan ekonomi Indonesia juga tampak makin nyata pada pergerakan dana portofolio asing yang masuk ke sektor riil. Indonesia memang masih menjadi tujuan menarik bagi investasi portofolio ketika bunga The Fed turun. Namun belakangan ini ada pergeseran tujuan investasi. Investor asing yang masuk memilih obligasi pemerintah sebagai lahan berinvestasi. Sebaliknya, dari pasar saham justru terjadi pergerakan dana keluar yang cukup signifikan. Dalam tiga bulan terakhir, dana asing yang hengkang dari Bursa Efek Indonesia mencapai Rp 20,99 triliun.
Alasan utama investor menghindari sektor riil Indonesia adalah mengantisipasi pelemahan kinerja berbagai perusahaan yang tercatat di bursa. Laporan keuangan per kuartal ketiga 2019 yang terbit pekan lalu menunjukkan penurunan laba berbagai perusahaan blue chip yang selama ini menjadi pilihan investor asing. Laba PT Astra International Tbk (ASII), misalnya, anjlok 7 persen dibanding laba per kuartal III 2018. Dalam tiga bulan terakhir, secara neto investor asing menjual saham ASII senilai Rp 1,29 triliun.
Keputusan investor asing melepas saham ASII tak lepas dari kelesuan penjualan mobil di Indonesia, bisnis utama ASII, yang selama sembilan bulan pertama 2019 menurun 12 persen dibanding tahun silam. Penjualan mobil dapat menjadi salah satu tolok ukur apakah ekonomi sedang lesu darah atau tumbuh bergairah. Penurunan sebesar 12 persen jelas menggambarkan kelesuan yang cukup serius.
Pelemahan ekonomi pun tak hanya tergambar pada sektor industri, tapi juga di bisnis komoditas yang biasanya menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia. Harga batu bara acuan Indonesia, misalnya, per Oktober 2019 tercatat hanya US$ 64,8 per ton—harga terendah dalam hampir tiga tahun terakhir. Laba perusahaan tambang seperti PT Aneka Tambang Tbk dan Vale Indonesia Tbk juga merosot pada kuartal ketiga 2019 masing-masing sebesar 11 persen dan 99,7 persen.
Pergeseran investasi portofolio asing yang menggambarkan pelemahan ini seharusnya mendapat respons serius. Kabinet Indonesia Maju yang baru terbentuk semestinya segera merumuskan gebrakan kebijakan untuk menggairahkan ekonomi yang tengah sempoyongan sebelum benar-benar pingsan.
Peringkat Kredit Indonesia
Standard & Poor's
Rating BBB Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit
Rating Agency Rating BBB Outlook Stable
Kurs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo