PENGGEMAR "Obrolan Pak Besut" boleh mulai pasang kuping lagi. Tak lama lagi, RRI Nusantara II Yogya akan mengumandangkan kembali acara semacam itu. Tapi tokohnya, barangkali, tak lagi bernama Pak Besut, melainkan... Pak Pringgo. Obrolan Pak Besut, yang disiarkan tiap Kamis dan Sabtu pukul 9 malam sejak 1945 itu, memang punya banyak penggemar. Bertahun-tahun, tak kurang dari selusin surat dalam sebulan datang ke studio, memuji siaran itu. Dan sekarang, surat tetap juga mengalir, "tapi isinya menanyakan kapan Pak Besut mengudara lagi," ujar Beny Kusbani, kepala Pemberitaan RRI Yogya. Sejak Agustus 1981, obrolan itu memang menghilang. Ini lantaran sang dalang, Pancratius Suradi Wardoyo, 73, terserang sakit lumpuh. Meski pada September 1983 lalu obrolan itu sudah dibukukan penggemar Pak Besut tetap saja mempersoalkan kelangsungan obrolan Pak Besut. Untuk mencari pengganti itulah, diadakan lomba obrolan gaya Pak Besut. Berlangsung 11-24 Desember, lomba diikuti 98 peserta. Para calon lebih dulu menyusun naskah obrolan, untuk dinilai materi, bahasa, dan aktualitasnya. Suara peserta lomba juga dinilai, untuk mengetahui tempo dan aksentuasi. "Kami tidak mencari duplikat Pak Besut," kata Beny Kusbani, yang kali ini bertindak selaku ketua panitia, memberi penjelasan tujuan lomba. "Yang dicari adalah pola penyampaian pesan model Pak Besut." Dewan juri yang diketuai M. Wonohito, pemimpin umum harian Kedaulatan Rakyat, merumuskan kriteria pola Pak Besut: enteng, berisi, mengenai sasaran, dan komumkatlf. Dewan juri-yang terdiri dari tiga orang - menilai bahwa orang yang tepat adalah Subarno. Dengan nilai 664, ia berhasil menyisihkan 26 peserta yang masuk final. Subarno, 45, memperoleh hadiah tabanas Rp 200.000 dan sebuah piagam penghargaan yang disampaikan Direktur Jenderal RTF Subrata, Rabu pekan lalu, berbarengan dengan acara panggung gembira RRI dan TVRI Yogyakarta. Pemenang dari Bantul ini adalah karyawan Kantor Departemen Penerangan DIY. Di daerahnya, ayah empat anak ini tergolong dalang wayang kulit terkenal. Ia maju ke lomba rak Besut itu dengan naskah setebal dua halaman. Di situ ia bicara tentang penggalakan pembayaran Ipeda dan koperasi. Naskah itu, katanya, hanya disiapkan seminggu sebelum lomba. "Karena saya sudah ngelotok betul gaya obrolan Pak Besut," katanya. Ia mengaku sejak anak-anak telah menyenangi acara itu. Dan ia suka pula menirukan gaya Pak Besut. Sarjana muda pendidikan lulusan IKIP itu maju ke lomba tanpa perlu berkonsultasi dengan Pak Besut. "Subarno tetap Subarno. Saya tidak mau mendompleng ketenaran Pak Besut," katanya. Subarno tidak menggunakan nama samaran Pak Besut. Sebagai pengganti tokoh utama itu, ia memakai nama samaran Pak Pringgo. Tokoh Man Djamino,diganti dengan Lik Budi. Sedangkan Dik Asmonah menjadi Dobleh. "Tapi, saya belum menemukan sebuah nama lagi untuk menggantikan peranan Mbakyu Santinet," kata menantu Nyi Condrolukito, pesinden terkenal itu. Mbakyu Santinet adalah tokoh bawel keluarga Pak Besut. Nama-nama tokoh obrolan itu, katanya, diilhami dari pengalamannya mendalang. Pringgo diambil dari mringgakake, yang artinya: baik, benar, dan sadar. Budi mengandung arti kritis dan suka berpikir. Sedangkan Dobleh, merupakan kias orang yang bermulut panjang, alias suka usil. "Semacam Pak Raden dalam film Si Unyil," kata Subarno. Pak Besut sendiri mengambil nama tokoh obrolannya dari tokoh ludruk, kesenian khas Jawa Timur yang dekat dengan masyarakat. Ada tokoh Man Djamino yang dilukiskan sebagai orang tua yang banyak pengalaman. Kemudian Mbakyu Santinet sebagai bakul pasar yang bawel. Lalu Dik Asmonah mewakili perempuan yang suka mengikuti zaman. Terakhir, tokoh Pak Besut dan Mbok Besut sebagai gong, penyelesai setiap permasalahan yang diobrolkan. Tentang perubahan nama Pak Besut menjadi Pak Pringgo, Wardoyo tidak memusingkannya. "Tidak ada masalah bagi saya. Obrolan saya toh sudah dibukukan," katanya. Hanya, ia merasa sangsi apakah penggantinya bisa bertahan lama. Bertahan untuk tidak membuat kesimpulan, "itulah resep yang selalu saya pegang," kata kakek 19 cucu di atas kursi rodanya. "Biarlah pendapat itu ada pada tokoh masing-masing. "Dalam hal terakhir itulah, rupanya, tak semua penggemar Pak Besut menyambut gembira kemenangan Subarno. Salah seorang penggemar, Hadi Santosa, menilai bahwa obrolan yang dibawakan Subarno "kering humor". "Terlalu sarat dengan pesan," kata penduduk Sleman yang telah mengikuti obrolan Pak Besut sejak 1945. Tapi, Subrata merasa puas mendengar obrolan pemenang lomba. "Komunikatif dan mudah dicerna,"kata Subrata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini