KETIKA Abolhassan Bani Sadr menjabat Menteri Luar Negeri,
wartawan asing banyak mendapat angin. Ia dikenal moderat dan
berusaha merangkul wartawan asing setelah Ayatullah Khomeini
banyak menerima kecaman pedas media massa sarat karena
penyanderaan staf Kedutaan Besar Amerika di Teheran. Tapi Bani
Sadr kemudian digeser dan Khomeini kembali mengetatkan kontrol
atas wartawan asing.
Pekan lalu Alex Efty wartawan kantor berita Associated Press
(AP) diusir dari Iran. Ia dituduh penguasa Teheran menyiarkan
berita bohong ketika di Tabriz, ibukota Provinsi Azerbaijan,
terjadi bentrokan berdarah antara demonstran pendukung Ayatullah
Syariat Madari dan pasukan Khomeini. Dari mulut demonstran
pendukung Madari itu, tulis Efty, terdengar teriakan "Mampus
Khomeini. "
Sebelumnya, 4 wartawan AP juga diusir. Mereka pun dituduh
menulis berita bohong, antara lain ketika Pasdaran (pasukan
pengawal revolusi Iran) menggempur kedudukan pemberontak suku
Kurdi di Kota Mahabad. Ali Behzadnia, Direktur Pers Asing,
Kementerian Pembimbing Nasional menyebut pemberitaan yang mereka
tulis itu "laporan simpang siur dan bohong yang menghasut
pendapat umum."
Dengan demikian sejak Khomeini kembali ke Teheran (1 Februari)
setelah 16 tahun dalam pengasingan sudah 16 wartawan asing
termasuk Efty diusirnya. Terhadap pers dalam negeri ia juga
menurunkan tangan besi. Koran sore Ayandeghan dan mingguan
satiris Ahangar ditutupnya. Penerbit koran Kayhan -- mengiringi
derap revolusi Islam itu - lalu memecat 22 wartawan dan 120
anggota redaksinya yang dinilai tidak revolusioner. Sampai kini
sudah 40 penerbitan di Iran diberangus.
Akhir November lalu itu Bani Sadr mencoba mengawali langkah baru
dengan menjamu makan siang 200 wartawan asing. Dalam kesempatan
itu ia menghimbau pers asing supaya membantu memecahkan kemelut
penyanderaan. "Para diplomat tidak akan mampu memecahkan
persoalan ini. Kami mencoba, memecahkannya melalui diplomasi
koran," kata Bani Sadr.
Ajakan Bani Sadr yang simpatik itu kemudian dimanfaatkan. Maka
regu televisi Amerika dari NBC, CBS dan ABC berlomba melakukan
serangkaian wancara dan merekam peristiwa penyanderaan.
Kehidupan rumah tangga mereka setiap hari seperti tak pernah
berhenti diteror berita penyanderaan itu yang menjadi prioritas
utama media massa Amerika.
Tapi kedudukan Bani Sadr digantikam Sadegh Ghothzadeh (diucapkan
Goat-buh-za-day), penganut garis keras orang dekat Khomeini.
Sebagai Menteri Luar Negeri yang masih merangkap jabatan
Direktur Radio dan Televisi Iran, Ghothzadeh terhadap wartawan
asing bersikap tidak kenal ampun. Ia menilai pers asing (Barat),
yang lebih membela kepentingan Amerika, sebagai agen "zionis
internasional yang mengecam revolusi Iran."
Selalu Terpojok
Pers Barat, terutama Amerika, di negara yang sedang dilanda
demam revolusi Islam itu memang semakin terpojok. Mula-mula
David Lamb dari Los Angeles Times dan Youssef Ibrahim dari New
York Times diusir pada bulan Juli. Sesudah itu wartawan BBC,
Financial Times (Inggris), L'Ekxpress (Perancis), televisi NBC
dan AP (Amerika) didepak.
Meskipun wartawan asing tadi sudah merasa melakukan pemberitaan
yang berimbang hasil kerja mereka masih sering dicaci pemerintah
Khomeini. "Laporan dalam majalah Newsweek ini membuat saya mual
dan jijik," kata Behzadnia suatu saat, sambil menunjukkan
Newsweek dengan laporan utama 'The Joyless Revolution'.
Namun sudah jamak di negara yang sedang melancarkan revolusi
kedudukan pers setempat apalagi pers asing yang diminta bersuara
seragam dengan penguasa -- selalu terpojok. Bahkan koresponden
Sinar Harapan di Paris Nazir Tamara (lihat box) harus menunggu 6
hari untuk masuk dan berwawancara dengan pimpinan mahasiswa,
penyandera di Kedutaan Amerika.
Betapapun sulit menembus sumber berita dan memperoleh keterangan
yang jelas dan benar toh tak pernah berhenti usaha para
wartawan. Selalu mereka melancarkan kritik tajam, dan selalu
dicurigai pemerintah Khomeini. Mereka dituduh, meski tidak
seluruhnya berbuat demikian, berniat menjegal revolusi Iran dan
membela kepentingan Amerlka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini