SALAH satu acara sidang paripurna DPR pekan ini ialah soal usul
interpelasi sejumlah anggotanya, mengenai penerapan NKK/BKK Usul
ini memang beralasan.
Jumat pekan lalu misalnya, 100 mahasiswa Institut Pertanian
Bogor muncul pula di DPR -- mengikuti UI, ITB, ITS, UGM dan UKI
sebelumnya. Mereka langsung menunjuk masalah pokok. NKK/BKK
baik-baik saja, dan sangat mungkin diterapkan -- dengan syarat
kehidupan demokrasi dijamin adanya, sehingga aspirasi mahasiswa
bisa tersalurkan.
Mengapa tak menyalurkan aspirasi lewat organisasi di luar
kampus? Jawaban bisa didapat dari misalnya Ausie Gautama,
fungsionaris DM ITB. Dengan mengutip Master Plan ITB, bahwa
"ITB berfungsi juga sebagai penjaga nilai-nilai," dia tidak
setuju membawakan aspirasi lewat organisasi massa atau politik
di luar kampus. "Sebab mahasiswa tak punya target politik, dan
orpol maupun ormas geraknya dibatasi," katanya kepada Hasan
Syukur dari TEMPO.
Beban Psikologis
Anggapan itu semua dikarenakan duduknya Purek (Pembantu Rektor)
III sebagai Ketua BKK dan memang "BKK adalah aparat rektor,
bukan pengganti dewan mahasiswa yang dulu," kata Dr. Harsono,
Purek III ITB. Harsono pun -- lewat telepon kepada TEMPO -
membenarkan adanya Master Plan ITB yang menyebutkan ITB sebagai
penjaga nilai-nilai. "Tapi harus jelas dulu, nilai apa. Kalau
tak jelas bisa kacau "
Ada suara lain mengenai dihapusnya DM. Salah satu sebab
penghapusan itu ialah para pengurusnya tak bisa
mempertanggungjawabkan masalah keuangan. "Wah, itu alasan naif
dan dicari-cari," jawab Sahala Eddy, juga salah seorang
fungsionaris DM ITB. Diceritakannya, dulu hubungan mahasiswa
dengan rektor selalu baik, sifatnya konsultatif. Rektor pun
berhak menegur DM kalau ada kesalahan. "Dan kita pun menerima
teguran dengan penuh hormat," kata Sahala. Ditambahkannya pula,
MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa) pun berhak mengontrol
keluar-masuk keuangan DM.
Jawaban seperti itu dinyarakan juga oleh Indra Budenani dan
Henri Rumeser dari UI. "Sistemnya itu sendiri sudah tak
memungkinkan DM korup. Semua uang keluar harus ada persetujuan
rektor," kata mereka kepada wartawan TEMPO Widi Yarmanto.
Mungkin juga penolakan NKK/BKK memang lebih terletak pada
kondisi psikologis. Sebuah kertas kerja ir. Sarlito Wirawan
dalam satu seminar di IKIP Jakarta beberapa bulan yang lalu,
menyebutkan turunnya NKK/BKK yang berendeng dengan pembekuan DM
dan SM (Senat Mahasiswa) seluruh Indonesia memang tak
menguntungkan Ditambah lagi, "suasana pengadilan atas beberapa
mahasiswa," kata Purek III ITB, membuat suasana kampus memang
tak tenang.
Kewibawaan rektor dan staf pengajar, cara-cara penjelasan soal
NKK/BKK kepada mahasiswa, dan kondisi perguruan tinggi itu
sendiri, agaknya sangat mempengaruhi penerapan NKK/BKK. Prof.
Dr. Amiruddin, Rektor Unhas, akhir pekan lalu kepada TEMPO
mengatakan: "Solidaritas terhadap teman terhadap dewan
mahasiswa, tak bisa hilang begitu saja. Ketakutan peranan
seperti DM akan hilang, merupakan beban psikologis."
Diceritakan oleh Amiruddin dia membutuhkan dialog dengan para
fungsionaris DM Unhas selama dua bulan sebelum mereka mau
menerima NKK/BKK. "Terus terang kepada mereka saya katakan,
bahwa setiap usaha ada juga korbannya. Dengan NKK/BKK, apa
boleh buat, sebagian dari kebebasan bia diambil." Tapi
dikatakannya juga bahwa dengan NKK/BKK bisa lebih diperbaiki
sistem pendidikan di perguruan tinggi.
"Memang tak ada jaminan pendidikan langsung bisa baik," katanya
di ruang tunggu Dep P&K "Tapi NKK/BKK adalah sarana untuk,
misalnya, menatar dosen." Sekarang tak ada alasan dosen menolak
penataran. Dan kini, di Unhas, intensitas dosen dalam
memperhatikan mahasiswa dikatakannya meningkat.
Dengan terlebih dahulu mengatakan pendapatnya sebagai pendapat
pribadi, menurut Amiruddin, bahwa dengan NKK/BKK mahasiswa lalu
akan kehilangan kontrol sosial, "tak mungkin dan tak benar."
Lanjutnya "Kalau mahasiswa yang radikal tak ada, universitas
akan menjadi menara gading. Tak perlu kebebasan dihilangkan sama
sekali. Tapi harus dicegah supaya hal itu tak menjadi budaya
kampus satu-satunya." Tapi bagaimana caranya? "Saya tak tahu,'
Jawab Amiruddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini