NY. SUDIRO, istri bekas walikota Jakarta, Kamis pekan lalu
mendapat giliran mengajarkan etika kepada 40 pembantu
rumahtangga. Antara lain bagaimana menyodorkan piring, berdandan
rapi, menerima telepon. Ini berlangsung dalam Kelompok Belajar
(Kejar) bagi para pembantu di kawasan Menteng, Jakarta Pusat,
yang diselenggarakan oleh Dharma Wanita DKI.
Di Jakarta sekarang ternyata ada 90 Kejar yang telah resmi
disetujui Kepala Bidang Pendidikan Masyarakat Kanwil P&K DKI --
rapi baru satu-satunya (yang tercatat) yang khusus bagi pembantu
rumahtangga. Yang lain untuk umum, biasanya yang drop-out
sekolah -- mengajarkan misalnya jahit-menjahit atau lainnya
dengan gratis. Ini usaha sosial swadaya masyarakat, terhitung
sejak 1976, memenuhi anjuran pemerintah sebagai kelanjutan usaha
pemberantasan buta huruf. Dan Menteri P&K sendiri, ketika
membuka Lokakarya Kewajiban Belajar di Cibogo Jumat pekan lalu,
menyebut Kejar ini sebagai salah satu bentuk untuk memberi
kesempatan belajar yang dimaksud Kejar pembantu rumahtangga itu
kini punya murid 40 orang -- 35 wanita, 5 orang pria. Tempatnya:
bagian belakang rumah kediaman resmi Gubernur DKI di Jalan Taman
Surapati. Masih muda-muda mereka -- berumur 20-an tahun.
Ny Soetoto, wakil ketua penyelenggara, memberi alasan mengapa
Kejar bagi para pembantu rumahtangga perlu: "Mereka perlu juga
memperoleh pengetahuan lain, kecuali membantu pekerjaan
rumahtangga," katanya. Melihat program pelajarannya memang
begitu: ada baca-tulis, ada kesehatan, ada pengetahuan umum
--bahkan ada pelajaran tentang GBHN dan P4.
Suminem, 18 tahun, asal Boyolali Jawa Tengah, yang bergaji Rp 25
ribu sebulan, mengaku senang ikur pelajaran ini. "Bisa bikin kue
dan merangkai bunga segala," kata jebolan kelas 11 SD ini. Dan
ia memang tak ingin selama hidup jadi pembantu rumahtangga.
Jasimun, 21 tahun asal Pacitan, Jawa Tengah, juga begitu.
Sekolahnya hanya sampai kelas V SD karena tak ada biaya. Setelah
selesai mengikuti Kejar, rencan,nya akan kursus mengemudi.
Kata Gubernur Tjokropranolo kepada TEMPO: "Menimbulkan harga
diri tak mungkin tanpa meningkatkan pendidikan." Dan salah
seorang pengajar, Ny. Rudy Saharuddin, memang melihat kegairahan
para pembantu itu. "Harapan mereka, nantinya lantas bisa kirim
surat ke kampung," katanya. Dan itu memang setidak-tidaknya
harga diri.
Seminggu dua kali -- Senin dan Kamis -- 40 pembantu itu
"sekolah". Bagus, memang. Siapa tahu akan ada yang mengalami
nasib seperti Si Inem dalam film Inem Pelayan Sexy. Atau jadi
bintang film, malah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini