PELAKSANAKAN ketentuan baru perpajakan rupanya tidak mudah. Beratnya medan menyebabkan pemerintah beberapa kali harus membuat peraturan penyempurnaan, atau jika perlu menunda sama sekali berlakunya sebuah ketentuan baru. Tapi agak di luar dugaan, pelaksanaan peraturan baru mengenai perbandingan antara utang dan modal sendiri (debt equity ratio, DER), pekan lalu, mendadak ditunda. Sebuah surat keputusan, yang diteken 8 Maret, yang dikeluarkan dari kantor Menteri Radius Prawiro, membatalkan ketentuan DER 8 Oktober 1984 itu. Apa boleh buat, demi menolong swasta yang kini sedang menjerit kekurangan likuiditas, pemerintah terpaksa melakukan tindakan itu. "Banyak perusahaan akan jatuh kalau ketentuan tadi dipaksakan jalan," ujar Dirjen Pajak Salamun A.T. Singkat kata, "Penundaan untuk masa tidak dalam sebulan atau tiga bulan itu tidak akan merugikan swasta." Anggapan itu benar adanya. Bahkan sebagian besar pengusaha seperti bersorak menyambut keputusan penundaan itu. Sebab, sebagian besar dari mereka rata-rata mempunyai utang lebih dari tiga kali modal sendiri, atau melampaui batas seperti diatur dalam ketentuan DER tadi. Dengan demikian, jika peraturan perpajakan itu harus dilaksanakan, mereka mau tak mau harus menginjeksi perusahaan dengan tambahan dana segar. Sialnya, pada saat kiniprospek banyak usaha bisnis belum dianggap cerah, para pemegang saham seperti orang sakit selesma untuk mengeluarkan duit mereka. Para pengusaha itu tampaknya merasa aman dan senang bekerja dengan volume utang cukup tinggi. Bahkan, menurut Mu'min Ali, wakil presiden Panin Bank, kebanyakan perusahaan di sini umumnya punya modal mepet sekali. Untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, mereka hampir sepenuhnya mengandalkan dari pinjaman bank. Nah, pada saat situasi seperti sekarang ini (ketika banyak dana mereka tertahan di penyalur dan agen), mereka perlu banyak tambahan modal kerja. "Coba kalau terjadi devaluasi, dan ketentuan itu tidak ditunda, apa jadinya mereka?" tanya bankir ini. Sektor usaha leasing, boleh jadi, akan kocar-kacir. Usaha pembiayaan barangbarang modal ini, yang kini sedang tumbuh bagal kena wabah breakdance, rata-rata mempunyai utang 33 kali modal sendiri. Hidup mereka bisa dikatakan hampir sepenuhnya disangga oleh penyediaan dana dari bank atau lembaga keuangan bukan bank. Dengan dana pinjaman inilah, mereka kemudian menyediakan barang modal atau keperluan kantor yang dibutuhkan pihak lain. "Kalau utang maksimum hanya boleh tiga kali dari modal sendiri, kami bisa tutup," ujar Budi Rahardjo, asisten bagian kredit Wardley Summa Leasing. Situasi seperti di usaha leasing itu sudah diketahui benar oleh pemerintah. Aparat pajak bahkan sudah hafal bagaimana perusahaan multinasional (MNC)asing berusaha melakukan penghindaran pajak (tax evasion) secara halus. Caranya: perusahaan asing atau patungan dengan lokal itu biasanya lebih suka mengambil kredit dari bank yang sebagian atau seluruh sahamnya mereka kuasai. Lalu volume utang mereka perbesar, hingga kadang melampaui kebutuhan. Dengan cara begini, laba kena pajak (sesudah dikurangi pelbagai biaya dan beban cicilan pinjaman) jadi mengecil - atau bisa jadi malah merugi. Sementara itu, bank penyedia dana menerima setoran laba dari cicilan itu. Menurut Dirjen Pajak Salamun, cara penghindaran pajak semacam itu sebenarnya akan dicegah dengan ketentuan DER tadi. Tapi rupanya tidak semua sektor usaha mau dikenai peraturan tadi - dengan banyak alasan tentu. Perusahaan perkapalan, misalnya, minta agar mereka diperbolehkan punya utang sampai 10 kali dari modal sendiri. Sektor usaha jasa keuangan dan perdagangan juga minta konsesi serupa. Pernah, kata Dirjen Salamun, sejumlah pengusaha mengusulkan agar ketentuan mengenai DER tidak dibuat tunggal tiga banding satu, tapi dibuat berbagai perbandingan untuk beberapa usaha. "Kalau nanti tidak merugikan, bisa saja ketentuan itu diatur sendiri," katanya. Kendati belum jelas benar ke arah mana pemerintah akan bergerak, perusahaan semacam PT Radio Frequency Communications (RFC) di Bandung merasa perlu untuk berbenah diri. Utang usaha ini hanya dua kali modal sendiri, dan itu pun merupakan pinjaman modal kerja. Perusahaan yang, antara lain, menghasilkan stasiun bumi kecil ini mengaku tak punya beban kredit jangka panjang. "Dengan petugas pajak, kami Juga tak pernah berdebat mengenai pembayaran bunga (yang bisa dianggap sebagai biaya untuk mengurangi laba)," ujar Jimi Rustan, direktur RFC. Kalau semua pengusaha punya likuiditas mantap seperti RFC, Dirjen Pajak Salamun tentu senang. Aparatnya juga dengan mudah menetapkan besarnya laba kena Pajak Penghasilan. Tapi, karena pelbagai alasan, pengusaha kok merasa lebih senang hidup dengan banyak utang. Eddy Herwanto Laporan Yulia S. Madjid dan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini