KANTUNG konsumen obat, termasuk perusahaan-perusahaan yang menanggung pengobatan karyawan, semakin dalam dirogoh perusahaan farmasi. Perusahaan obat agaknya tak sabar lagi menunggu untuk menaikkan standar harga eceran tertinggi. Lewat formulir C-5, mereka memaksa Dirjen POM untuk mengubah tarif yang tercantum dalam buku Informasi Harga Obat (IHO), yang berlaku sampai 30 Juni 1985. Padahal, IHO terbitan Juli 1984 itu telah menyusun harga patokan yang diproyeksikan bisa bertahan minimal sampai 10 bulan ke muka (April 1985). Ternyata, dalam triwulan pertama 1985 ini sudah dua suplemen IHO yang dikeluarkan Dirjen POM, yang isinya menaikkan harga eceran tertinggi obat-obatan 2% -17%. Suplemen pertama mencantumkan 2.021 macam obat yang telah ditinjau kembali harganya, yang berlaku sejak I Februari. Suplemen kedua, yang dikeluarkan awal Maret, kini juga sudah di tangan pabrik-pabrik farmasi. Kemungkinan, suplemen berikut akan segera menyusul sehingga sekitar 7.000 macam obat keluaran farmasi Indonesia akan naik. Menurut ketua Gabungan Pabrik Farmasi, Sudirman, penyesuaian harga itu diproyeksikan oleh situasi perekonomian sekarang, seperti akan berlakunya pajak pertambahan nilai (PPN) dan kenaikan kurs dolar. Pokok permasalahan keluarnya dua suplemen IHO itu, yang menaikkan harga obat rata-rata 7%, menurut Dirjen POM Midian Sirait, dipengaruhi kurs dolar yang nilainya naik 7,8% terhadap rupiah. Sekitar 95% bahan baku obat masih harus diimpor oleh pabrik-pabrik obat, sedangkan mereka belum mampu mengkompensasikannya dengan ekspor. Nilai ekspor bahan obat dan hasilnya, dalam catatan Biro Pusat Statistik berjumlah USS 89 juta (sekitar Rp 10 milyar), sedangkan bahan baku impor mencapai US$ 60 juta pada 1984 aanuari-Agustus). Pasaran dalam negeri yang lebih banyak disuntikkan pabrik-pabrik di sini. Omset penjualan obat dalam negeri diperkirakan bernilai Rp 500 milyar per tahun. Penghasilan perusahaan obat tampaknya memang mengecil tahun terakhir ini. Hal ini tecermin dari saham perusahaan Bayer dan Squibb Indonesia (SI) di bursa efek yang jatuh sekitar Rp 200 di bawah nominal Rp 1.000 sejak awal tahun ini. Laporan keuangan SI, yang diumumkan Sabtu lalu memang menunjukkan penjualan bersih i984 meningkat Rp 1,5 milyar di atas tahun 1983 yang Rp 6,8 milyar. Kelihatannya, harga bahan baku dan biaya operasi telah membesar sehingga laba perusahaan itu untuk tiap-tiap saham hanya Rp 282, sedangkan tahun sebelumnya Rp 291. PT Squibb Indonesia, menurut presiden direkturnya, Jahja Wirawan Sudomo, setiap tahun mengimpor bahan baku halquinol dari Irlandia dan Puerto Rico. "Tapi berdasarkan dolar yang rata-rata sebesar USS 1,2 juta," tutur Jahja kepada Praginanto dari TEMPO. Masih mendingan perusahaan ini bisa mengkompensasikan dengan ekspor obat bebas B-Complex, Engran, Counterpain, serta obat resep Talsutin dan Nifluit bernilai US$ 1 juta per tahun. Sebagian bahan baku obat sebenarnya sudah diproduksi di Indonesia, tapi ada yang harganya empat kali lebih mahal darl harga impor. Harga obat produksi dalam negeri pun tidak semuanya bisa bersaing di luar negeri. Sebaliknya, malah ada obat di sini yang 3 sampai 4 kali lebih mahal dari obat sejenis buatan farmasi di Singapura atau Hong Kong. Obat kliokinol antiradang Synalar-C, misalnya, di Singapura menurut daftar Wellchem Pharmaceuticals berharga S$ 3,60 ( Rp 1.750), sedangkan harga lokal Rp 4.630. Kapsul antiinfeksi Amoxil 250 mg di Hong Kong berharga HK$ 0,86 (Rp 120), sedangkan di sini dijual Rp 230. Pengaruh bahan baku terhadap harga sebenarnya cuma 50%. Biaya produksi sekitar 20%, promosi dan pengepakan sekitar 18%, dan keuntungan yang diambil pabrik 10%-20%. Para distributor utama menambahkan 20%, dan pengecer (apotek) mengambil lagi 25% -50%. Bisa dimaklumi kalau jatuhnya harga obat lokal bisa mencapai sekitar 200%. Perbedaan harga yang begitu mencolok ini sejak dulu sudah merangsang penyelundupan. Dan, rupanya, kebijaksanaan POM masih berputar pada proteksi perusahaan obat, belum ke arah produsen yang disukai masyarakat, apalagi mencari devisa. Sampai Senin lalu, Dirjen POM Midian Sirait masih sibuk menelepon aparatnya untuk merazia toko-toko penjual obat selundupan. Operasi serentak itu menemukan beberapa toko di Medan, Jakarta, dan Surabaya yang menyimpan sekitar 100 Isapsul obat dari Singapura dan Hong Kong yang sudah diproduksl di sini. "Kebijaksanaan pengadaan obat bukan sekadar memperhitungkan harga, tapi juga pertanggungjawaban dan standar," kata Sirait. Ia menambahkan, kalau masyarakat ingin mendapatkan obat dengan harga terjangkau, sebaiknya berobat ke puskesmas saja, dan para dokter tldak menambah penderitaan konsumen dengan menulis resep obat-obat paten - celakanya, kebanyakan konsumen "penggemar" obat sudah telanjur terbius obat-obat paten. Seorang dokter yang juga konsultan di sebuah perusahaan farmasi cenderung berpendapat bahwa harga obat masih bisa dikekang. "Komoditi mobil atau rumah boleh naik, tapi jangan obat," kata dokter yang tak mau disebut namanya itu. Etikanya: obat memang harus dibeli, tapi yang menderita bukan untuk diperas. Max Wangkar, Laporam Adyan Soeseno (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini