Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANAJEMEN PT Polekao Indonesia Chemical hari-hari ini sedang pusing. Gara-garanya, sertifikat ekspor (SE) untuk sejumlah barang kimia, yang sudah diperolehnya sejak lima tahun lalu, mendadak ditangguhkan Menteri Keuangan Radius Prawiro. Keputusan mengagetkan awal bulan ini, yang perpanjangannya baru diperoleh Mei lalu, "Besar kemungkinan akan menghentikan ekspor kami," ujar Kiyoshi Sakamoto, wakil presiden Polekao Chemical. Penghentian ekspor semacam itu jelas tidak dikehendaki Menteri Radius ketika memutuskan menangguhkan 108 surat keputusan pemberian SE yang dikeluarkannya atas puluhan barang ekspor. Tapi, apa boleh buat, ada petunjuk kuat bahwa sejumlah pengusaha menyalahgunakan fasilitas itu - akibatnya tentu merugikan keuangan negara. Sakamoto bukan tidak menyadari kemungkinan itu. "Tapi, yang membuat saya heran, mengapa satu perusahaan berbuat curang, yang lain juga dihukum," katanya masygul. Polekao (patungan Kao Corp. 60% dengan Poleko dan Cibitung Indonesia 40%) setiap bulan sedikitnya mengekspor 150 ton bahan kimia ke RRC, Singapura, dan Malaysia, sejak 1980. Bahan kimia itu, yang antara lain digunakan untuk membuat shampo dan deterjen, dijual dengan harga 20% di bawah harga produk serupa eks Taiwan dan Jepang, supaya bisa laku di pasar ekspor. Untungnya tipis. Tapi dengan SE 11,43% yang diterimanya sejak 1980, napas perusahaan bisa diperpanjang hingga kini. Pencabutan SE itu juga disesalkan oleh sektor swasta nasional seperti PT Arindco Karya Jaya. Eksportir seprai, tenun sutera, dan pakaian-luar wanita ini mengaku kurang paham akan penangguhan keputusan SE yang diterima 10 Juli lalu. Tak ada penjelasan memuaskan diperoleh Lufthi, direktur Arindco, ketika ia berusaha menghubungi para pejabat Departemen Keuangan. Perusahaannya baru memulai ekspor 6.000 kodi setiap bulan (US$ 200 ribu) ke Timur Tengah dan Singapura mulai Desember lalu. Dengan SE yang dijanjikan 2,19% untuk kain sarung sutera, 5,74% untuk sarung kapas, polyester maupun rayon, dan 11,24% untuk pakaian luar wanita dari batik - Arindco semula berharap bisa masuk ke pasar ekspor dengan harga lebih bersaing. Bagi para eksportir, SE memang sudah menjadi semacam obat penambah tenaga. Fasilitas itu hakikatnya merupakan pengembalian dana atas pemba-yaran bea masuk bahan baku dan penolong yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang eskpor. Jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah dari tahun ke tahun untuk itu naik cukup pesat selaras dengan meningkatnya pertumbuhan ekspor dari sini (lihat: Grafik). Sayang, fasilitas ini acap kali disalahgunakan sejumlah pengusaha. Misalnya, barang dikatakan sudah dikirim dengan menunjukkan pembukaaan L/C ke suatu alamat di luar negeri, padahal - belakangan diketahui - alamat itu palsu atau hanya merupakan perwakilan. Supaya tidak rugi, barang yang dikirim biasanya barang murahan, yang harga patokannya sering tidak sesuai dengan yang diterakan dalam L/C. Ada juga, malah, yang mohon diberi SE, tapi realisasi ekspornya sudah dilakukan enam atau delapan bulan sebelumnya. "Bahkan ada yang realisasi ekspornya lima tahun lalu," ujar sumber di Departemen Keuangan. Kecurangan seperti itu jelas merusakkan citra para pengusaha yang jujur. Sektor industri pakaian jadi memang paling banyak dimasuki pengusaha petualang. Karena itu, tak heran dari 108 surat keputusan SE yang ditangguhkan itu, sekitar 75% merupakan produk pakaian jadi. Mereka yang terkena penangguhan itu memang suatu saat bisa kembali mendapatkan SE asal bisa menunjukkan bukti-bukti tidak selingkuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo