SUDAH satu setengah tahun ini kantor Menteri Pertambangan dan Energi kelihatan lebih necis. Sentuhan desain interior mutakhir di gedung tua itu seolah mewakili semangat baru yang ditiupkan Ginandjar Kartasasmita, 48 tahun. Kalangan perminyakan menjuluki kepemimpinan Ginandjar, sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, bisa membuka "akses" yang baik dan ada "tindakan" nyata. "Tingkat akses ke pejabat-pejabat pemerintah ini bahkan tidak selalu bisa ditemukan di negara-negara paling maju sekalipun," begitu tulis The Petroleum Report Indonesia yang diterbitkan oleh Kedubes AS di Jakarta, awal pekan ini. Laporan tahunan itu kali ini bernada lebih optimistis. Laporan serupa tahun lalu agak pesimistis, khususnya terhadap kemampuan Indonesia menemukan ladang-ladang minyak baru. Kalau tidak ditemukan ladang baru, demikian tulisnya, Indonesia akan 100% menjaii pengimpor minyak pada tahun 2012. Sungguh, banyak orang yang ngeri membacanya. Tapi laporan tahun ini, setebal 171 halaman, dengan gamblang memaparkan tiga sasaran utama Ginandjar. Pertama meningkatkan produksi minyak. Kedua, memacu kegiatan eksplorasi agar bisa mempertahankan produksi. Ketiga, mendorong sektor swasta nasional masuk ke industri perminyakan. Dua deregulasi perminyakan (Agustus 1988 dan Februari 1989) telah dicanangkan Ginandjar untuk membuat industri perminyakan lebih sumringah. Ini wajar, karena sumur-sumur minyak di Indonesia sudah banyak yang tua dan kering. Harus dicari penggantinya. Produksi minyak Indonesia pada semester pertama 1989 ditaksir sekitar 1,222 juta barel per hari, tidak termasuk kondensat. Padahal, kuota OPEC per 1 Oktober ini menetapkan jatah Indonesia 1,374 juta barel sehari. Ini suatu tantangan bagi Pertamina dan para kontraktornya. Tak heran bila Ginandjar sangat memperhatikan keluhan mereka. Ginandjar, misalnya, menghapuskan harga patokan pemerintah (GSP) atas minyak untuk penghitungan pajak dan penyusutan. Penetapan harga minyak berdasar pasar (ICP) dianggap lebih mencerminkan harga yang berlaku, sebab lebih realistis daripada GSP. Maka, kontraktor lebih bersemangat. Sebanyak 14 kontrak, dari 22 kontrak minyak yang sedang berproduksi sekarang, akan diperpanjang dalam 10 tahun mendatang. Di samping itu, proyek pengambilan minyak dengan menginjeksikan gas atau bahan kimia juga mulai dicoba di Duri dan Klamono, Irian Jaya. Sekalipun begitu, prospek gas alam kita tampaknya akan lebih cemerlang daripada minyak. Cadangan gas alam Indonesia yang sangat besar -- di atas 100 trilyun kaki kubik standar (TSCF) -- sepanjang tahun lalu diproduksi sampai 1,9 TSCF. Lebih dari separuh dilempar ke pasar Jepang. Dua ladang gas raksasa yang baru ditemukan di Natuna (untuk menyuplai Singapura) dan di timur laut Jawa (untuk industri kimia pabrik-pabrik di Jawa Timur) membuat semangat kian terpacu. Di bidang eksplorasi, tahun lalu para kontraktor mengucurkan uangnya 25% lebih banyak dari 1987. Namun, 135 pengeboran yang dilakukan di lapangan sama sekali baru (wildcat) dan pengeboran penaksiran cadangan minyak (appraisal), sepanjang 1988, masih setengah dari jumlah pengeboran yang dilakukan pada 1983. Tapi ini lebih baik dibanding 1987, yang cuma mengebor 82 ladang, terjelek sejak 1970-an. Untungnya, rasio keberhasilan menemukan sumur yang layak diproduksi rata-rata tinggi, 40% ke atas. Pemerintah pelan-pelan juga berhasil menyertakan swasta nasional dalam industri perminyakan. Grup usaha nasional seperti Kodel telah membentuk patungan pertama dengan Pacific Resources Corp. (AS), dalam PSC Golden Spike. Kelompok Bimantara telah dipercaya melaksanakan pemasangan pipa BBM di Jawa, selain mengambil 10% saham Arco Bali North Inc. Humpuss mulai terlibat di industri hilir perminyakan. Dewasa ini pompa bensin pun mulai diswastakan oleh Pertamina. Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini