Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG hidup ini, dua hal tak dapat Anda hindari, yaitu pajak dan maut. Dan mereka yang tergolong berani menghadapi aparat pajak, Kamis pekan lalu, diundang Menteri Keuangan Sumarlin ke Panti Surya, Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta. Mereka adalah wakilwakil badan usaha pemenang penghargaan pajak tahun 1987. Ada 150 jumlahnya. Terdiri dari wakil-wakil BUMN (badan usaha milik negara) dan swasta, jumlah mereka mungkin berimbang. Hanya saja yang terlihat mendominasi 10 terbesar, ya, tokoh-tokoh bank pemerintah. Pertamina dan Caltex tak diundang, karena PPh mereka masuk ke pos penerimaan migas. Jadi, tak ikut diseleksi. Begitu pula Bank Indonesia - semula menduduki peringkat pertama - yang kendati membayar PPh, tak bisa digolongkan sebagai BUMN. "Jadi, kami drop, tapi dropnya terlambat," ujar Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad. Agak di luar dugaan adalah prestasi PT Tugu Pratama Indoneia, perusahaan asuransi yang banyak mengurus asuransi Pertamina. Tugu merupakan satu-satunya swasta yang masuk 10 terbesar, hina wakilnya diberi tempat sejajar dengan wakil sembilan BUMN: Perumtel, Indosat, PT Petrokimia Gresik, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Dagang Negara, Bank BNI, Bank Rakyat Indonesia, Bank Bumi Daya Bank Pembangunan Indonesia. Dalam acara pemberian piagam penghargaan pajak itu, mereka duduk sederet dengan Menkeu Sumarlin. Penghargaan atas Pajak Penghasilan (PPh) 1987 itu, menurut Sumarlin, merupakan tanda terima kasih pemerintah. Wajar memang, karena ke-150 penerima penghargaan itu telah menyumbang 63% dari seluruh PPh badan usaha di Indonesia. Bagaimana swasta? IBM Word Trade Corp., yang bisnis komputernya di Indonesia dikelola PT Usaha Sistim Informasi Jaya (USI IBM) itu, dapat urutan ke-14 - tahun lalu ada di peringkat ke-18. PT Unilever lebih unggul, berada di peringkat ke-12. Sebaliknya, PT Bogasari Flour Mills -sebagian sahamnya dimiliki Liem Sioe Liong - malah terjerembab di peringkat ke-108. Ibrahim Risjad, yang mewakili Bogasari tidak mau banyak bicara. "Bogasari itu bahan bakunya dari pemerintah, jual juga kepada pemerintah, yakni Bulog," katanya menghindar. Tapi, hari itu Ibrahim membawa pulang dua piagam. Selain Bogasari, dia juga menerima piagam atas nama PT Argha Karya Prima Industry. Presdir PT . Philips Ralin Electronics M.E.A. Loundon, cuma kebagian satu piagam, dan di peringkat ke-138 pula. Tapi ia santai saja. "Saya diundang Menteri makan siang, ya, saya datang. Lalu diberi piagam, ya, saya terima," katanya. Lain halnya Petrokimia Gresik, yang tahun lalu juga terpilih. Dengan PPh hampir Rp 16 milyar, ia menduduki urutan ke-10. Presdir Petrokimia Drs. Sjafaroedin Sabar mengatakan, piagam itu akan dipajang di kantornya. Ia boleh berbangga, karena PT Petro Sida, salah satu anak perusahaan Petrokimia Gresik, juga memenangkan piagam. Kendati sama gembiranya, Direktur PT Unilever M. Hatta lebih melihat pajak sebagai kewajiban. Hanya saja, "Pelaksanaannya tidaklah sederhana." Maksudnya, ada gesekan dalam pelaksanaan. Contoh: ada ketentuan bahwa perusahaan harus memelihara kesehatan karyawannya. "Celakanya, dalam ketentuan pajak yang sekarang, pembiayaan kesehatan itu tak diakui sebagai pos biaya," ujar Hatta. Jadi, biaya untuk kesehatan juga dikenai pajak, tak peduli berobatnya ke puskesmas atau ke luar negeri. Toh, menurut Hatta, Unilever cukup puas dengan pelayanan pemerintah. Termasuk soal perpajakan, karena bisa menghitung sendiri. Sementara itu, wakil dari Do Chemical yang juga mendapat piagam - mengusulkan agar penghargaan dilaksanakan juga ditingkat provinsi. Rupanya, Dirjen Pajak sudah mematangkan gagasan yang sama. Mar'ie mengatakan, ada empat provinsi yang dicalonkan untuk menyelenggarakan penghargaan pajak, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. "Karena keempat provinsi itu yang terbesar, maka kami pilih," demikian Dirjen Pajak.Suhardjo Hs., Bambang Aji S., Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo