Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Apa yang Menghambat Transisi Energi Indonesia

Pembangunan PLTU captive menghadang upaya penurunan emisi. Bank nasional ambil bagian tatkala bank asing berhenti mendanai PLTU.

13 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, September 2022. Antara/Jojon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank asing mulai menghentikan pendanaan untuk PLTU.

  • Cina menjalankan skema indirect finance untuk mendanai PLTU captive.

  • Proyek PLTU captive menghambat upaya penurunan emisi karbon.

DI hadapan peserta sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dua tahun lalu, Presiden Cina Xi Jinping mengumbar janji: Cina tidak akan membangun atau mendanai lagi proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di luar negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

John Kerry, utusan Amerika Serikat untuk urusan iklim, bergembira menyambut janji Xi. Sebab, selama bertahun-tahun Amerika dan Cina tak kunjung membuat komitmen pengurangan emisi. Kerry pun menganggap pernyataan Xi penting untuk upaya memerangi pemanasan global.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Janji Cina sangat berharga karena negara itu mendanai banyak proyek PLTU di luar negeri. Data Institute for Energy Economics and Financial Analysis menyebutkan 56 persen pendanaan PLTU batu bara berasal dari Cina. Tingkat pendanaan dari Negeri Tirai Bambu melampaui Amerika Serikat dan negara-negara Eropa karena sejak 2013 mereka mulai mengkampanyekan penurunan emisi.

Komitmen Xi pada September 2021 hanya berselang beberapa bulan dari janji serupa yang diumumkan Korea Selatan dan Jepang. Cina dan dua negara itu adalah penyandang dana terbesar PLTU batu bara dunia. Karena itu, banyak kalangan menganggap janji Xi sebagai kiamat bagi industri batu bara, tapi menjadi angin segar untuk upaya pengurangan emisi karbon. Artinya, tidak akan ada lagi dana untuk proyek baru pembangkit listrik batu bara, termasuk di Indonesia.

Dulu bank asal Cina, Korea Selatan, dan Jepang menjadi bohir utama proyek PLTU di Indonesia. Bank of China, Export-Import (Exim) Bank of China, dan China Development Bank (CDB) adalah pemberi dana sejumlah proyek PLTU. Kini kondisi berubah. "Saya sudah ke Cina. Saya tanya ke CDB dan Exim Bank, mereka bilang enggak bisa lagi mendanai pembangunan PLTU di luar negeri," kata Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Hartanto Wibowo pada Selasa, 8 Agustus lalu. "Bahkan perusahaan milik pemerintah Cina tidak boleh jadi kontraktor PLTU batu bara," dia melanjutkan.

Area tambang batu bara milik PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan, Oktober 2017. Antara/Prasetyo Utomo

PT Adaro Energy Tbk (ADRO), produsen batu bara nasional, termasuk yang mengalami kesulitan mencari pendanaan asing. Pada Februari lalu, Financial Times melaporkan sejumlah bank asing ogah mendanai proyek smelter aluminium Adaro di Kawasan Industri Hijau Indonesia, Kalimantan Utara. Sebab, bank-bank itu tahu proyek Adaro memakai PLTU batu bara. Bank yang menarik diri adalah DBS (Singapura) dan Standard Chartered. Adaro juga gagal ketika menjajaki pendanaan dari ING, BNP Paribas, dan Commerzbank.

Toh, mereka tidak putus asa. Tak ada bohir asing, produsen batu bara menjajaki kredit dari bank nasional. Pada Mei lalu, Adaro mengumumkan pendanaan dari lima lembaga keuangan nasional sebesar US$ 1,585 miliar dan Rp 2,5 triliun. Dana ini dipakai untuk membangun smelter aluminium berkapasitas 500 ribu ton per tahun serta PLTU berkapasitas 1.060 megawatt.

Adaro tak menyebutkan siapa saja kreditornya. Tapi Market Forces, jaringan yang mengungkap lembaga-lembaga yang mendanai proyek tak ramah lingkungan, menyebutkan lima bank nasional, yaitu PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, dan PT Bank Permata Tbk. 

Menurut laporan Market Forces, Bank Mandiri disebut menjadi kreditor terbesar dengan nilai US$ 585 juta (Rp 8,79 triliun). Adapun BNI menyalurkan US$ 350 juta (Rp 5,26 triliun), BRI US$ 450 juta (Rp 6,76 triliun), BCA US$ 270 juta (Rp 4 triliun), dan Bank Permata US$ 100 juta (Rp 1,5 triliun).

Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira mengakui perusahaannya telah mendapatkan kesepakatan pembiayaan sehingga bisa segera membangun smelter aluminium yang menjadi bentuk partisipasi dalam program penghiliran mineral. Namun, dia menambahkan, tak selamanya smelter ini memakai listrik dari PLTU. "Dalam tahapan proses produksi dan pengembangan selanjutnya, smelter aluminium ini akan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga air dengan standar konstruksi modern yang ramah lingkungan," tuturnya pada Jumat, 11 Agustus lalu. 

Bank Mandiri, BCA, BRI, dan Bank Permata belum menanggapi soal pendanaan proyek smelter Adaro yang menggunakan PLTU batu bara. Adapun Sekretaris Perusahaan BNI Okki Rushartomo mengatakan kesepakatan lima bank ini menunjukkan pemahaman yang sama mengenai dukungan terhadap sektor pendukung energi terbarukan. Dia mengklaim pembiayaan bagi Adaro digunakan untuk membangun sumber energi pendukung pusat produksi bahan tambang dan mineral olahan. "Hasil proses produksinya akan menjadi salah satu bahan utama baterai sebagai sumber energi baru," ujarnya pada Jumat, 11 Agustus lalu.

Andri Prasetiyo, peneliti Senik Centre Asia, organisasi penelitian untuk transisi energi bersih dan berkeadilan, menyebut proyek baru PLTU Adaro yang masih mendapat pendanaan dari bank lokal sebagai contoh ketidakkonsistenan pemerintah. Pemerintah mengaku berkomitmen menurunkan emisi karbon, antara lain dengan melarang pembangunan PLTU baru. Namun larangan hanya berlaku bagi PLTU yang masuk ke jaringan PT PLN (Persero). 

Larangan ini tidak berlaku bagi PLTU batu bara captive atau PLTU yang digunakan secara khusus oleh perusahaan tertentu. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengizinkan pembangunan PLTU captive asalkan investor berjanji mengurangi emisi 35 persen setelah 10 tahun berjalan dan masa operasinya maksimal sampai 2050. Pemerintah membuat aturan ini sebagai jalan tengah untuk mengundang investasi, termasuk pada sektor yang perlu listrik murah dari PLTU. 

Menurut Andri, satu-satunya hal yang bisa menghentikan pembangunan PLTU captive adalah penyetopan aliran modal. Sepanjang mereka mendapat pinjaman, sebanyak itu pula PLTU captive bakal terus muncul. Masalahnya, Andri menambahkan, ketika institusi keuangan global ogah menyuntikkan dana, bank lokal yang pasang badan. "Bank-bank lokal ini tidak terikat komitmen global apa pun," ucapnya pada Kamis, 10 Agustus lalu.

Selain itu, Andri melanjutkan, proyek PLTU captive marak karena sikap Cina yang mendua. Menurut dia, di satu sisi, pemerintah Cina berjanji berhenti mendanai PLTU batu bara. Namun, di sisi lain, mereka membiayai proyek smelter yang satu paket dengan proyek PLTU captive. "Modus indirect finance mulai banyak dilakukan. Pinjaman tak langsung untuk menghindari risiko kepada bank atau investor," ujarnya. Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Wanhar belum memberi tanggapan tentang maraknya proyek PLTU captive
 
Andri menyebutkan beberapa proyek PLTU captive di sejumlah smelter sedang menunggu izin. Semuanya berada di Morowali, Sulawesi Tengah. Jika praktik tersebut terus berlanjut, target pengurangan emisi Indonesia pasti tak tercapai. Studi Institute for Essential Services Reform bersama Center for Global Sustainability University of Maryland, Amerika Serikat, menyatakan, hingga Mei 2022, ada 9,2 gigawatt PLTU captive di Indonesia. Jika semua proyek ini mendapatkan pendanaan, pada 2030 akan ada 34 gigawatt PLTU batu bara yang menghidupkan berbagai proyek.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tiada Asing, Lokal pun Jadi"

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus