Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah masih mengizinkan pembangunan PLTU baru di tengah program transisi energi.
Penghentian operasi PLTU menjadi syarat memperoleh dana JETP.
Saatnya menyetop penerbitan izin PLTU baru dan mengubah regulasi yang hanya memanjakan investor.
PROGRAM transisi energi Presiden Joko Widodo makin tampak menjadi ironi. Di hadapan negara maju, pemerintah mengumbar janji menghentikan operasi pembangkit listrik bertenaga batu bara dan beralih ke sumber energi terbarukan. Ini merupakan komitmen pemerintah untuk mendapatkan bantuan dana transisi energi senilai ratusan triliun rupiah. Tapi, kenyataannya, izin pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive yang mendukung investasi pengolahan mineral atau industri manufaktur terus diumbar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap tak sinkron ini muncul saat Indonesia berupaya menjaring dana Just Energy Transition Partnership (JETP), skema pendanaan dari negara maju dan lembaga keuangan dunia untuk program transisi energi. Dana ini yang akan digunakan untuk berbagai proyek, dari pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan hingga percepatan penghentian operasi PLTU. Dalam pertemuan negara-negara anggota Group of Twenty atau G20 di Bali pada November tahun lalu, negara maju menjanjikan dana US$ 20 miliar atau Rp 300 triliun dalam skema JETP untuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu ada banyak syarat yang mesti dipenuhi agar dana itu cair. Salah satunya penyusunan rencana investasi komprehensif atau comprehensive investment plan, yang ditargetkan selesai paling lambat pada 16 Agustus 2023. Pemerintah harus merancang sejumlah aksi untuk mengurangi emisi karbon hingga 290 juta ton di sektor kelistrikan dan menerapkan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030. Untuk memenuhi target itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mempercepat penghentian operasi 13 PLTU dan membangun sejumlah pembangkit listrik berenergi bersih.
Tapi, berpunggungan dengan rencana itu, pemerintah kadung merilis izin pembangunan PLTU captive atau pembangkit listrik khusus yang memasok energi untuk proyek tertentu, seperti pengolahan mineral atau industri manufaktur. Laporan berjudul "Boom and Bust Coal 2023" yang dirilis Global Energy Monitor menyebutkan Indonesia masih merencanakan pembangunan 18,8 gigawatt PLTU pada akhir 2022.
Sebanyak 69 persen atau 13 gigawatt di antaranya merupakan PLTU captive yang berada di luar jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan hanya memasok listrik untuk pabrik peleburan aluminium atau smelter nikel. Peluang investor membangun PLTU captive termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Baca artikel:
- Bagaimana PLTU Captive Mengacaukan Pendanaan Transisi Energi
- Apa yang Menghambat Pencapaian Transisi Energi di Indonesia
Kekacauan ini menjadi gambaran jika pemerintah main-main dengan program transisi energi. Bahkan, atas nama investasi, pemerintah bisa begitu saja melanggar target yang mereka buat sendiri. Jika sudah begini, siapa donor, filantrop, atau bahkan investor yang mau mendanai program pengalihan sumber energi berbasis fosil ke sumber-sumber lain yang lebih bersih? Indonesia pun bakal dianggap melanggar komitmen dalam berbagai perjanjian internasional yang berhubungan dengan pengurangan emisi karbon.
Jika memang serius dengan komitmen pengurangan emisi karbon melalui transisi energi, tak ada jalan bagi pemerintah selain benar-benar menyetop pembangunan PLTU atau pembangkit listrik lain yang menyumbang emisi dalam jumlah besar. Regulasi yang masih memberi celah pada pembangunan PLTU captive selayaknya dihapus. Pil pahit semacam ini mesti ditelan jika memang pemerintah masih peduli dan menganggap penting program transisi energi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Batu Sandungan Transisi Energi"