Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah harus menyelesaikan dokumen proyek JETP pada 16 Agustus 2023.
Keberadaan PLTU captive merusak rencana transisi energi.
Perlu penghitungan ulang target penurunan emisi karbon.
SESAAT setelah tiba di Tanah Air selepas menghadiri sejumlah pertemuan global di Washington, DC, Rachmat Kaimuddin langsung tancap gas. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu menggelar pertemuan maraton dalam sepekan terakhir, membahas Kemitraan Transisi Energi yang Adil Indonesia atau Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rachmat mengungkapkan, dia bertemu dengan tim International Partners Group (IPG). IPG, kelompok negara yang berpartisipasi dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership atau JETP, terdiri atas Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris. "Ada juga perwakilan dari Kedutaan Amerika Serikat," kata Rachmat kepada Tempo pada Jumat, 11 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat-rapat itu membahas rencana investasi komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) untuk pendanaan transisi energi. Salah satu pertemuan berlangsung di Hotel Mandarin Oriental Jakarta pada Rabu, 9 Agustus lalu. Targetnya: menyelesaikan dokumen CIPP sesuai dengan tenggat.
Pemerintah mengejar target peluncuran dokumen CIPP pada 16 Agustus mendatang, enam bulan setelah peresmian kantor Sekretariat JETPI pada 16 Februari lalu. Saat itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, dalam waktu enam bulan, Sekretariat JETPI harus merampungkan penyusunan peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, mencari investasi, dan mendukung mekanisme pembiayaan yang dituangkan dalam CIPP.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif meresmikan Sekretariat JETP di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, 16 Maret 2023. Antara/HO-Kementerian ESDM
CIPP akan memuat informasi teknis proyek, pendanaan, kebijakan, serta aspek sosio-ekonomi dalam investasi transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang berlangsung hingga 2030. Dokumen ini akan menjadi landasan implementasi kemitraan yang memobilisasi dana US$ 20 miliar (sekitar Rp 304 triliun) untuk transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan.
Pertemuan maraton yang dihadiri Rachmat Kaimuddin adalah lanjutan dari berbagai rapat sebelumnya. Termasuk pertemuan antara Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan beberapa pejabat Amerika Serikat. Di sela-sela agenda tahunan Bank Dunia di Washington, DC, pada Jumat, 4 Agustus lalu, Luhut bersemuka dengan Menteri Luar Negeri Amerika Antony J. Blinken.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Matthew Miller, mengatakan pertemuan itu juga membahas kemajuan pelaksanaan JETPI yang diluncurkan pada saat Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November tahun lalu. Luhut juga bertemu dengan Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen untuk membahas perkembangan JETPI.
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, di Washington DC, 4 Agustus 2023. Dok.Kedutaan Amerika Serikat
Tapi, sepekan menjelang peluncuran CIPP, ada banyak persoalan mendasar yang belum disepakati oleh Sekretariat JETPI dengan perwakilan IPG, Bank Dunia, serta Badan Energi Internasional (IEA). Salah satunya mengenai target penurunan emisi karbon. Implementasi JETP diharapkan dapat mempercepat penurunan emisi karbon di sektor ketenagalistrikan hingga 290 juta ton karbon dioksida pada 2030.
Masalah muncul belakangan karena ada hitungan lain. Rupanya, penetapan target penurunan emisi tersebut belum memperhitungkan sejumlah proyek PLTU baru yang berada di luar jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Ini adalah PLTU captive, pembangkit listrik yang disediakan, dioperasikan, dan dikelola oleh kalangan swasta untuk kebutuhan tertentu, seperti proyek smelter atau industri manufaktur.
Seorang pejabat yang mengetahui pembahasan JETPI bercerita, IPG mempersoalkan banyaknya rencana pembangunan PLTU captive di sejumlah smelter. Di antaranya rencana pendirian PLTU berkapasitas 1,06 gigawatt oleh Grup Adaro di Kalimantan Utara. PLTU ini hendak dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik smelter aluminium Adaro. Rencana pembangunan PLTU baru ini akan mengerek emisi karbon Indonesia.
Dalam laporan "Peta Jalan Sektor Energi Menuju Net Zero Emissions di Indonesia 2022", IEA menyebutkan total emisi karbon sektor energi tumbuh lebih cepat dibanding permintaan, yakni lebih dari dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. Pada 2021, emisi karbon di sektor energi Indonesia mencapai sekitar 600 juta ton karbon dioksida (MtCO2). Angka ini menempatkan Indonesia di posisi penghasil emisi terbesar nomor sembilan di dunia.
•••
IEA, lembaga internasional di sektor energi, menghitung ulang proyeksi dan target emisi Indonesia pada 2030. Penghitungan kembali itu dilakukan atas permintaan pemerintah Indonesia. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana, IEA bersama tim dari pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan sedang melakukan penyesuaian karena ada perkembangan pembangunan pembangkit listrik captive. Dadan menyebutkan pembangunan PLTU captive diperlukan untuk mendukung program pengolahan mineral. “Juga untuk industri lain,” ia menjelaskan kepada Tempo, Jumat, 11 Agustus lalu.
Laporan hasil studi yang dirilis Institute for Essential Services Reform bersama Center for Global Sustainability University of Maryland, Amerika Serikat, pada Agustus tahun lalu menyatakan kapasitas pembangkit listrik captive di Indonesia mencapai 9,2 gigawatt hingga Mei 2022. Sedangkan data terakhir menyebutkan, jika semua proyek ini mendapat pendanaan, pada 2030 akan ada 34 gigawatt pembangkit captive yang terpasang di seluruh Indonesia. Sebagian besar adalah PLTU berbahan bakar batu bara.
Andri Prasetiyo, peneliti Senik Centre Asia, organisasi penelitian untuk transisi energi bersih dan berkeadilan, mengatakan beberapa proyek PLTU captive yang sedang menunggu izin antara lain pembangkit milik PT Metal Smeltindo Selaras (Qingdao Xiyuan Holdings) dengan kapasitas 4 x 65 megawatt. Ada juga PLTU captive milik Sulawesi Mining Investment dengan kapasitas 380 megawatt. Semuanya berada di Morowali, Sulawesi Tengah.
Kementerian Energi sebenarnya sadar bahwa rencana pembangunan pembangkit listrik captive secara masif bisa mengganjal upaya pencapaian target percepatan penurunan emisi karbon nasional. Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi Wanhar mengatakan pembahasan transisi energi selama ini masih terbatas pada kontribusi pembangkit milik PT PLN (Persero). Padahal ada banyak pembangkit listrik di luar jaringan PLN yang seharusnya turut memenuhi komitmen penurunan emisi sektor pembangkit.
Wanhar mengatakan kebijakan percepatan penurunan emisi karbon di sektor ketenagalistrikan tidak hanya berlaku untuk sistem PLN. "Tapi juga mencakup captive power, yaitu wilayah usaha non-PLN dan pemegang IUPTLS (izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri),” tuturnya dalam seminar Dekarbonisasi Captive Power di Jakarta pada 28 Maret lalu.
Saat ini, Wanhar menambahkan, pembangkit listrik captive banyak menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil dalam skala masif. Karena itu, dia melanjutkan, Kementerian Energi mendorong upaya penurunan emisi pembangkit listrik juga dilakukan oleh operator pembangkit captive.
Persoalan pembangkit listrik captive juga pernah disinggung oleh Head of US Department of State Richard Duke. Ia berharap ada akselerasi peralihan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara menjadi pembangkit listrik dengan sumber energi baru dan terbarukan pada sistem kelistrikan industri mineral. “Untuk menggantikan operasi PLTU, menyusul permintaan yang tumbuh signifikan di tengah rantai pasok kendaraan listrik dan produk lainnya,” ucapnya pada 16 Februari lalu.
Kondisi ini membuat Andri Prasetiyo khawatir akan membuat IPG dan penyandang dana proyek-proyek transisi energi mundur. Kalaupun mereka tidak mundur, kata dia, masalah ini bisa membuat komitmen pendanaan jalan di tempat atau lambat. “Karena mereka tidak melihat keseriusan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon di sektor kelistrikan, juga pada industri."
Andri pun menilai penyediaan sumber energi untuk kegiatan pengolahan mineral perlu dikelola dengan baik. Dia memberi gambaran, jika smelter pengolah mineral menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, produknya akan sulit masuk pasar global di masa mendatang. “Apa gunanya produksi tapi pasarnya susah,” tuturnya. Maka Andri mendorong pengembangan industri bersih yang dapat memberikan daya tawar bagus, meningkatkan angka pembeli, dan membuat produk lebih kompetitif. Dia mengatakan ada banyak opsi bagi smelter untuk memakai sumber energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga air.
Dalam laporannya, IEA mengatakan perlu dorongan kebijakan tingkat tinggi untuk mengatasi rintangan pengembangan energi terbarukan. Kebijakan tersebut antara lain meniadakan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara baru di luar perencanaan dan menyetop operasi PLTU yang sudah uzur. IEA juga menyebutkan perlunya mempercepat penghentian operasi PLTU setelah 2030 serta mengevaluasi kembali rencana pembangunan sumber tenaga listrik.
Namun, hingga sepekan menjelang agenda peluncuran CIPP, pemerintah bergeming. Belum ada kebijakan baru atau solusi mengenai pembangkit listrik captive yang menghambat upaya penurunan laju emisi karbon. Sejumlah informasi yang diperoleh Tempo menyatakan berlarut-larutnya negosiasi mengenai penghitungan ulang angka target emisi membuat rencana peluncuran dokumen CIPP tertunda.
Meski begitu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana tetap optimistis. Ia mengatakan Kementerian Energi bekerja sama dengan Sekretariat JETPI untuk merampungkan dokumen CIPP sesuai dengan tenggat. “Target penyampaian CIPP belum berubah,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Utak-atik Target Penurunan Emisi"