NAMA Djuhar Sutanto memang tercantum sebagai anggota Kelompok Empat (Gang of Four), tapi sosoknya nyaris tak beredar di kalangan luas. Pengusaha yang satu ini memang low profile. Berbeda dengan anggota Kelompok Empat yang lain—Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad—Djuhar tidak pernah tampil solo alias berkiprah sebagai dirinya sendiri. Namanya membuntuti nama besar tiga anggota Kelompok Empat lainnya, baik dalam bisnis Salim Group maupun dalam Kelompok Jimbaran. Padahal, peran Djuhar dalam membesarkan Waringin Kentjana dan perusahaan-perusahaan Salim yang didirikan kemudian agaknya tak kalah dengan yang lain.
Pria kelahiran Fujian, Cina, 73 tahun silam ini tampaknya memang lebih suka tidak menonjolkan diri. Benar, nama Djuhar Sutanto pernah menghiasi surat kabar di Indonesia sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di negeri ini, atau bahkan sebagai salah satu orang terkaya di Asia Tenggara. Kekayaannya pada 1996 ditaksir berkisar antara US$ 600 juta dan US$ 1 miliar. Setelah krisis, belum ada laporan yang menyebutkan besar ke-kayaannya kini.
Sebagaimana anggota Kelompok Empat yang lain, Djuhar punya bendera usaha sendiri. Tapi dia tak ingin benderanya berkibar tinggi-tinggi seperti koleganya itu. Djuhar Group bisa dibilang tenggelam di antara Salim Group, Surya-Subentra (Sudwikatmono), dan Risjadson (Ibrahim Risjad). Anak perusahaan Djuhar Group yang sempat muncul adalah Wellwood Sejahtera Pratama. Yang lain seperti tersembunyi atau disembunyikan dengan baik. Tak jelas pula apa bisnis utama Djuhar Group. Pengacara Djuhar, Lesley Chew, dari kantor pengacara Khattar Wong & Partners, Singapura, tak bersedia menjawab pertanyaan TEMPO.
Segalanya tampak serba rahasia, bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan sosok dan sepak terjang Sudwikatmono. Saudara tiri bekas presiden Soeharto itu tidak pernah ke-lihatan canggung di depan publik. Usahanya juga tumbuh dengan cepat. Surya-Subentra berkiprah di hilir dan hulu, misalnya di bisnis eceran (Golden Truly), industri kimia, perfilman (importir film dan jaringan bioskop 21), dan perbankan (Bank Surya dan Bank Subentra). Tapi, belakangan, usaha Sudwi berantakan. Kedua banknya ditutup, sementara Golden Truly diambil alih Hero.
Demikian pula Ibrahim Risjad. Pengusaha asal Aceh ini punya usaha di bawah bendera Risjadson—termasuk Risjad Salim Bank (RSB). Bisnis Risjad juga hancur setelah krisis. Bank RSB diambil alih pemerintah dan akhirnya dimerger ke Bank Danamon.
Sudwi dan Ibrahim sangat berbeda dengan Djuhar, yang tak banyak bergerak di luar Salim. Energi Djugar agaknya memang dihabiskan di Salim Group. Hampir di semua anak perusahaan Salim Group, Liem mengajak Djuhar menjadi mitranya. Orang yang dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya ke-75 pada 1996 di Asia Tenggara ini juga aktif mengelola anak-anak perusahaan Salim, dari Waringin Kentjana, Indofood, Indocement, sampai First Pacific (Hong Kong). Hanya di Bank Central Asia (BCA) Djuhar tidak terlibat jauh, baik sebagai pemegang saham maupun sebagai direksi.
Menurut konsultan bisnis Wilson Nababan, Djuhar adalah mitra yang paling dipercayai Liem. Bahkan, kabarnya, posisi Djuhar jauh lebih penting ketimbang dua mitra Salim yang lain. Berbeda dengan Sudwikatmono dan Ibrahim, yang masuk ke Grup Salim melalui "pintu khusus", Djuhar memang menjadi kongsi Salim sejak awal. Selain setia, kata Wilson, dia masih keluarga Liem. "Dia orang di balik layar yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan bisnis Salim," kata Presiden Direktur CISI Raya itu.
Kedekatannya dengan Salim bermula dari pertemanannya dengan kerabatnya dari Fujian, di antaranya Imin Sugiono. Mereka berbisnis sejak berusia belasan tahun di Kudus. Bersama Sugiono dan dua familinya, Tan Le Lok dan Liem Lay Tuan, Djuhar mendirikan Four Seas di Jakarta. Bisnis mereka berkembang dan Four Seas menjadi pemasok bagi TNI Angkatan Laut. Lima tahun kemudian, masuklah Lim Chin Song dan nama perusahaan mereka berubah menjadi Five Stars. Pada titik inilah Djuhar berkenalan dengan Ibrahim Risjad, pegawai Lim Chin Song.
Atas saran bekas presiden Soeharto, Kelompok Lima kemudian bergabung dengan keluarga Liem Sioe Liong mendirikan Waringin Kentjana. Sejak saat itulah Liem dan Djuhar seperti pasangan abadi. Seperti halnya Liem, Djuhar kini mulai mundur dari manajemen Salim Group. Kongsi mereka sekarang diteruskan anak-anaknya. Anthony Salim dan Andree Halim kini bergandengan tangan dengan Tedy Djuhar, Johny Djuhar, dan Herman Djuhar di berbagai anak perusahaan Salim.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini