TIDAK ada kawan yang abadi, yang ada cuma kepentingan yang abadi. Peribahasa kuno ini sangat tepat menggambarkan hubungan bisnis antara Imin Sugio-no dan Djuhar Sutanto. Dulu, hampir 50 tahun lalu, mereka adalah teman sepermainan. Baik Djuhar maupun Sugiono berasal dari Fujian, Cina. Pada akhir dasawarsa 1950, mereka tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Di kota ini mereka tidak hanya serumah, tapi juga berbagi kamar. Bahkan mereka terikat tali kekerabatan.
Persahabatan yang kemudian dipererat dengan kerja sama bisnis ini sekarang terdampar di pengadilan Singapura sebagai sebuah sengketa. Imin Sugiono menggugat Djuhar Sutanto, kongsi bisnisnya dari masa lalu itu, dengan dakwaan wanprestasi atau cedera janji. Tak tanggung-tanggung, yang dituntut Sugiono adalah sahamnya di perusahaan-perusahaan yang dikembangkan Djuhar bersama Liem Sioe Liong. Jika menang, Sugiono berpeluang mendapat ganti rugi atau saham senilai S$ 500 juta, yang hampir setara dengan Rp 2,75 triliun.
Kasus perselisihan bisnis bukanlah hal baru, terutama bagi peradilan Singapura. Sengketa bisnis dengan berbagai variasinya merupakan kasus yang lumrah di negara pulau itu. Adapun ganti rugi yang dituntut Imin Sugiono senilai US$ 500 juta bukanlah jumlah yang kecil, terutama bagi Djuhar Sutanto, yang bisnisnya bersama Salim kini banyak dibelit utang. Bahkan, sebagian perusahaannya kini berada di bawah kuasa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sedangkan sebagian lagi sudah dilego untuk membayar utang.
Gugatan Sugiono jelas menambah beban Djuhar, yang selama ini dikenal sebagai mitra bisnis Liem Sioe Liong paling setia. Posisi Liem juga amat pelik. Kesaksiannya akan menentukan siapa di antara kedua sahabat itu yang benar. Jika Sugiono menang, Liem dan Djuhar kemungkinan harus berbagi saham dengannya. Lain halnya bila Djuhar bersedia membayar tunai—sesuatu yang agaknya tak ada dalam agenda pengusaha yang tak banyak bicara ini.
Menurut pengacara Imin Sugiono, Sim Yong Chan, gugatan itu sudah dimasukkan ke peng-adilan Singapura pada 5 September lalu dan sidangnya akan dimulai akhir Oktober ini. Dikatakannya, gugatan terpaksa dilayangkan karena pendekatan damai yang dilakukan Sugiono gagal. "Liem Sioe Liong berkali-kali berupaya memper-temukan Sugiono dengan Djuhar, tapi Djuhar tak pernah datang," ungkap Sim pula. Maka, bagi Sugiono, tak ada pilihan lain kecuali menggugat Djuhar ke pengadilan. Sugiono agaknya merasa betapa usianya sudah merambat tua. "Keduanya sudah 70-an tahun dan Sugiono tak hendak membebani anak-anaknya dengan persoalan ini," tutur Sim lebih jauh.
Sugiono sebenarnya tidak mengada-ada. Ia sekadar menuntut agar Djuhar menyerahkan hasil pengembangan usaha yang mereka rintis sejak 1966 sampai sekarang. Pada tahun itu, Djuhar bersama empat mitra bisnisnya di Five Stars menjalin kongsi bisnis dengan keluarga Liem Sioe Liong. Kebetulan, mereka punya marga yang sama. Kongsi ini juga terwujud berkat saran Soeharto, yang pada saat itu baru naik ke kursi kepresidenan. Five Stars dan Liem ketika itu memang sama-sama menjadi pemasok kebutuhan tentara. Sementara Five Stars banyak berhubungan dengan TNI Angkatan Laut, Liem banyak menjalankan usaha dengan TNI Angkatan Darat.
Mereka mendirikan Waringin Kentjana dengan pembagian saham antara pihak Five Stars dan Liem masing-masing 50 persen. Kedua belah pihak menyerahkan modal masing-masing Rp 300 juta. Tiap anggota dari pihak Five Stars berhak mendapatkan 10 persen saham di Waringin Kentjana. Dengan hanya berbekal selembar surat dan kepercayaan, empat anggota Five Stars, yakni Imin Sugiono, Tan Le Lok, Liem Lay Tuan, dan Lim Chin Song, menyerahkan pengelolaan dana mereka kepada Djuhar. Keempatnya juga tidak duduk di manajemen Waringin Kentjana atau-pun perusahaan yang dibentuk oleh Liem dan Djuhar kemudian.
Sejak itulah Waringin Kentjana berkembang luar biasa. Perusahaan demi perusahaan didirikan oleh duet Liem dan Djuhar. Pertama-tama Bogasari, disusul Bogawari (perusahaan pengangkutan), Indofood, Indocement, First Pacific (Hong Kong), sampai Rong Qiao, dan Yuan Hong Flour di Cina. Dalam perjalanannya, Waringin Kentjana dikembangkan oleh empat serangkai yang kerap disebut Gang of Four: Liem, Djuhar, Ibrahim Risjad, dan Sudwikatmono. Skala usahanya pun meng-gelembung luar biasa. Dengan modal hanya Rp 600 juta, kini aset Waringin Kentjana dan perusahaan-perusahaan yang dibentuk kemudian diperkirakan mencapai S$ 5 miliar atau sekitar Rp 27,5 triliun. Soeharto punya peranan yang kuat dalam memacu pertumbuhan Waringin Kentjana.
Pada 1992, ketika bisnis Grup Salim sedang jaya-jayanya, Sugiono mengajukan permintaan dana sebesar US$ 500 ribu kepada Djuhar. Mitra bisnis Salim ini memenuhi permintaan Sugiono. Tapi, ketika pada September tahun 2000 Sugiono kembali meminta dana, Djuhar dengan tegas menolaknya. Bahkan Djuhar minta agar Sugiono mengembalikan dana US$ 500 ribu yang diperolehnya pada 1992.
Tak cuma itu. Djuhar juga tak mengakui andil Sugiono dalam Waringin Kentjana dan perusahaan yang dibentuk kemudian. Kontan Sugiono terkaget-kaget. Sejak itulah Sugiono mencoba meminta penjelasan Djuhar mengenai sahamnya. Dia juga meminta agar Djuhar membuat laporan keuangan agar dia mengetahui persis berapa dana yang dulu ditanamnya di Waringin Kentjana. Lagi-lagi, Djuhar menolak. Upaya Liem mempertemukan keduanya tak membawa hasil. Kongsi mereka pun pecah.
Padahal, keduanya telah menjalin hubungan bisnis yang sangat panjang. Pada 1936, Juhar dan Liem mencoba peruntungan di bisnis pada usia belasan tahun. Bahkan Sugiono sempat tinggal di rumah paman Djuhar di Kudus, Jawa Tengah. Pada 1957, Sugiono dan Liem Lay Tuan memenangi kontrak pemasokan seragam TNI-AL. Usaha ini mendatangkan untung yang sangat besar bagi keduanya. Waktu itu kontrak tersebut menghasilkan keuntungan Rp 12 juta. Djuhar, yang kemudian menyusul ke Jakarta, tertarik. Ia minta agar diperbolehkan bergabung ke perusahaan mereka. Sugiono tak berkeberatan. Dia bahkan memberikan sahamnya kepada Djuhar sebesar 10 persen gratis. Lay Tuan juga memberikan 10 persen sahamnya kepada keponakannya, Tan Le Leok. Sejak itu, lahirlah Four Seas Company.
Pada 1962, Lim Chin Song masuk dan lahirlah Five Stars Company. Dia membawa serta dua pekerjanya, salah satu di antaranya adalah Ibrahim Risjad, yang asli Aceh. Usaha mereka berkembang sehingga tidak sebatas bertindak sebagai pemasok TNI-AL. Five Stars juga berbisnis hasil alam, kapas, dan perbankan. Mereka memiliki dua bank, masing-masing Bank Gemari dan Bank Perkembangan Ekonomi Indonesia. Five Stars tak cuma berbisnis di Indonesia, tapi juga di Singapura. Pada awal 1964, Sugiono mengakuisisi CV Waringin. Semua aset Five Stars kemudian ditransfer ke Waringin. Dua tahun kemudian, Five Stars bergabung dengan Liem, dan Waringin Kentjana menjadi kendaraan bisnis. Ketika itu, kata Sim, anggota Five Stars sepakat bahwa Djuhar yang mewakili mereka di Waringin Kentjana, sementara empat anggota lainnya tetap mengoperasikan Five Stars. Tapi Ibrahim Risjad kemudian di-minta membantu Waringin Kentjana.
Sampai tahun itu, tak ada masalah yang muncul. Pemegang saham Waringin Kentjana berubah-ubah, tapi Sugiono dkk. tetap mempercayakan pengelolaannya kepada Djuhar. Masalah pertama baru muncul pada 1965, ketika krisis perbankan menghantam Indonesia. Dari modal mereka yang Rp 300 juta, ternyata Rp 200 juta di antaranya berasal dari pinjaman Bank PEI. Meskipun kelima anggota Five Stars sepakat membayar pinjamannya, Bank Gemari dan Bank PEI tetap kolaps. Buntutnya, saham Liem Lay Tuan di Five Stars dan juga di Waringin Kentjana dijual kepada Djuhar. Tapi krisis ini tak membuat Waringin ikut tumbang. Buktinya, Bogasari didirikan pada 1969 dengan hak monopoli impor terigu. Dan ekspansi bisnisnya berjalan terus.
Tiga tahun setelah itu, Chin Song membutuhkan uang. Dia menjual sahamnya untuk mendapatkan dana tersebut. Lagi-lagi Djuhar yang menangkapnya. Kini, Djuhar memiliki 60 persen saham di Five Stars dan 30 persen di Waringin Kentjana. Setelah itu, jaring-jaring bisnis yang dikembangkan Djuhar dan Liem merambah ke mana-mana, termasuk ke Singapura, Hong Kong, dan Cina. Lebih dari 100 perusahaan didirikan oleh pasangan bisnis itu. Perpecahan mulai muncul setelah Djuhar menolak permintaan Sugiono untuk kedua kalinya, tahun lalu. Tapi Sim Yong Chan yakin kliennya bakal memenangi gugatannya. Menurut dia, ada sepucuk surat yang menjelaskan penunjukan Djuhar sebagai wakil Five Stars di Waringin Kentjana. "Dia juga berjanji akan menjaga uang mereka," kata Sim.
Namun, Djuhar mengingkarinya. Tak jelas mengapa Djuhar bersikap demikian. Pengacara Djuhar, Lesley Chew dari kantor pengacara Khattar, Wong, & Partners, menolak memberikan komentar. "Pengadilan belum dimulai. Masih terlalu pagi untuk memberi komentar," katanya. Pihak Liem juga tak bersedia memberikan tanggapan. Padahal, kesaksian Liem akan sangat menentukan siapakah yang benar di antara dua sahabat itu. Menantu Liem, Fransiscus Welirang, yang juga Direktur Indofood, mengaku belum mendengar kasus itu. "Itu urusan yang tua-tua," katanya.
Nostalgia Fujian-Kudus terbukti tidak cukup ampuh untuk mencegah perpecahan antara Imin Sugiono dan Djuhar Sutanto. Kini, pintu negosiasi sudah tertutup. Proses pengadilan mungkin akan berlarut-larut, apalagi pihak penggugat dan tergugat menganut sis-tem hukum yang berbeda. Dan, kalaupun Djuhar Sutanto divonis bersalah, kelak, eksekusinya belum tentu berlangsung dengan mudah.
M. Taufiqurohman, Endah W.S., Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini