Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Markas Militer di Atas Kuburan

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA tiga pekan, halaman Gedung DPRD Timor Tengah Utara (TTU), Nusatenggara Timur, dipenuhi beberapa tenda darurat. Sementara itu, ratusan orang hilir-mudik. Mereka adalah warga suku Funan-Oetpah yang memprotes pembangunan markas Batalyon Infanteri (Yonif) 744 di tanah milik mereka. Sudah tiga pekan berjalan, tapi tak ada tanggapan sedikit pun dari pemerintah setempat. Menurut Adrianus Magnus Kobesi, salah satu cucu leluhur suku itu, pembangunan markas militer di km 9 arah barat ibu kota TTU, Kafemanu, itu berada di tanah ulayat milik suku Funan-Oetpah. "Buktinya, ada kuburan para leluhur kami dan di atas tanah itu tumbuh pohon jati yang berusia ratusan tahun, hasil tanaman moyang kami,'' katanya. Tanah itu, menurut salah satu kepala suku Funan, Yosep Oetah, sudah digarap masyarakat sejak 1812. Pada 1931 Raja Miomafo, Pius Lelan, merampasnya. Karena Raja Miomafo tunduk pada pemerintah penjajah, tanah itu pun diserahkan ke pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, tanah itu dikuasai Departemen Kehutanan. Pada 1983 diserahkan ke Pemda Kabupaten TTU. Awal Januari lalu pemda menyerahkan tanah itu ke Kodim 1618 untuk dibangun markas militer. Protes rakyat yang menolak pembangunan markas militer itu tak digubris. Wakil rakyat di DPRD TTU dari Partai Golkar, TNI/Polri, dan Reformis malah menerima pembangunan markas itu. Hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menolaknya, dan walk-out dari ruang sidang saat kalah suara. ''Rakyat pasti marah. Sebab, belum ada kesepakatan mengenai kepemilikan tanah itu, kok langsung dibangun markas,'' ujar Ketua Fraksi PDI-P, Raymundus Fernandez, kepada Cyriakus Kiik dari TEMPO. Protes suku Funan ini didukung oleh elemen masyarakat lain. Menurut mereka, kehadiran Yonif 744 bakal menimbulkan keresahan karena lokasi pembangunan markas berdekatan dengan permukiman penduduk dan kompleks pendidikan seperti SMK Negeri dan Universitas Timor. Namun, bagi Bupati TTU, Hengki Sakunab, protes itu mengada-ada. Menurut Hengki, tanah yang diserahkan Pemda ke Yonif 744 sudah disetujui DPRD. ''Jadi, siapa yang berani membongkar bangunan Yonif 744 akan berhadapan dengan peluru," katanya galak. Sikap yang simpatik justru datang dari pihak militer. Komandan Kodim 1618/TTU, Letkol Bambang Supriyanto, yang menghentikan pembangunan markas itu. Komandan Korem 161/Wira Sakti Kupang, Kolonel Budi Heryanto, menyetujui keputusan Dandim. ''Sebaiknya Pemda Kabupaten TTU segera menyelesaikan status masalah tanah di km 9, sehingga pembangunan markas Yonif 744 bisa dilanjutkan,'' ujarnya. Menurut Kolonel Budi, pembangunan markas itu untuk kepentingan bangsa dan negara, terutama untuk mengantisipasi gangguan dari luar negeri yang ideologinya berbeda dengan Indonesia. Karena itu, ia minta agar masyarakat jangan mengada-ada dengan trauma masa lalu yang dilakukan oknum anggota TNI. "Prajurit TNI bukan pembunuh, tetapi pengayom masyarakat," katanya. Makassar PERLAWANAN bisa diwujudkan dalam berbagai simbol, salah satunya dengan pohon pisang. Inilah yang dilakukan puluhan orang dari lima dusun di Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang dua pekan lalu menanam lima batang pohon pisang di dekat landasan pacu Bandara Hasanuddin sebagai protes atas harga ganti rugi tanah. "Itu sebagai simbol perlawanan warga atas ketidakadilan selama ini,'' ujar Haji Colleng, salah seorang penduduk yang protes. Pohon pisang itu hanya bertahan beberapa hari karena dicabut pihak bandara. Menurut Kepala Cabang PT Angkasa Pura I Bandara Hasanuddin, Mohamad Daud, pohon itu menghalangi pandangan pilot saat akan lepas landas. Pencabutan itu memicu unjuk rasa berikutnya. Ahad pekan lalu, landas pacu Bandara Hasanuddin tertutup oleh hitamnya asap ban-ban bekas yang dibakar oleh para pengunjuk rasa, hingga menyebabkan terhambatnya penerbangan di bandar bertaraf internasional itu. Persoalan asap dan pohon pisang ini bermula dari ganti rugi atas tanah penduduk yang terjadi pada 1991. Menurut Direktur Eksekutif Makassar Intelectual Law, Supriansyah, yang mendampingi warga saat unjuk rasa itu, perluasan Bandara Hasanuddin pada 1991 memakan 560 hektare tanah milik 800 kepala keluarga. Dalam prosesnya, harga tanah yang disepakati Rp 7.000 semeternya hanya dibayar Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per meter, bahkan ada beberapa orang yang tak dibayar sama sekali hingga saat ini. Bagi Haji Colleng, sikap pemerintah yang tak membayar ganti rugi dan hanya mengumbar janji membuat masyarakat marah. ''Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan hak kami yang telah dirampas pemerintah,'' ujarnya. Menurut Daud, PT Angkasa Pura I, yang mengelola bandara itu, tak ikut serta dalam proses pembebasan tanah. ''Wewenang soal pembebasan tanah itu ada di tangan pejabat pemerintah daerah setempat dan pihak Departemen Perhubungan,'' katanya. Status lahan itu, menurut Daud, merupakan penyertaan modal pemerintah pada badan usaha milik negara itu. Seluruh pembangunan perluasan bandara dan anggarannya diatur oleh pemerintah pusat, dan pengelola bandara tidak dilibatkan sama sekali. Abung Selatan, Lampung GEBUK! Cara ini rupanya masih dilakukan polisi untuk menangani aksi unjuk rasa. Sabtu dua pekan lalu, 400 orang dari Desa Trimodadi dan Sinarogang, Abung Selatan, Lampung, yang meminta pembebasan tujuh orang warga yang ditahan, malah digebuki. Akibatnya, tujuh orang luka-luka, dua orang luka parah. Dua orang pengacara dan seorang mahasiswa yang mendampingi warga saat unjuk rasa kini ditahan dengan tuduhan sebagai provokator. Peristiwa itu berawal dari penangkapan tujuh warga Desa Trimodadi awal Maret lalu. Alasan polisi, Yono dan teman-temannya mencuri karet dengan cara menderes dari pohonnya di areal perkebunan karet milik PT Nakau di Dusun Karyaoro. Tuduhan itu dianggap mengada-ada oleh Erwin Sugiarto, koordinator lapangan Komite Pembebasan Tanah Serikat Petani Lampung. Menurut dia, polisi memang sudah lama mengincar warga. Sebab, sejak Juli lalu penduduk setempat menuntut PT Nakau agar mengembalikan 1.500 hektare lahan mereka yang dirampas sejak 1962 hingga 1984. Tuduhan balik Erwin itu kembali ditangkis oleh Kapolres Lampung Utara, Ajun Komisaris Besar Triagus Heru Prasetyo. ''Mereka terbukti telah melakukan tindak kriminal menderes karet milik PT Nakau. Sampai saat ini lahan itu masih sah milik perusahaan,'' katanya. Karena penahanan itulah warga marah dan menuntut pembebasan teman-temannya. Saat berdemo di depan Markas Polres, polisi menggebuki mereka, tiga orang ditangkap. Bahkan, dalam kejadian itu, seorang reporter harian Trans Sumatera, Thabrani, yang sedang memotret aksi kekerasan itu, diseret dan dipukuli, kameranya dirampas serta filmnya dibuang. Delapan LSM di Lampung mengecam tindakan polisi. Tapi Kapolres Lampung Utara tenang-tenang saja. Polisi, katanya, hanya berusaha menjaga keamanan dan ketertiban karena para pendemo datang dan berteriak-teriak, yang bikin ricuh saja. Soal tuntutan pendemo? ''Kami tetap akan memproses tujuh orang itu,'' kata Kapolres Triagus. Manado SALING gugat antara DPRD dan wali kota jarang terjadi, tapi nyatanya berlangsung di Bitung, Sulawesi Utara. Milton Kansil, wali kota yang dicopot dari jabatannya oleh DPRD akhir Februari lalu, mengajukan dua gugatan terhadap dewan melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan secara perdata melalui Pengadilan Negeri Manado. Selasa pekan lalu gugatan di PTUN disidangkan. Menurut pengacara Milton, Natanel Alfret Pangandaheng, keputusan DPRD itu cacat hukum. Pendapat-pendapat fraksi di DPRD yang menyarankan Milton dipecat tak punya bukti kuat. Surat keterangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menyebutkan Milton pernah tersangkut kasus pidana penyelundupan dan telah divonis hukuman penjara selama sembilan bulan, 20 tahun yang lalu, menurut Natanel, bukan bukti yang kuat. ''Mestinya ada, misalnya bukti bahwa Milton pernah menghuni salah satu penjara di Jakarta karena perbuatannya itu,'' katanya. Selain itu, saat mengambil keputusan, menurut Natanel, para anggota wakil rakyat melanggar Tata Tertib DPRD Bitung Pasal 33 ayat 3, soal menggelar sidang tanpa melalui panitia musyawarah. Apalagi, sidang itu ditandai dengan walk-out-nya para anggota dari Fraksi PDI Perjuangan. Secara perdata, Milton, yang juga Ketua PDI Perjuangan cabang Bitung, menggugat dewan ke Pengadilan Negeri Bitung karena pencemaran nama baik, dengan nilai ganti rugi imaterial Rp 1 miliar. Tapi DPRD tak gentar dengan dua gugatan itu. "Silakan saja kalau mau menggugat, kami siap melayani," ujar Ketua DPRD Bitung, Yantje Takasihaeng. Menurut dia, keputusan DPRD yang memberhentikan Milton Kansil itu berkaitan dengan perkara pidana tahun 1980 dan sudah dilakukan dengan prosedur yang ada, yaitu melalui usul pengajuan pendapat dewan. ''Jadi, perbuatan pidana yang dilakukan adalah pribadi. Bukan soal pertanggungjawaban Wali Kota," katanya. Sebagai bukti ketidakgentaran mereka, sejak awal pekan lalu para pimpinan DPRD Bitung berada di Jakarta untuk memberikan keputusan pemecatan Milton kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Semarang SOEWARDI, bekas gubernur Jawa Tengah, kini bisa ke luar kota kembali. Pekan lalu, statusnya sebagai tahanan kota sudah habis dan kasus dugaan korupsi senilai Rp 19,5 miliar pada proyek Asrama Haji Donohudan, Boyolali, pun berakhir antiklimaks. Selamatkah Soewardi? "Kasus Soewardi hingga saat ini belum dihentikan. Pihak kejaksaan tinggi masih melihat hubungan antara Soewardi dan dua tersangka lainnya,'' kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, D.J. Silalahi. Bagaimanapun, lepasnya Soewardi dari tahanan kota mengundang kecurigaan banyak pihak. Ketua Tim Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Boyamin, sudah menduga kasus ini akan dihentikan. "Setelah berbicara dengan kejaksaan tinggi, kesimpulan kami, pihak kejaksaan bakal menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk menyelamatkan Soewardi,'' katanya. Namun, Silalahi mencoba berkelit. Menurut dia, SP3 atas Soewardi masih mungkin dilakukan. Masalahnya, dalam perkara Ari Siswanto, majelis hakim tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi. Menurut Silalahi, pihaknya masih menunggu hasil sidang perkara Soeharno, penanggung jawab proyek itu. ''Jadi, sampai sekarang kejaksaan tinggi belum menerbitkan SP3, status Soewardi masih tersangka dan penyidikannya masih terus berlangsung,'' katanya. Keterlibatan Soewardi yaitu menyetujui permohonan yang diajukan Soeharno bahwa proyek dilaksanakan terlebih dahulu sebelum daftar isian proyek daerah disahkan. Lalu, gubernur itu menunjuk Ari Siswanto sebagai pemborong proyek tanpa melalui tender. Ahmad Taufik dan laporan dari daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus