AKHIRNYA memang diperlukan sikap terbuka dan kritis dalam menghadapi keadaan ekonomi dunia yang makin sulit ditebak. Menteri Keuangan Radius Prawiro misalnya, pekan lalu, menyinggung sikap realistis yang akan diambil pemerintah untuk menyusun RAPBN 1986-1987 nanti, dengan mempertimbangkan kemampuan negara mengumpulkan pajak migas. Jadi, "Jangan kaget kalau lebih realistis itu berarti lebih rendah dari tahun berjalan ini," katanya memperingatkan. APBN tahun berjalan, seperti diketahui, volumenya RP 23 trilyun lebih sedikit. Dibandingkan anggaran sebelumnya, RAPBN 1985-1986 itu sesungguh-nya lebih tinggi, atau naik sekitar 12%. Selama 10 tahun terakhir ini anggaran yang disusun pemerintah itu selalu naik dari waktu ke waktu. Jadi, kalau tahun fiskal mendatang anggarannya lebih rendah dan anggaran tahun berjalan, tentu merupakan peristiwa menarik. Ada tanda-tanda, pemerintah tidak lagi mau membuat proyeksi tinggi dalam memperkirakan penerimaan pajak migas. Tahun fiskal berjalan ini, penerimaan pajak migas dianggarkan Rp 11,16 trilyun. Banyak kalangan merasa ragu-ragu sasaran itu bisa dijangkau mengingat harga minyak kini semakin tertekan. Bagi Hadi Soesastro, pengamat dari Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Strategis & Internasional (CSIS), penyusunan RAPBN lebih realistis bisa dipertanggungjawabkan secara politis. Pertama, karena uangnya memang tidak ada dan, kedua, selama ini rencana anggaran ternyata selalu lebih tinggi dari realisasi. Salah satu buktinya, "Ada Sisa Anggaran Pembangunan (Siap)," katanya. Pemerintah tampaknya tidak akan menghadapi persoalan karena yang disebut realisasi itu tidak sepenuhnya diwujudkan dalam tahun anggaran bersangkutan - hingga muncul sebutan "Siap mati" dan "Siap hidup". Siap hidup biasanya direalisasikan tahun anggaran berikutnya, kata Hadi, tapi dalam akuntansinya dianggap sudah direalisasikan pada tahun anggaran berjalan. Jadi, dalam memandang RAPBN, Hadi lebih cenderung melihat pada realisasi, bukan pada rencana. "Sekarang pun APBN itu lebih rendah, karena Siapnya banyak," katanya. Anggapan itu tampaknya benar. Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, pertengahan Oktober lalu, pernah menyinggung besarnya Siap dari 1982 sampai Maret 1985, yang mencapai jumlah akumulatif Rp 1,59 trilyun. Dari anggaran pembangunan yang dialokasikan pada tahun berjalan ini saja, dananya baru terserap sekitar 15%. Padahal, APBN 1985-1986 sudah berjalan satu semester lebih. Karena itu, Menteri Soepardjo menyatakan di depan rapat konsultasi nasional Bappeda tadi agar mereka berhati-hati membuat rencana. Besarnya Siap yang sesungguhnya merupakan investasi pembangunan itu tentu disesalkan banyak kalangan. Yang jadi persoalan, kalau RAPBN 1986-1987 lebih kecil, apa yang harus dikorbankan? "Kalau pemerintah tidak bisa mengerem biaya perjalanan pejabat ke daerah, ya, pengeluaran pembangunan harus dikorbankan," kata Iwan Jaya Azis, ekonom dari FE UI. Penurunan volume anggaran, menurut dia, belum tentu akan mempersempit lapangan kerja. "Kesempatan kerja bisa diciptakan oleh kegiatan ekonomi. Sedang kegiatan ekonomi itu sendiri tidak selalu harus berbentuk aktivitas pengeluaran uang," katanya. Semua dugaan itu, tentu, masih harus dibuktikan sementara rancangannya sendiri belum dikemukakan. "Saya sendiri tidak tahu apakah anggaran akan disusun berdasar proyeksi harga minyak terendah," kata Iwan. Repotnya, kalau anggaran disusun dengan skenario suram, reaksi masyarakat justru sering menekan stabilitas moneter. E.H. Laporan Yulia S. Madjid, Toriq Hadad (Jakarta), dan Saur Hutabarat (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini