Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ponten Merah Regulator Penerbangan

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara disorot dalam kisruh izin terbang AirAsia pkAXC QZ8501. Kinerjanya dinilai buruk oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT selama satu jam itu berlangsung panas. Digelar di Kementerian Perhubungan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu dua pekan lalu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengundang petinggi perusahaan yang ditengarai bertanggung jawab atas dugaan terbang tanpa izin pesawat AirAsia PKAXC QZ8501, yang jatuh di Selat Karimata.

Mereka yang datang adalah Direktur Utama Angkasa Pura I Tommy Soetomo bersama Direktur Operasional Yushan Sayuti dan Direktur Utama Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (AirNav Indonesia) Bambang Tjahjono. Menurut Staf Khusus Keterbukaan Informasi Publik Menteri Perhubungan, Hadi M. Juraid, rapat itu berlangsung dua kali pada pagi hari dan sore. Topik rapat: "Membahas penerbangan tanpa izin AirAsia," katanya.

Jonan menilai Angkasa Pura I sebagai pengelola Bandar Udara Juanda, Surabaya, dan AirNavigation, yang mengomandoi Air Traffic Controller, lalai. Alasannya kedua otoritas itu tidak menghalangi pesawat ilegal. Belakangan, Jonan meminta Angkasa Pura dan Air Navigation memberikan sanksi kepada pegawainya.

Seorang pejabat yang mengetahui rapat itu mengatakan, pada rapat pagi, Tommy sempat menolak permintaan tersebut. Alasannya, perusahaannya hanya mengelola bandara dan tidak berurusan dengan izin terbang. "Dia mengelak dituding bersalah," ujarnya.

Namun Jonan berkukuh sanksi harus tetap dijatuhkan. Benar saja, sehari setelah pertemuan itu, AirNav memutasi empat pejabat dan Angkasa Pura I memindahkan dua pegawainya di Bandara Juanda. Hadi Djuraid menyangkal adanya desakan pemberian sanksi. "Pak Jonan hanya meminta Angkasa Pura dan AirNav menggelar audit internal dan melaporkan hasilnya," katanya.

Ditemui Selasa pekan lalu, Tommy menolak menjelaskan soal rapat itu. Adapun Yushan membenarkan kehadirannya dalam rapat itu, tapi membantah kabar bahwa Jonan meminta Angkasa Pura menjatuhkan sanksi. "Tidak bilang seperti itu," ucapnya.

Adapun Bambang menolak anggapan bahwa sanksi yang diberikan kepada General Manager AirNav Surabaya, Manajer Air Traffic Service Operasional Surabaya, Senior Manager Air Traffic Flow Management, dan Air Traffic Service Kantor Pusat Perum AirNav sebagai tekanan Jonan. "Itu hasil investigasi internal kami," katanya.

* * * *

SEORANG pilot yang pernah bekerja di Kementerian Perhubungan menyebutkan desakan Jonan meminta pegawai AirNav dan Angkasa Pura diberi sanksi adalah salah sasaran. "Yang ditembak hilirnya," ujarnya. Sebab, hulu karutmarut izin terbang sebenarnya bersumber di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.

Menurut dia, tidak sulit membuktikan itu. Bobroknya penerbitan izin terbang tecermin dari hasil audit Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), organisasi di bawah Perserikatan BangsaBangsa yang mengatur standardisasi bagi otoritas penerbangan. Aturan internasional yang diterbitkan ICAO adalah Annexes, yang berisi kewajiban dan rekomendasi dalam penyelenggaraan penerbangan sipil.

Audit pertama ICAO dilakukan pada Juli 2007. Hasilnya, ada 121 temuan, yaitu penyelenggaraan penerbangan sipil yang tidak sesuai dengan Annexes. Tujuh tahun berjalan, enam auditor ICAO datang lagi untuk menggelar auditor pada 514 Mei tahun lalu. Hasilnya: 600 temuan pada kinerja penyelenggaraan penerbangan sipil tidak memenuhi standar Annexes.

Nilai paling buruk adalah pada kinerja organisasi Ditjen Perhubungan Udara sebagai otoritas penerbangan sipil. Nilai kelemahan organisasi Ditjen Perhubungan Udara mencapai 88 persen. "Birokrasi yang panjang dan penempatan pejabat yang tidak tepat sesuai dengan kualifikasi," kata seorang pegawai yang mengetahui proses audit.

Buruknya kinerja itu antara lain penerbitan izin terbang dan pengawasan kelaikan pesawat. Kasus AirAsia QZ8501, yang dituding tidak mengantongi izin resmi, merupakan indikasi kuat terjadi kongkalikong dalam penerbitan izin terbang.

Izin terbang yang diterbitkan Direktorat Angkutan Udara dibagi dua, yaitu penerbangan berjadwal dan tidak berjadwal. Izin penerbangan berjadwal diterbitkan setiap enam bulan, yakni periode musim panas (26 Oktober31 Maret) dan musim dingin (1 April25 Oktober).

Adapun izin penerbangan tidak berjadwal bisa diajukan setiap waktu. Syarat mengantongi izin terbang tidak berjadwal dengan mengajukan flight approval (FA). Biasanya izin ini diajukan maskapai untuk penerbangan extra flight dan pesawat carter. "Pengajuan FA menjadi lahan basah Direktur Angkutan Udara," ucap seorang pegawai Kementerian Perhubungan.

Menurut dia, tarifnya bervariasi. Misalnya untuk sebuah pesawat Cessna harus membayar Rp 1 juta buat satu kali terbang. Angka ini akan melonjak kalau yang mengajukan adalah maskapai reguler yang kerap berlomba mendapatkan extra flight pada prime time dan hari liburan.

Mantan Direktur Angkutan Udara Djoko Murjatmodjo, yang saat ini menjadi Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara, menyangkal adanya setoran gelap itu. "Saya tidak pernah dengar," ujarnya. Ia mengatakan suap sulit terjadi karena pengurusan izin terbang digelar secara online serta tidak perlu tatap muka antara regulator dan maskapai. Adapun tentang adanya sogokan pada proses izin terbang pesawat jenis Cessna sangat mustahil. "Pesawat kecil di bawah 30 kursi tidak perlu mengajukan flight approval."

Direktur Angkutan Udara Muhammad Alwi mengatakan amburadulnya izin terbang karena maskapai mengacu pada slot time yang diterbitkan Indonesia Slot Coordinator (IDSC) ketimbang izin rute. "Slot time hanya sebagai salah satu komponen untuk mendapatkan izin rute."

Sebaliknya, seorang pegawai Kementerian Perhubungan mengatakan IDSC merupakan salah satu kesemrawutan dalam penerbitan izin terbang. "IDSC tidak diperintahkan ICAO, tapi dipaksakan ada," katanya. Pendirian IDSC aneh karena organisasi ini dibentuk hanya dengan keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara tapi punya otoritas yang menentukan pesawat bisa terbang atau tidak.

IDSC, yang didirikan pada 2011, beranggotakan Angkasa Pura I dan II, AirNav Indonesia, serta perwakilan Kementerian Perhubungan. IDSC tidak mengurus izin slot untuk semua bandar udara, tapi bandara yang sibuk. Inilah yang meruapkan kecurigaan bahwa IDSC didirikan untuk kepentingan segelintir pejabat nakal di Kementerian Perhubungan.

Kepala IDSC Hemi Pamurahadrjo menyangkal ada permintaan dana dari maskapai yang mengajukan slot penerbangan. Kendati tidak memungut biaya dan tidak dibiayai negara, IDSC bisa beroperasi karena disuntik anggaran dari Angkasa Pura I dan II. "Setiap tahun Rp 1 miliar," ujarnya.

Dia juga membantah anggapan bahwa lembaganya hanya memperpanjang rantai birokrasi. Sebab, IDSC—yang mengacu pada otoritas penerbangan di Inggris dan Australia—berperan menghitung kemampuan bandara menampung pergerakan pesawat setiap jam. Kendati hanya dibentuk lewat surat dirjen, Hemi mengklaim keberadaan IDSC sah. "Meskipun tidak ada di ICAO, kami mengacu pada IATA (Asosiasi Maskapai Internasional)," ucapnya.

* * * *

PERSOALAN serius tidak hanya terjadi di Direktorat Angkutan Udara, tapi juga di Direktorat Kelaikan Udara dan Pengawasan Pesawat Udara. Menurut seorang mantan pegawainya, Direktorat Kelaikan Udara ikut memberi kontribusi sengkarut dalam pemberian izin terbang. "Sebab, setiap izin terbang wajib mengacu pada rekomendasi pengawas kelaikan pesawat," katanya.

Masalahnya, banyak hasil pengawasan yang disulap. Hasil pengawasan kerap tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya dari pesawat karena hasil pengawasan disulap dan kapasitas pengawas tidak mumpuni. Pengawasan kelaikan udara terdiri atas pengawas operasi (principal operation inspector/POI) dan pengawas mekanik (principal maintenance inspector/PMI). POI dan PMI mengawasi 60 pemegang air operator certificate (AOC), yaitu sertifikat yang diberikan kepada maskapai yang mengoperasikan pesawat berkapasitas lebih dari 30 kursi.

Petugas POI berasal dari 25 pegawai negeri sipil dan 25 pegawai kontrak. POI berlatar belakang pilot. Adanya pegawai kontrak karena Kementerian Perhubungan kekurangan tenaga. Masalahnya, POI kontrak direkrut berdasarkan rekomendasi maskapai yang diawasi. "Bagaimana bisa independen?" ujar mantan pegawai tadi.

Adapun PMI dijabat 35 pegawai negeri. Persoalannya, dari semua pegawai tadi, hanya 25 persen yang memiliki pengalaman di lapangan. Bahkan tidak semua anggota staf mengantongi lisensi maintenance dari produsen pesawat yang diawasi. Akibatnya, keteledoran pengawasan sangat mungkin terjadi. Muzaffar Ismail, Direktur Kelaikan Udara dan Pengawasan Pesawat Udara, belum bisa dimintai komentar soal ini. Adapun Hadi M. Djuraid membenarkan ada masalah di pengawasan POI dan PMI. "Persoalannya, mereka adalah pegawai dengan keahlian khusus, tapi gaji standar PNS."

Sejumlah persoalan yang membelit regulator penerbangan terkuak dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan. Menurut Menteri Jonan, pihaknya menemukan kelalaian yang dilakukan 11 pejabat dalam pemberian 61 izin terbang. "Akan kami benahi. Ini kekurangan dari dulu," katanya.

Akbar Tri Kurniawan, Tri Artining Putri, Gustidha Budhiartie, Martha Thertina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus