Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan, yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja, mengundang pro dan kontra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Pasal 103 PP yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 26 Juli 2024 itu, disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Untuk pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi; menjaga kesehatan alat reproduksi; perilaku seksual berisiko dan akibatnya; keluarga berencana (KB); melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
“Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (kesehatan sistem reproduksi) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di satuan pendidikan serta kegiatan lain di luar sekolah,” tulis Pasal 103 ayat (3).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sementara itu, pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Anak Lebih Membutuhkan Edukasi
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menegaskan anak lebih membutuhkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi daripada penyediaan alat kontrasepsi.
“Di tengah situasi yang semacam ini, mestinya pemerintah perlu memperkuat pendidikan seksual dan juga pengembangan penyuluhan kesehatan reproduksi pada anak di sekolah, daripada penyediaan alat kontrasepsi,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji.
Ia mengatakan, Indonesia saat ini sedang menghadapi kondisi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak. Menurut data National Centre for Missing Exploited Children (NCMEC), kasus konten pornografi pada anak di Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, dan peringkat dua skala Asia Tenggara.
Karena itu, ia menilai sebaiknya aturan tersebut dicabut dan didiskusikan kembali dengan melibatkan partisipasi yang lebih luas daripada kontradiktif dengan tatanan sosial di sekolah dan juga merusak moralitas anak-anak.
Menurut pihaknya, peraturan tersebut jelas merusak masa depan anak-anak Indonesia. Pasalnya, jika dipaksakan, mereka kian terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan. Pada sisi yang lain, penyediaan alat kontrasepsi yang salah tempat, berakibat pada banyaknya kasus penyalahgunaan alat kontrasepsi pada anak, yang berujung pada jebakan kasus kekerasan pada anak
“Anak usia sekolah harus fokus pada proses pendidikan reproduksi di sekolah, bukan malah melakukan kegiatan aktif penggunaan alat kontrasepsi. Sebab, anak usia sekolah, belum dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual,” katanya.
Ia pun menggarisbawahi batas usia persetujuan harus berdasarkan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, yaitu 19 tahun. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah harus ditolak karena lebih banyak mengundang bahaya, bahkan tidak ada manfaatnya.
Anggota Komisi VIII DPR RI Luqman Hakim menilai pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi dan seksual di Tanah Air harus berlandaskan nilai-nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal agama-agama
"Pelaksanaan edukasi kesehatan reproduksi sangat penting diletakkan di atas dasar nilai-nilai moral Pancasila dan nilai-nilai universal agama," kata Luqman.
Menurut dia, landasan filosofis dan etik itu akan berperan menjauhkan remaja Indonesia dari perilaku seks bebas.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar, yang diatur dalam PP Kesehatan, tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional.
"Itu tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama,” kata Fikri.
Ia menilai penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa itu sama saja dengan membolehkan tindakan seks bebas kepada pelajar. “Alih-alih mensosialisasikan risiko perilaku seks bebas kepada usia remaja, malah menyediakan alatnya, ini nalarnya ke mana?” ujarnya.
Berikutnya: Penjelasan Pemerintah.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, yang dimaksud alat kontrasepsi PP Kesehatan tersebut adalah untuk remaja yang menikah dini agar bisa menurunkan angka kematian balita dan mencegah tengkes (stunting).
"Kontrasepsi ini diarahkannya untuk remaja yang menikah dini, kan tidak bisa dilarang orang nikah," kata Budi di Puskesmas Tebet Jakarta Selatan, Selasa, 6 Agustus 2024.
Budi mengatakan perkawinan usia dini yang terbilang tinggi di Indonesia menyebabkan masih adanya kasus stunting hingga kini. Terlebih, ibu hamil yang usianya di bawah 20 tahun kemungkinan memiliki bayi tidak sehat dan cenderung stunting.
"Kematian ibu tinggi, kematian bayi pun tinggi," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan tentunya tidak ada larangan untuk menikah, maka dari itu pihaknya lebih memilih memberikan edukasi bagi remaja yang melakukan pernikahan dini.
Adapun edukasi ini bertujuan penting untuk menurunkan kematian balita dan stunting.
Ditegaskan kembali penyediaan alat kontrasepsi ini bukan untuk pelajar, namun untuk orang menikah di usia sekolah.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut kontroversi penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja pelajar harus dicarikan solusi yang dapat menjembatani perspektif agama dan kesehatan.
"Memang ada pandangan, pasti terjadi kontra, karena satu pandangan dari sisi kesehatan, satu dari sisi etik atau agama. Pasti selama itu tidak akan ketemu," kata Moeldoko di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa.
Moeldoko mendorong otoritas terkait, termasuk Kementerian Kesehatan mencari jalan tengah dari perspektif kesehatan dan kepentingan agama. "Tapi kan mesti ada jalan tengah, harus ada solusinya," ujarnya.