Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asal-usul Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12 Persen

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi dalih pemerintah menaikkan PPN.

6 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
(dari kiri) Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel, Lodewijk Freidrich Paulus, Muhaimin Iskandar, dan Sufmi Dasco Ahmad saat memimpin rapat paripurna ke-7 masa persidangan I tahun 2021-2022 yang mengesahkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 7 Oktober 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memicu polemik karena memicu kenaikan PPN.

  • PPN 12 persen merupakan salah satu amanat UU HPP yang digodok pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

  • Presiden Prabowo Subianto memberlakukan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang mewah.

KERIBUTAN tentang kenaikan pajak pertambangan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 kini bergeser pada pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Asal-usul UU HPP memicu polemik menjelang akhir 2024 dan pada awal 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Enam jam sebelum pergantian tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tarif PPN batal naik, kecuali untuk barang dan jasa mewah. Sebagai landasan hukumnya, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor (PMK) 131 Tahun 2024. Secara aturan, tarif PPN naik tak berlaku bagi barang lain, terutama barang-barang konsumsi, seperti direncanakan sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Prabowo membatalkan kenaikan PPN untuk barang konsumsi publik itu sebenarnya tidak sejalan dengan UU HPP. Meski begitu, kata Presiden, keputusan tersebut untuk melindungi kepentingan masyarakat. "Setiap kebijakan perpajakan harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan, perlindungan daya beli rakyat, serta mendorong pemerataan ekonomi," katanya pada Selasa, 31 Desember 2024.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keterangan pers soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, 31 Januari 2024. ANTARA/Aprillio Akbar

Sejak awal, UU HPP dirancang untuk mendorong perekonomian. Idenya berawal dari rencana pemerintah mentransformasikan perpajakan Indonesia melalui revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pemerintah mengusulkan sejumlah perubahan aturan pajak, seperti reformasi administrasi perpajakan, memperkuat kerja sama internasional, dan memperluas basis pajak.

Dalam sidang paripurna pada 22 Juni 2021, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani menyatakan DPR menerima surat Presiden Joko Widodo tentang perubahan UU KUP pada 5 Mei 2021. DPR menyambut surat tersebut dan memulai pembahasan bersama pemerintah. Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang KUP terbentuk pada 28 Juni 2021. Panja mengubah judul rancangan aturan tersebut menjadi RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan karena mengubah dan menghilangkan sejumlah ketentuan dalam beberapa undang-undang mengenai pajak.

Dalam rancangan undang-undang tersebut, pemerintah mengusulkan berbagai terobosan. Terkait PPN, ada dua hal yang menjadi perhatian masyarakat kala itu. Pertama, pemerintah mengusulkan perluasan basis pajak dengan memungut pajak, antara lain, dari bahan kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang sebelumnya bebas PPN. Kedua, pemerintah mengusulkan skema multitarif dengan kenaikan tarif umum dari 10 persen menjadi 12 persen.

Pemerintah mengungkapkan salah satu pertimbangan menaikkan tarif PPN adalah tarif umum di Indonesia lebih rendah dibanding negara lain. Dalam konferensi pers pada 14 Juni 2021, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor membandingkan tarif di dalam negeri dengan rata-rata tarif PPN negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencapai 19 persen serta negara anggota BRICS sebesar 17 persen. "Tarif standar PPN di 127 negara sekitar 15,4 persen dan banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas," ujarnya.

Soal perluasan obyek PPN, Neil menjelaskan bahwa pemerintah hanya akan mengenakan PPN pada bahan pokok yang bersifat premium. Sedangkan untuk pendidikan hanya dikenakan pada jasa yang bersifat komersial.

Direktur Center of Economic and Law Studies Nailul Huda mengatakan saat itu banyak kalangan memprotes ketentuan tersebut. Pengenaan pajak untuk bahan kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan dianggap menyalahi ketentuan undang-undang dasar. "Waktu itu kami juga menolak rencana menaikkan langsung tarif PPN menjadi 12 persen karena masih terkena dampak Covid-19," ucapnya pada akhir pekan lalu.

Penolakan masyarakat membuahkan hasil. Pemerintah menyatakan barang serta jasa seperti bahan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan mendapat fasilitas pajak nol persen. Selain itu, tarif PPN diputuskan naik secara bertahap. Yang pertama, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Selanjutnya, tarif PPN akan menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.

Penolakan juga datang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dalam rapat Komisi XI DPR pada 30 September 2021. Ecky Awal Munawar, yang membacakan pandangan fraksi, menyatakan rencana kenaikan tarif PPN bakal menekan daya beli masyarakat. Soalnya, sumber PPN terbesar berasal dari PPN dalam negeri berupa konsumsi masyarakat, serta PPN impor yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku industri. Jika tarifnya naik, tekanan pada perekonomian bakal meningkat. "Kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif terhadap rencana pemulihan ekonomi nasional," ujarnya. 

Fraksi PKS mendorong agar bahan kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan tetap dikecualikan sebagai obyek PPN. Ecky menyampaikan barang dan jasa tersebut sangat dibutuhkan rakyat serta pengenaan pajak bakal berdampak negatif terhadap kesejahteraan dan perekonomian. Pandangan Fraksi PKS tak berubah, bahkan setelah pemerintah dan DPR menyepakati UU HPP pada 7 Oktober 2021. Dari sembilan partai di Senayan, hanya PKS yang menolak kenaikan tarfi PPN.

Penolakan aturan PPN dalam UU HPP masih terdengar pada 2022. Namun kebijakan tersebut tetap berjalan. Pada 2024, penolakan publik terhadap penerapan tarif PPN 12 persen menguat seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat. Sejumlah dorongan untuk menahan belanja menyebar di media sosial hingga berhasil membuat pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN.

Dampak pelemahan daya beli masyarakat akibat kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah lama diperkirakan. Mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bercerita, pada 2015, dia didatangi seorang pengusaha yang mengusulkan pemerintah menurunkan pajak penghasilan (PPh) badan. Pengusaha tersebut meminta PPh badan di Indonesia yang mencapai 25 persen diturunkan hingga 17 persen seperti di Singapura.

Agar penerimaan negara tidak menurun akibat berkurangnya PPh badan, menruut Bambang, pengusaha tersebut mengusulkan pemerintah menaikkan tarif PPN. Bambang menolak usul tersebut. "Karena PPN akan berdampak terhadap seluruh masyarakat, sedangkan manfaat PPh badan hanya menguntungkan sebagian pengusaha," ucapnya kepada Tempo pada Jumat, 3 Januari 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengklaim kebijakan menaikkan tarif PPN seperti diatur dalam UU HPP murni untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Saat menyusun aturan tersebut, pemerintah mengidentifikasi bahwa caranya adalah perbaikan defisit anggaran serta peningkatan rasio pajak.

"Untuk melaksanakannya, salah satu langkah yang ditempuh adalah meningkatkan tarif pajak yang memang sedang dilaksanakan secara serempak pada tataran global," katanya kepada Tempo, Ahad, 5 Januari 2025.

Menurut Dwi, pemerintah mendengarkan aspirasi masyarakat perihal pelaksanaan UU HPP. Karena itu, pemerintah memutuskan menetapkan tarif PPN tetap 11 persen, kecuali untuk barang mewah, mulai 1 Februari 2025. Ditanya soal rencana revisi UU HPP, Dwi menyatakan saat ini pemerintah berfokus menjalankan aturan tersebut. "Penerbitan PMK Nomor 131 Tahun 2024 merupakan upaya pelaksanaan UU HPP dengan tetap mengakomodasi aspirasi masyarakat," tuturnya.

Kenaikan tarif PPN masih menjadi tumpuan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Kontribusinya cukup dominan, sekitar 40 persen dari total penerimaan pajak. Pada 2025 saja, pemerintah menargetkan penerimaan PPN, termasuk yang dikenakan untuk barang mewah, sebesar Rp 945,1 triliun dengan total target penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun.

Untuk mengejar target penerimaan pajak tahun ini, kata Dwi, pemerintah menempuh berbagai upaya, termasuk perluasan basis perpajakan. Pemerintah juga memberikan edukasi perpajakan, pengawasan dan penegakan hukum, serta peningkatan kerja sama perpajakan internasional. "Ditambah dengan beroperasinya Coretax DJP, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang dapat memaksimalkan usaha penghimpunan penerimaan negara dari sektor pajak," ucapnya.

Vedro Imanuel, Novali Panji, Ilona Esterina, dan Fajar Pebrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Bergabung dengan Tempo sejak 2015, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran ini terlibat dalam peliputan isu seputar ekonomi dan bisnis. Kini mengisi konten premium harian dan siniar Jelasin Dong!

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus