Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 yang diteken Presiden Prabowo Subianto mendapat sorotan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal FITRA Misbah Hasan, menilai kebijakan ini masih belum menyentuh banyak sektor lain. Jika ingin ada efisiensi, dia menegaskan sektor yang berpotensi pemborosan, seperti pengadaan mobil dinas, renovasi rumah dinas pejabat, dan belanja makan-minum juga harus dipangkas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita melihat bahwa banyak belanja K/L dan Pemda yang selama ini hanya dinikmati birokrasi. Dengan adanya efisiensi ini, terbukti bahwa anggaran yang selama ini disebut terbatas sebenarnya bisa disisir bila ada kemauan,” ujar Misbah Hasan, Kamis, 30 Januari 2025.
Dalam keputusan Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/2025, efisiensi belanja difokuskan pada 16 pos anggaran, termasuk pengurangan belanja alat tulis kantor (90 persen), kegiatan seremonial (56,9 persen), perjalanan dinas (53,9 persen), dan berbagai pos lainnya.
Namun, menurut FITRA, efisiensi ini belum cukup karena masih ada banyak belanja yang terkesan boros, seperti pengadaan mobil dinas yang kerap kali tidak diperlukan, renovasi rumah dinas pejabat yang dilakukan berkala tanpa urgensi jelas, serta belanja makan-minum yang membebani anggaran tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Salah satu kritik utama dari kebijakan ini adalah sentralisasi kebijakan keuangan yang dianggap bertolak belakang dengan prinsip otonomi daerah. “Daerah dengan kapasitas fiskal rendah akan semakin terbebani dalam mencapai target pembangunan yang sesuai dengan visi kepala daerah terpilih,” ujar Misbah.
Selain itu, kebijakan efisiensi ini berlawanan dengan langkah pemerintah yang justru memperbesar jumlah kementerian dan wakil menteri. “Bagaimana kita bicara efisiensi jika kabinet terus diperbesar? Perampingan kabinet seharusnya menjadi bagian dari kebijakan efisiensi ini,” katanya.
Rekomendasi FITRA: Reformasi Menyeluruh Tata Kelola Keuangan Negara
Sebagai respons atas kebijakan ini, FITRA mengajukan rekomendasi utama untuk memastikan efisiensi benar-benar berdampak bagi masyarakat. Reformasi tata kelola keuangan negara, khususnya skema belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah agar lebih berpihak pada otonomi daerah.
Perlu ada juga reformulasi nomenklatur program dan rincian anggaran untuk menghindari pengulangan (redundansi) dan peluang penyimpangan. "Transparansi penggunaan anggaran hasil efisiensi agar benar-benar digunakan untuk kepentingan publik, seperti peningkatan layanan dasar dan program Makan Bergizi Gratis (MBG)," kata dia.
Perampingan kabinet bagi menteri dan wakil menteri yang tidak menunjukkan kinerja optimal dalam 100 hari kerja. Selain itu, perlu ada peningkatan fleksibilitas pengelolaan anggaran daerah agar daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) tidak semakin tertinggal.
Perluasan cakupan efisiensi belanja K/L di luar 16 pos yang telah ditetapkan, termasuk belanja pengadaan mobil dinas, renovasi rumah dinas pejabat, dan belanja makan-minum. Realokasi hasil efisiensi anggaran untuk kebutuhan kelompok miskin dan rentan, bukan untuk proyek infrastruktur yang manfaatnya tidak jelas.
"Perlu ada pembukaan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil dalam mengelola, mengimplementasikan, dan mengawasi anggaran negara," ucapnya.
Menurut Misbah, tanpa reformasi menyeluruh, kebijakan efisiensi ini hanya akan menjadi langkah parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan. “Efisiensi harus lebih dari sekadar pemangkasan anggaran, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar bermanfaat bagi rakyat."
Dengan kebijakan efisiensi ini, tantangan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah memastikan bahwa anggaran yang telah dipangkas benar-benar dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar pemotongan angka di atas kertas.