Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Prabowo Sebut Rasio Utang Boleh 50 Persen dari PDB, Ekonom: Seharusnya Hati-hati, Bukan Semangat Tambah Utang

Ekonom CELIOS mengatakan bahwa tim ekonomi Prabowo - Gibran perlu mengingatkan soal risiko utang dalam konteks keberlanjutan APBN.

9 Januari 2024 | 11.28 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif dan Ekonom Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menanggapi soal pernyataan calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, yang tidak mempermasalahkan utang mencapai 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Presiden ke depan seharusnya hati-hati soal penambahan utang, bukan bersemangat menambah utang baru,” ujar Bhima ketika dihubungi Tempo, Senin, 8 Januari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bhima menjelaskan, regulasi dalam Undang-Undang Keuangan Negara 2003 memang memberi batas rasio utang maksimum 60 persen dari PDB. “Tapi bukan berarti pemerintah bisa mendorong agar rasio utang mendekati batas yang dibolehkan undang-undang,” tuturnya. 

Dulu, kata Bhima, sejarah batas rasio utang 60 persen karena Indonesia mengadopsi disiplin fiskal ala Uni Eropa (Maastrich Treaty). Tapi, saat ini banyak pihak yang mulai meragukan dasar disiplin fiskal 60 persen itu.

Hal ini, karena beberapa negara di Eropa yang memiliki rasio utang di bawah 60 persen ikut masuk dalam krisis utang Eropa pada 2015 silam. “Jadi di Eropa sendiri rule of thumb 60 persen mulai banyak digugat oleh para ekonom dan pengambil kebijakan,” ucap ekonom itu. 

Lebih lanjut, dia mengatakan perlunya mencermati berapa bayar bunga utang setiap tahunnya. “Kalau dengan rasio utang saat ini saja, bunga utang nyaris Rp 500 triliun tahun ini, maka porsinya terhadap belanja sosial kan sudah lebih dari 100 persen. Itu tidak sehat,” kata Bhima. 

Menurutnya, tim ekonomi Prabowo-Gibran perlu mengingatkan soal risiko utang dalam konteks keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Khawatir program makan siang gratis, susu gratis, plus program lainnya akan terlalu mengandalkan pembiayaan utang,” ujarnya.

Adapun Capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, sebelumnya mengatakan utang luar negeri terutama pada infrastruktur, berisiko tinggi dapat mematikan dan memicu kolaps banyak negara. “Utang-utang itu memang bisa mematikan, maka hati-hati kalau mau utang. Terutama pada infrastruktur yang punya risiko tinggi,” ucapnya. 

Lebih jauh, Ganjar mendorong pengadaan infrastruktur semaksimal mungkin dari dalam negeri, dengan syarat harus mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen. “Kalau mau pakai kekuatan dalam negeri, artinya wajib hukumnya kita mendorong ekonomi tumbuh 7 persen,” katanya.

Bila hal tersebut dicapai, menurut Ganjar, maka ICOR (besarnya penambahan investasi) bisa turun 4 persen. Ganjar juga menegaskan Indonesia harus betul-betul anti-korupsi. Menurutnya, jika hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi dapat dicapai. 

Ganjar juga menjelaskan perihal komersialisasi teknologi alutsista yang dilakukan dari dalam negeri. “Jadi, maaf kaitan dengan utang, no utang, no utang. Sehingga alutsista kita betul-betul kita lakukan transfer of technology dari dalam negeri,” ucapnya.

DEFARA DHANYA | ADINDA JASMINE

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus