Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam membuat pelaku usaha khawatir. Musababnya, pasal ini akan memperluas kewajiban parkir DHE ke sektor manufaktur, serta akan mengatur besaran dan jangka waktu dana tersebut harus menginap di dalam negeri.
"PP ini berpotensi menyulitkan pelaku usaha," ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid, dalam jawaban tertulis kepada Tempo, kemarin, 13 Januari.
Ia memahami niat pemerintah memasukkan industri manufaktur sebagai sektor yang wajib menyetorkan devisanya ke dalam negeri. Sebab, sektor ini berkontribusi hingga 70,8 persen dari total ekspor Indonesia. Karena itu, sektor ini diperkirakan dapat berkontribusi lebih besar terhadap cadangan devisa.
Masalahnya, kata Arsjad, banyak pelaku usaha sektor manufaktur yang enggan menyimpan devisa di sistem keuangan dalam negeri karena perputaran modal kerja yang cukup besar. Pendapatan dari ekspor biasanya akan digunakan kembali untuk membeli bahan baku.
Suku Bunga Valas Tidak Kompetitif
Bank Indonesia, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kendati Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan juga telah menawarkan kebijakan peningkatan suku bunga valas pada bank-bank BUMN dan swasta, ucap Arsjad, implementasinya butuh waktu panjang. "Insentif bagi pelaku usaha minim sehingga mereka enggan menyimpan dana hasil ekspornya di dalam negeri," ujarnya.
Arsjad menyebutkan, pada dasarnya, dunia usaha tidak menolak revisi PP tersebut. Namun ia berharap pemerintah memberi insentif dalam bentuk suku bunga simpanan dan deposito yang kompetitif.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani, mengatakan pemerintah perlu membuat ketentuan yang adil apabila mau memperluas kewajiban parkir DHE ke sektor manufaktur. Alasannya, berbeda dengan sektor ekstraktif yang bahan bakunya berasal dari kekayaan alam dalam negeri, industri manufaktur membutuhkan dolar Amerika Serikat sebagai modal kerja dan berbagai kebutuhan lainnya. Karena itu, pemerintah perlu membuat kondisi yang menarik supaya pengusaha mau menyimpan duitnya di dalam negeri.
"Mereka sering parkir di Singapura karena bunganya bagus," tutur Hariyadi. Ia khawatir, kalau pemerintah hanya mengatur kewajiban tanpa memberi insentif, aturan tersebut akan direspons negatif oleh dunia usaha, terutama pelaku usaha asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Selain itu, pemerintah harus memikirkan skema bagi pelaku usaha yang mengambil pembiayaan dari perbankan luar negeri. Menurut Hariyadi, bank asing biasanya mempersyaratkan para debitor bertransaksi di rekening bank mereka.
Ia mengharapkan pemerintah melibatkan dunia usaha dalam membahas kebijakan baru tersebut. "Idenya kami paham, bahwa pemerintah mau meningkatkan daya tahan devisa. Tapi perbankan jangan mau enaknya saja. Jangan semua dibebankan ke pemerintah," kata Hariyadi.
Karakteristik Industri Manufaktur Berbeda
"Bagi perusahaan perdagangan memang lebih memudahkan, jika begitu dana masuk, langsung digunakan lagi sehingga tidak mengalami kerepotan dalam kurs," tutur Toto. Sementara itu, sektor ekstraktif seperti batu bara pada dasarnya hanya mengeruk kekayaan alam dan menjualnya ke luar negeri, sehingga tidak membutuhkan dolar AS untuk mengimpor bahan baku.
Rencana revisi PP Devisa Hasil Ekspor disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat bersama Presiden Joko Widodo pada Rabu, 11 Januari lalu. Ia mengaku mendapat arahan dari Presiden untuk menambah industri manufaktur sebagai sektor yang wajib memarkir devisanya di dalam negeri. Jumlah devisa dan jangka waktu simpannya juga akan diatur dalam revisi aturan tersebut.
Melukai Rasa Keadilan
Padahal pasokan dolar AS di pasar valuta asing sangat krusial, seiring dengan terus berlanjutnya fenomena strong dollar dan potensi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika. Ia mengatakan rupiah tidak perlu melemah jika pasokan dolar AS cukup. Pasokan dolar pun seharusnya bisa melimpah karena adanya surplus neraca perdagangan selama 31 bulan terakhir.
"Ada dua alasan mengapa pasokan dolar AS terbatas, yaitu pendapatan DHE tidak kembali ke Indonesia atau DHE sudah kembali tapi tidak dikonversi ke rupiah," kata Yusuf.
Ia menilai langkah pemerintah menambah sektor yang wajib membawa dolar AS ke dalam negeri boleh saja dilakukan. Namun, Yusuf berpendapat, kebijakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah kalau tidak ada sanksi bagi pelanggar ketentuan DHE.
Yusuf menyatakan sepakat mengenai kewajiban repatriasi DHE dan keharusan melakukan konversi ke rupiah. "Tidak perlu secara penuh, misalnya 50 persen saja (dari DHE). Jadi, ketidakpastian pasar valas bisa ditekan dengan pasokan dolar AS yang memadai dan pemegang DHE masih tetap memiliki dolar AS," ujar Yusuf.
Sebaliknya, ia tidak sepakat dengan rencana Bank Indonesia membuat instrumen khusus, seperti memberi bunga setara deposito dolar AS di bank asing untuk menarik DHE. "Kebijakan ini akan sulit diterima oleh rasa keadilan publik dan cenderung amoral. Saatnya kita memaksa para pemilik DHE yang selama ini menikmati keuntungan besar menunjukkan nasionalisme ekonominya."
CAESAR AKBAR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo