Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral belum menetapkan pemberlakuan pembatasan produksi batu bara. "Kami belum bisa memulai pembatasan. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Energi baru menerbitkan regulasi pengendalian produksi batu bara, yakni di dalam Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Regulasi ini menyatakan Menteri Energi bisa mengendalikan produksi batu bara maupun komoditas mineral selama tujuannya memenuhi ketentuan aspek lingkungan dan konservasi sumber daya alam. Volume produksi dibatasi berdasarkan pertimbangan bersama kementerian lain ataupun pemerintah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, kata Bambang, regulasi itu tidak mengatur teknis pengendalian produksi. Bambang mengatakan pembatasan produksi akan diatur secara khusus dalam aturan lain.
Sejak 2015, Kementerian Energi selalu gagal membatasi produksi batu bara. Tahun lalu produksi emas hitam itu mencapai 467 juta ton. Padahal, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, produksi seharusnya hanya 413 juta ton. Tahun ini produksi bakal membeludak ke angka 477 juta ton. Ini berbanding jauh dibanding target RPJMN 406 juta ton.
Tahun depan, Bambang memprediksi produksi bertambah 10 persen sebagai akibat dari pelaksanaan insentif harga khusus penjualan batu bara ke pasar domestik (domestic market obligation/DMO). Kebijakan ini memperbolehkan perusahaan menambah produksi sebagai ganti potensi pendapatan yang hilang. "Kami harus mempertimbangkan kebijakan DMO sebelum memberlakukan pembatasan," ujar Bambang.
Selain itu, kata dia, pengendalian produksi tidak mudah lantaran sebagian besar izin pertambangan batu bara berada di daerah. Menurut Bambang, tahun ini banyak penambang batu bara yang segera memasuki fase produksi. Geliat pengerukan bertambah setelah harga batu bara menguat sejak akhir 2016.
Namun Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, menolak rencana pembatasan produksi. Menurut dia, kebijakan itu bisa memukul industri batu bara yang baru bangkit setelah terjun bebas karena harga yang turun pada 2014. Jika industri batu bara lesu, sumbangan penerimaan negara bukan pajak sektor pertambangan akan terkoreksi cukup dalam.
Hendra mengatakan pemerintah tak tepat memakai argumen kelangsungan sumber daya sebagai dalih pengendalian produksi. Menurut dia, supaya cadangan terjaga, pemerintah perlu menggenjot investasi pencarian sumber daya atau eksplorasi. "Tinggal eksplorasinya yang ditingkatkan. Produksi jangan diintervensi," tutur Hendra.
Peneliti Kebijakan Pertambangan Publish What You Pay Indonesia, Rizky Ananda, mengingatkan bahwa kenaikan harga batu bara akan memicu eksploitasi besar-besaran. Cadangan batu bara Indonesia yang hanya 28,4 miliar ton akan habis 70 tahun mendatang. Selain itu, eksploitasi yang masif rawan pelanggaran hukum. Dia memberi contoh pada 2010, saat ada temuan ekspor 132 juta ton batu bara yang tidak tercatat oleh pemerintah, sehingga merugikan negara. Rizky juga menilai pemerintah tak tuntas menangani izin tambang yang tumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung seluas 843 ribu hektare. ROBBY IRFANY
SELALU MELAMPAUI TARGET
Produksi batu bara dalam tiga tahun belakangan selalu melebihi target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kenyataan ini berlawanan dengan niat pemerintah untuk mengurangi produksi.
Sumber: Kementrian ESDM, Bappenas
ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo