Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Produksi Minyak Andalkan Lapangan Tua

Selama 20 tahun tidak ada temuan cadangan minyak dan gas signifikan.

14 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Stasiun produksi PT Pertamina EP Field Subang, Jawa Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Produksi minyak nasional terus menurun karena minimnya investasi dan temuan baru lapangan-lapangan minyak. Di sisi lain, konsumsi bahan bakar minyak meningkat. Peningkatan produksi semakin mendesak lantaran defisit minyak semakin besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat penurunan produksi terjadi karena hampir 70 persen lapangan produksi di wilayah kerja minyak dan gas bumi telah berada di fase penurunan tingkat produksi. Kondisi ini timbul lantaran selama 20 tahun terakhir tak banyak kegiatan eksplorasi minyak. "Optimalisasi lapangan menjadi tulang punggung utama dalam mempertahankan produksi migas," kata Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Wisnu Prabawa Taher, kepada Tempo kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Optimalisasi yang dimaksudkan Wisnu adalah melalui program pengeboran pengembangan, kerja ulang sumur, dan pemeliharaan kinerja fasilitas. SKK Migas juga berupaya agar proyek hulu migas yang rencana pengembangannya sudah disetujui dapat terealisasi dengan cepat. Dia mengatakan saat ini terdapat 35 proyek hulu migas yang sedang dalam proses dan diperkirakan akan selesai selama kurun 2019-2023.

Cara lainnya, menurut Wisnu, adalah mengambil sisa cadangan minyak di sumur-sumur tua menggunakan metode injeksi uap atau enhanced oil recovery (EOR). Di dalam negeri, metode ini baru diaplikasikan sebagian di Blok Rokan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Kontraktor lainnya adalah PT Pertamina EP, yang telah memasuki tahap uji coba metode EOR di Lapangan Tanjung, Kalimantan Selatan.

Vice President Oil Recovery Pertamina EP, Andi W. Bachtiar, mengatakan pihaknya memiliki sembilan lapangan yang berpotensi menerapkan metode EOR, baik menggunakan injeksi bahan kimia maupun karbondioksida (CO2). Lokasi-lokasi tersebut merupakan tempat cadangan minyak terbesar Pertamina.

Namun penerapan metode tersebut tak mudah. Salah satunya lantaran tingginya modal untuk bahan injeksi. "Di dalam negeri, tidak ada industri hulu sampai hilir di bidang bahan kimia untuk memenuhi kebutuhan EOR sehingga sangat mempengaruhi ongkos produksi," kata Andi.

Pertamina mengusulkan insentif berupa kepastian dan tambahan porsi bagi hasil. "Pertamina 45 persen dan pemerintah jadi 55 persen," kata Direktur Pengembangan Pertamina EP, John H. Simamora.

Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energi, Komaidi Notonegoro, menyatakan insentif sangat dibutuhkan untuk menaikkan investasi di bidang minyak. Pasalnya, produksi tahun ini sangat ditentukan oleh kinerja pemain lokal, terutama Pertamina. "Karena sebagian besar blok terminasi diserahkan ke Pertamina," ujarnya. Pemain baru dinilai masih belum tertarik menggarap eksplorasi.

Salah satu insentif yang paling dibutuhkan adalah ihwal perizinan. Komaidi menuturkan, investor akan masuk jika mereka bisa mengukur risiko investasi. "Pemerintah harus bisa memastikan selesai dalam kurun waktu berapa lama sehingga perencanaan perusahan akan lebih matang," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ego Syahrial, menilai insentif yang diberikan pemerintah sudah cukup menarik investasi. "Buktinya, penerimaan negara bukan pajak dan investasi sektor migas meningkat," ujarnya, tanpa menyebutkan angka. Pemerintah juga telah memangkas 186 regulasi.

Menurut dia, pemerintah kini berfokus pada optimalisasi lapangan yang telah ada dengan teknologi untuk menggenjot produksi minyak. Pemerintah juga mencoba memberi kepastian usaha dengan mempercepat kepastian pengelolaan wilayah kerja yang akan habis. 

Ego mengatakan kegiatan eksplorasi juga akan ditambah. Kontraktor kontrak kerja sama, kata dia, sudah menyatakan komitmen eksplorasi sebesar Rp 32 triliun. "Sebelumnya, pemerintah hanya punya Rp 50-100 miliar untuk menemukan lapangan besar baru."

VINDRY FLORENTIN | VINDRY FLORENTIN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus